• LAINYA

[arabic-font]وَ مَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ وَ يَخْشَ اللَّهَ وَ يَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفاَئِزُوْن[/arabic-font]

Dan barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

(QS. al-Nur [24]: 52)

Abstrak

  • Kriteria menjadi manusia sukses
  • Relasi saling mengikat antara taat, takut dan takwa
  • Posisi Nabi saw. dan hadis di samping Allah swt. dan al-Quran
  • perbandingan takut di hadapan Allah dan takut sebagai kondisi stres

Terjemah Kata

  • يُطِعِ        (yuthi‘)       = taat
  • يَخْشَ       (yakhsya)  = takut
  • يَتَّقْهِ        (yattaqhi)  = bertakwa kepada-Nya
  • الْفائِزُون  (al-fa’izun) = orang-orang yang sukses, mendapat kemenangan

Hadis

  • Diriwayatkan oleh Abu Ubaidah al-Hadzdza’ dari Imam Ja’far Shadiq, ia berkata, “Seorang mukmin berada di antara dua ketakutan: dosa lampau yang ia tidak tahu bagaimana Allah membalas atau mengampuninya, dan usia tersisa yang ia tidak tahu apa yang akan diperoleh di dalamnya berupa hal-hal bahaya-bahaya. Maka ia tidak memulai pagi harinya kecuali takut, dan dirinya tidak diperbaiki kecuali oleh ketakutan” (Ushul al-Kafi, jld. 2, hlm.71).

Tadabbur

  • Pada intinya, ketakutan dan ketakwaan seorang beriman hanya tertuju kepada Allah SWT. Namun, pada tataran implementasi ketaatan pada-Nya, Nabi saw. juga ditempatkan oleh Allah pada posisi sebagai yang berhak ditaati. Atas dasar ini, tidaklah benar kita mengulang perkataan, “Kita sudah cukup dengan al-Quran.” Ayat ini dengan tegas menyebutkan Rasulullah saw. bersama Allah sebagai objek ketaatan umat.
  • Dalam tafsir al-Mizan, jld. 15, hlm. 148, Allamah Thabathaba’i menuliskan bahwa ayat ini dalam rangka menjelaskan kriteria orang mukmin sejati yang mencapai kesuksesan dalam menghadapi munafik, yaitu tiga kriteria: taat, takut dan takwa.
  • Dengan menyebut hanya tiga sifat: taat, takut dan takwa, sebagai kriteria kesuksesan orang mukmin, ayat ini sesungguhnya penegasan bahwa hanya di bawah keagungan dan kebesaran Allah, seorang mukmin menyatakan tiga sifat itu dalam mencapai Allah dan, dengan sifat-sifat itu pula, ia tidak terpengaruh dan surut kualitasnya oleh apa pun dan siapa pun, sekalipun dalam interaksinya dengan masyarakat.
  • Perbedaan antara cinta sejati dan cinta palsu bukan pada fokus ekspresinya apakah tercurah pada seseorang atau pada selainnya, tetapi bagaimana keagungan dan wibawa kekasih terjaga dan terhormat sepenuhnya pada diri pecinta. Dengan demikian, keterangan Imam al-Shadiq tidak menyinggung kondisi stres berkepanjangan seorang beriman, juga tidak berkaitan dengan ketakutan yang menghantui pecinta karena yang dicintanya, bukan pula dalam rangka menjelaskan bahwa orang beriman tidak menjadi baik kecuali dalam ketakutan.
  • Perlu kitanya kita meninjau diri sendiri selama ini apakah pernah kita memikirkan: kenapa di awal dan di akhir shalat, disebutkan keagungan dan kebesaran tak terbatas Allah dengan dzikir Allahu akbar: Allah Dialah Yang Terbesar; kenapa tidak disebutkan dengan dzikir Allahu Rahman: Allah Maha Penyayang? Apakah kita selalu mengenal Allah hanya dengan kasih sayang-Nya sampai membuat kita lalai akan kebesaran dan keagungan-Nya? Apakah ini setapak dengan ajaran al-Quran?
  • Kalau taat, takut, dan takwa bermakna dalam hubungannya secara vertikal, dapat dikatakan bahwa akar ketaatan adalah takut, dan akar takut adalah takwa, yaitu sadar dan mawas-diri, dan semua ini harus berorientasi kepada Allah. Oleh karena itu, ayat ini seakan merunut perjalanan manusia: dari dimensi paling zahir ke dimensi yang terbatin yang berakhir pada kesimpulan dengan kalimat “mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.
  • Allamah Thabathaba’i menjelaskan bahwa, dalam ayat ini, takut terkait dengan batin manusia, sedangkan takwa dengan zahirnya.
  • Dalam ayat ini, kata kerja dalam kalimat hipotetis “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya” berbentuk tunggal (dia). Tetapi, menariknya, jawaban atas kalimat ini, yaitu “mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”, adalah kalimat dalam bentuk plural. Tentu, ada pesan lembut yang perlu digali.
  • Taat tanpa takwa mustahil terlaksana, begitu juga takut Allah tanpa takwa mustahil terjadi.
  • Dalam ayat ini, Allah menyebutkan takwa jatuh setelah taat dan takut. Tingkatan takwa menempati tingkatan tinggi di atas posisi taat dan takut, karena takwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya mencakup tingkatan di bawahnya.[ms]

Share Page

Close