• LAINYA

SEBELUM INI, di Bagian Kedua, telah dikupas secara khusus dua asas validitas keberasalan al-Quran, maka asas ketiga menegaskan bahwa peluang memahami makna-makna yang dikandungkan di dalam ayat-ayat al-Quran, setidaknya di ranah hukum partikular (fiqih), terbuka secara memadai bagi orang-orang berakal sehat (al-‘uqala’).

Hukum-hukum yang berubah dan kondisi-kondisi dinamis secara umum juga berasal dari hukum-hukum tetap dan universal, karena hukum-hukum tersebut diterbitkan berdasarkan kriteria-kriteria tetap dan dengan memperhatikan kondisi tertentu serta tipologi kasus yang ditangani.

Ilustasi karya semiman Yahya al-Wasiti

Dengan kata lain, ayat-ayat hukum (fiqih) sedemikian bermakna sehingga orang-orang pada masa penurunannya, dengan satu pemahaman valid yang lazim di kalangan publik (urf), dapat menangkap maksud Allah swt. dan, atas dasar itu, mereka mengambil keputusan dan bertindak.

Apabila mereka tidak menangkap maksud tersebut, itu bukan karena peluang dan kemungkinan memahami tidak terbuka, juga bukan karena budaya dan tradisi yang berkembang masa itu tidak memperkenankan publik dan masyarakat untuk menjangkau maksud tersebut lalu, seiring berlalunya waktu, menyempurnanya ilmu pengetahuan dan munculnya pemahaman baru, makna-makna yang dimaksud Allah swt. itu baru dapat disingkap. Bukan demikian, tetapi itu disebabkan oleh kegagalan mereka dalam memahami teks ayat lantaran lalai akan masalah atau keliru memahami makna dan kandungannya.

Sebagai contoh, terkadang perawi menukil riwayat dari imam maksum lalu ia membubuhkan kesimpulan pribadinya. Kemudian mujtahid di masa kita mengakses riwayat tersebut dan memahami kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan perawi. Pada saat yang sama, ia membenarkan pandangannya dan menyalahkan pandangan perawi.

Jika lalu mujtahid ini diprotes: bagaimana Anda membantah kesimpulan perawi yang merupakan pemahaman semasa terbitnya riwayat dari imam maksum dan, sebagai gantinya, Anda mengajukan pemahaman baru dengan jarak waktu yang sedemikian membentang. Ia akan menjawab, “Makna yang saya pahami ini dari riwayat adalah kesimpulan yang dapat dipahami di masa lampau, dan maksud imam maksum dari teks riwayat ini pada masa itu adalah makna yang saya pahami ini. Hanya saja perawi itu keliru sehingga memahami makna lain.”

Baca Juga :  Filsafat Alquran (2): Sejarah Jatuh-Bangun Manusia dalam Relasi Akal dan Wahyu

Seorang mujtahid dan faqih tidak mengatakan apa yang dipahami hari ini berhubungan dengan zaman ini dan, pada masa diterbitnya riwayat, ada pemahaman lain di benak orang-orang berakal sehat. Ia tidak memandang pemahaman kontemporal sebagai ganti dari pemahaman lampau. Ia tidak menerima pemahaman yang berubah dan berganti. Sepanjang berkenaan dengan pemahamannya yang berbeda dengan kesimpulan yang diambil oleh para pendahulunya, ia secara prinsipal menyalahkan pemahaman para pendahulu yang keliru memandang bahwa pemahamannya adalah makna dan maksud riwayat.

Mujtahid tidak berpikir harus sejalan dengan perubahan pemahaman agama, tidak juga berpikir setiap pemahaman itu benar dan sesuai dengan maksud Peletak hukum (syari‘, baca: Allah dan nabi). Ia meyakini bahwa kandungan agama bersifat tetap; apa yang dikehendaki oleh Tuhan, nabi dan para imam suci dari ayat dan hadis memiliki makna yang khas dan definitif yang boleh jadi diperoleh atau tidak oleh mujtahid.

Jika seorang mujtahid berpikir pemahamannya merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak mungkin diperoleh di masa terbitnya teks (ayat dan riwayat), istinbath dan kesimpulannya itu tidak memiliki nilai.

Singkatnya, Tuhan menurunkan hukum-hukum ini kepada umat manusia dan menugaskan mereka untuk menunaikannya. Ini tidak berarti bahwa tugas itu dibebankan pada manusia yang hidup beberapa abad kemudian, atau masyarakat yang hidup satu milenium lampau memiliki tugas yang berbeda sehingga, dengan demikian, Tuhan dalam satu keterangan literal hukum memiliki beberapa maksud dan kehendak yang pelaksanaannya diserahkan kepada sejarah dan perubahan pelbagai tradisi, kebudayaan dan perubahan pemahaman.

Itulah mengapa para mujtahid sekarang memerlukan ilmu Ushul Fiqih melebihi keperluan para pendahulu. Ya, karena jarak yang membentang antara kita dan masa pewahyuan. Orang-orang pada masa itu berada pada kondisi budaya yang juga merupakan zaman penyampai hukum (baca: nabi). Namun dewasa ini, dengan jarak waktu tersebut, banyak terjadi perubahan kondisi budaya dan bahasa yang tidak memungkinkan terwujudnya kesepahaman yang cepat dan mudah antara penyampai hukum dan umat.

Baca Juga :  Filsafat Manusia dalam Alquran (4): Kesatuan Manusia (2): Kesatuan Ruhani Manusia (Integrasi)

Dengan demikian, tatkala kita ingin memahami ayat dan riwayat yang diwahyukan dan terbit seribu tahunan yang lalu, mau tak mau kita harus bersandar pada kaidah-kaidah umum pemahaman teks yang tidak terbatas oleh masa dan waktu tertentu sehingga, dengan begitu, dapat dipastikan bahwa pemahaman yang tepat menjangkau makna ayat adalah pemahaman yang mengikuti kaidah, baik di sama lampau atau masa kini. Masalah ini lazim mengemuka dalam topik kata dan lafaz dalam Ushul Fiqih.

Keempat, yakni asas keempat validitas keberasalan, ayat-ayat Al-Quran tidak khusus berlaku pada masalah-masalah yang karenanya diturunkan, kendati kebanyakan ayat memiliki sebab-sebab turunnya dan terkait dengan keadaan tertentu, akan tetapi mujtahid mengeksplorasi ayat-ayat tersebut untuk memecahkan masalah kontekstual. Tentu, ia tidak memandangnya sebagai ayat-ayat yang tanggal berlakunya sudah kadaluwarsa (expired), karena berasarkan asas ini, ayat-ayat tidak berlaku khusus pada kondisi tertentu dan apa yang dijelaskan oleh ayat berkaitan dengan tempat dan masa sepanjang tidak dianulir (nasakh).

Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Quran dan hukum-hukumnya bersifat universal. Tinjauan kritis dan holistik akan mengarah pada topik “Statis dan Dinamis” (tsābit wa mutaghayyir) yang, secara definitif, digagas oleh Imam Khomeini sebagai peran ruang dan waktu dalam ijtihad dan istinbath. Tentu saja, penting menelaah bagaimana topik ini mengemuka dan keluar dari wilayah Kalam (teologi Islam), tetap dan berubahnya hukum-hukum, juga adanya hukum primer (hukm awwaliy) dan hukum sekunder (hukm tsanawiy). Kendati diperlukan ruang khusus untuk membahasnya, namun secara global persoalan ini dapat dikemukakan  bahwa hukum-hukum yang berubah dan kondisi-kondisi dinamis secara umum juga berasal dari hukum-hukum tetap dan universal, karena hukum-hukum tersebut diterbitkan berdasarkan kriteria-kriteria tetap dan dengan memperhatikan kondisi tertentu serta tipologi kasus yang ditangani.

Baca Juga :  Filsafat Islam: Meninjau Peluang dan Tantangan Kontribusinya dalam Problematika Kemanusiaan

Topik “Statis dan Dinamis” juga mengemuka dalam pemikiran fiqih kalangan mujtahid terdahulu. Hukum-hukum berubah (mutaghayyir) secara global telah diakui, namun lantaran pada umumnya, hukum-hukum agama dalam pandangan mereka bersifat tetap. Kaidah yang menjadi parameter mereka ialah “hukum agama yang bersifat tetap kecuali bila ada bukti berbeda”. Artinya, hukum apa pun dalam agama harus beradasarkan bukti dan dalil. Suatu masalah, pada mulanya, memiliki kejelasan hukum dan, kalaupun hukumnya berubah, juga harus berdasarkan dalil. Perubahan hukum pada suatu masalah terjadi akibat perubahan pada objek hukum. Sebagai contoh, catur dahulu hukumnya haram karena statusnya sebagai alat judi, tetapi objek hukum ini (catur) kini berubah hukumnya jadi halal karena statusnya sudah berubah; bukan lagi alat judi, tapi alat olahraga.

Referensi:

  • Sadr, Muhammad Baqir Shadr,al-Ma‘ālim al-Jadīdah, Marka al-Abhats wa al-Dirasat, Qom, 2005.
  • Hadavi Tehrani,Mabāni Kalāmi Ijtihād, hal 31-44, Muassasah Farhang-e Khane Kherad, Qom, cetakan pertama, 1999.

Share Page

Close