• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Gagal atau berhasil, bubar atau tetap lanjut, sulit atau mudah, dua pengalaman yang membuat hidup manusia ini unik, berbeda dari makhluk lainnya. Dinamika peradabannya juga naik turun, jatuh bangun. Tidak ada yang bisa memastikan terus gagal, atau terus berhasil, atau pasti bubar, atau pasti tidak bubar. Semua kemungkinan terbuka. Hanya ada satu kepastian di masa depan, yaitu klik di sini.

Di surah Al-Dhuha ini, kita dianjurkan untuk membicarakan kenikmatan, keberuntungan, dan optimisme. Namun, apakah kita dilarang membicarakan kegagalan, ancaman, tantangan, dan pesimisme? Apakah membicarakan nikmat Allah berarti hanya mendiskusikan optimisme saja tanpa peduli atau menilai remeh faktor-faktor pesimisme di depan?

[arabic-font]وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ[/arabic-font]


“Dan adapun tentang nikmat Tuhanmu, maka engkau bicarakanlah.”

(QS. Al-Dhuha [93]: ayat 11)

[1]
Haddits (bicarakanlah) seakar dengan kata tahadduts, hadātsah, dan hadīst berarti pembicaraan yang mengandung kesegaran dan kebaruan. Yang menarik dari ayat ini adalah berbicara tentang nikmat dan karunia Allah harus dengan cara yang memikat dan atas dasar cinta sehingga, bagi lawan bicara, terkesan fresh dan menyenangkan, tidak malah membosankan, menyebalkan dan mengulang-ngulang kata.
Jelas, kata haddits (bicarakanlah) dalam ayat ini mengandung nilai sastra tinggi. Dengan kata lain, tanpa kejelian dan cita rasa sastra bahasa Arab, kata ini kehilangan nilainya bila diganti dengan kata lain misalnya akhbir (beritakanlah).


Perlu berpikir dan berbicara moderat, yaitu adil dan jujur; melihat kenyataan potensi unggul sekaligus kekurangan diri dan gejala ancaman. Dengan begitu, pembicaraan, pidato dan komentar menjadi saling melengkapi.

[2]
Pertama-tama perlu disadari bahwa setiap orang dan bangsa punya kelebihan juga punya kekurangan, punya masa lalu dan masa dapan, punya kegagalan juga keberhasilan. Seperti juga setiap orang, suatu bangsa akan gagal dan bubar jika kehilangan kesadaran ini atau hanya fokus pada salah satunya.

Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa
Baca juga: QS. Al-Mursalat [77]: Ayat 15; Dari Membohongi Diri Sendiri Sampai Membohongi Allah

[3]
Nikmat dalam ayat ini, dari sisi lain, bisa merupakan ujian: apakah akan disyukuri ataukah disia-siakan. Nikmat yang lulus ujian dan sepenuhnya disyukuri yaitu kesuksesan dan keberuntungan hidup yang dibicarakan dan didiskusikan untuk dipertahankan hingga jadi modal mengatasi kemungkinan buruk dan mengaktualisasikan rencana serta cita-cita.

Baca Juga :  Al-Kasysyaf, Tafsir Sastra Penyingkap Makna Abad 6 Hijriyah

[4]
Karena sebagai ujian, nikmat potensi melimpah individu, negeri, bangsa dan negara perlu dibicarakan secara hati-hati dan sabar. Tidak ada ujian tanpa kewaspadaan dan kesabaran setiap elemen masyarakat. Sama pentingnya mendiskusikan kekurangan dan faktor yang mengancam masa depan dan berpotensi merusak rencana-rencana jangka pendek dan jangka panjang.


Ali bin Abi Thalib, “Sabar terdiri dari empat unsur: pemahaman yang tajam, kebijaksanaan yang dalam-luas, mengambil pelajaran dan pola hidup orang-orang terdahulu.”

[5]
Naluri kita cenderung menghindari kondisi susah hingga, dalam kondisi normalnya, tidak suka bahkan untuk mengingat-ingat pengalaman susah. Sebaliknya, naluri kita cenderung menikmati kesuksesan dan keberuntungan. Karena itu, setiap orang sesuai kodratnya suka mengingat-ingat, mengenang dan menceritakan kenikmatannya. Anjuran ayat di atas, sebagaimana karakter dasar ajaran Alquran, adalah sesuai dengan fitrah bawaan manusia, baik sebagai individu maupun bangsa.

[6]
Lantaran fitrah dan kodrat manusiawi itu, sebagian orang yang saking senang dan percaya diri akan potensi dan kenikmatan melimpah, jadi tidak nyaman, tersinggung atau panik terhadap orang yang membicarakan peringatan dan pesimisme akan masa depan yang belum menentu. Ketidaknyamanan itu boleh jadi muncul karena takut dan tidak siap menghadapi kemungkinan buruk. “Bicarakanlah nikmat Tuhanmu” yaitu kenikmatan manusia berasal dari Allah, maka tidak perlu terlampau percaya diri dengan banyak potensi diri sendiri karena semua ini semata-mata karena karunia Allah, juga tidak perlu kuatir berlebihan hingga tidak lagi bertawakal pada Allah.

[7]
Dalam logika iman Alquran, orang beriman bisa gagal, bisa kesusahan, bisa jatuh, bisa bubar kesatuannya, tapi pengalaman itu menjadi cacatan masa lalu untuk dijadikan jembatan penyeberangan (ibrah) membangun masa depan. Bangsa beriman ialah bangsa yang optimis sekaligus pesimis yang akan mudah dalam kesusahannya, berhasil dalam kegagalannya. Inilah mesin penggerak perubahan dan pembangunan. Manusia beriman tidak akan terkecoh dengan kemajuannya, juga tidak takut dan putus asa dalam kemundurannya.

Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (4): Edoardo Agnelli, Putra Mahkota Bisnis Raksasa Italia
Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (6): Arthur Wagner, Tokoh Pimpinan Partai Anti-Muslim Di Jerman (1)
Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (6): Arthur Wagner Diluluhkan Alquran Setelah Jadi Ateis, Protestan Dan Musuhi Islam (2)

Baca Juga :  Kontradiksi Alquran (1): Beribadah itu Ada Batasnya juga tidak Ada

[8]
Optimis sekaligus pesimis yaitu harap-harap cemas. Berpikir dan berbicara hanya pesimis saja sama nilainya dengan berpikir dan berbicara hanya optimis. Berpikir optimis perlu untuk membina motivasi dan energi membangun ke depan. Berpikir pesimis juga perlu untuk antisipasi dan waspada terhadap semua kendala serta hambatan pembangunan dari dalam dan dari luar.

[9]
Membicarakan optimisme saja bukanlah nikmat karena akan membuat diri menjadi tidak tahu diri; lengah, melalaikan diri atau malah gegabah di hadapan tantangan serta kemungkinan ancaman. Membicarakan pesimisme saja juga bukanlah nikmat Tuhan karena hanya akan membuat diri dan bangsa hilang harapan, putus asa, lemah, dan penakut. Berbicara opimis saja dan pesimis saja sama-sama ekstrem dan radikal. Orang seperti ini menderita inflated self-esteem yang, dalam teori self-discrepancy, disoroti ihwal bagaimana dia merasa tertekan ketika melihat celah antara kenyataan aktual dirinya dan idealisme dalam pikirannya.

[10]
Perlu berpikir dan berbicara moderat, yaitu adil dan jujur; melihat kenyataan potensi unggul sekaligus gejala ancaman. Dengan begitu, pembicaraan, pidato dan komentar menjadi saling melengkapi.


“Supaya kamu jangan putus asa terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan berbangga diri.”

(QS. Al-Hadid [57]: 23)

[11]
Membicarakan pengalaman buruk bangsa juga bisa menjadi janji nikmat Allah bila diperlakukan sebagai kenyataan serta dipelajari sebagai alat mencetak sejarah agar, setidaknya, tidak mengulang pengalaman dan kesalahan yang sama. Membicarakan nikmat dan keberuntungan Allah untuk kita yaitu meninjau pengalaman masa lalu kita untuk dijadikan ibrah (penyeberangan) menjangkau dan membangun masa depan. Nikmat potensi dan keberhasilan masa lalu dan sekarang kita menjadi tidak berarti atau malah jadi beban jika tidak disyukuri dan dimanfaatkan untuk masa depan.

[12]
Masa depan adalah gambaran ideal dan cita-cita yang masih belum nyata. Karena itu, masa depan hanya bisa diprediksi, direncanakan dan ditargetkan, tapi tidak bisa dipastikan. Masa depan adalah ruang kemungkinan. Bangsa yang bijak adalah bangsa yang menguasai dan menyongsong masa depan dengan berani dan kesatria: membaca secara selengkap mungkin masa depan beserta kemungkinan baik dan buruknya, berikut peluang dan tantangannya.


Meyakinkan dengan retorika pesimis saja tidak ada bedanya dengan menanggapinya hanya dengan optimisme; kedua-keduanya sudah menerjang batas realitas dan moralitas, seolah-olah mereka menegasikan kemungkinan dan memastikan masa depan.

[13]
Pribahasa mengatakan, dengan ikan teri, berharap mendapatkan ikan kakap. Mencetak masa depan yaitu memancing kemungkinan terbaik dengan harapan masa kini dan umpan masa lalu. Bila terdesak berbicara, jiwa pemimpin akan membangun mental dan emosi rakyat untuk terbang mencapai puncak kemajuan dengan dua sayap sekaligus: optimisme dan pesimisme; khauf raja’, cemas dan harapan. Itulah titik keadilan dalam keberanian: tidak gegabah juga tidak pengecut.

Baca Juga :  Balada Cinta Istri Kepala Keamanan Raja dan Ajudan Tampan dalam Alquran (2): Cinta Tuhani, Cinta Insani, Cinta Hewani

[14]
Maksud perintah Allah SWT kepada manusia agar membicarakan kenikmatan Allah adalah, pertama, semua yang telah diterima oleh manusia dari-Nya adalah kenikmatan, meskipun itu berupa kesulitan. Allah maha penyayang; Dia tidak menghendaki kesulitan menimpa manusia. Maka, setiap masalah dan kesulitan di dunia secara lahiriah dan atau pada mulanya menyusahkan, tetapi di dalamnya terdapat kemudahan dan ketentraman. “Sesungguhnya bersama kesulitan adalah kemudahan” (QS: Al-Insyirah [94], 5-6). Kedua, setiap kenikmatan bersumber dari Allah, “Dan apa pun yang ada pada kalian berupa nikmat adalah dari Allah” (QS: Al-Nahl [16]: 53).[ph]

Hadis

Al-Bayhaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang diberi kebaikan, maka balaslah kebaikan itu. Jika ia tidak mampu [membalasnya], maka sebutlah kebaikan itu, karena orang yang menyebutkannya sungguh ia telah mensyukurinya” (Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 15, hlm. 493).

Thabrani meriwayatkan dari Abu Aswad Al-Du’ali dan Zadzan Al-Kindi bahwa mereka meminta Ali bn Abi Thalib r.a. berbicara tentang sahabat-sahabatnya. Ali memenuhinya dan berbicara banyak keutamaan mereka. Lalu Abu Aswad dan Zadzan meminta agar Ali juga berbicara tentang dirinya sendiri. Ali berkata, “Tunggu sebentar! Allah melarang memuji diri sendiri.” Tiba-tiba seseorang menyela, “Tetapi Allah berfirman, “Dan adapun tentang nikmat Tuhanmu, maka engkau bicarakanlah.” Ali membalas, “Aku akan membicarakan nikmat Tuhanku. Dahulu, demi Allah, jika aku berdoa, aku dikabulkan, dan jika aku diam, aku didatangi nikmat” (Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 15, hlm. 494).

Share Page

Close