• LAINYA

QURANIKA-DINAMIKA–Awal tahun ini, tepatnya 24 Januari lalu, media mainstream Eropa ramai-ramai memberitakan seorang pentolan partai politik sayap kanan Jerman, Alternative für Deutschland, lantaran keputusannya menjadi Muslim. The Guardian memasang judul “Politisi Garis Keras Kanan Jerman Masuk Islam.” Ajaib lantaran partai ini paling getol berkampanye anti-Muslim.

Sikap ekstrem partainya juga didemonstrasikan oleh politisi itu. Di Jerman dan secara umum, di dataran Eropa, dia dikenal karena sikap anti-Muslim dan anti-imigrannya yang keras. Dan sikap keras ini pula yang tampaknya menguatkan keberanian dan keputusan hatinya untuk masuk Islam dan mengundurkan diri dari fungsi kepemimpinannya di partai.

Arthur Wagner, Jerman

Bernama Arthur Wagner, seorang anggota terkemuka dari partai Alternative für Deutschland atau dikenal juga dengan singkatan AfD, partai yang mengangkat identitasnya dengan “Islam bukan bagian Jerman”. Slogan ini merangkum semua pandangan estrem anti-Muslim di salah satu negara Eropa yang sekuler dan paling maju.

AfD saat ini sudah menjadi partai politik terbesar ketiga di Jerman setelah keberhasilannya yang spektakuler dalam pemilihan September tahun lalu. Partai ini terang-terangan berusaha melarang pembangunan masjid di Jerman, meminta polisi perbatasan negara untuk, bila perlu, menembak pengungsi dan migran untuk menghentikan mereka memasuki negara. Kantor berita vox.com menyebut cara-cara itu membangkitkan memori publik pada propaganda Nazi era Perang Dunia II tentang ancaman umat Islam yang datang ke Jerman.

Wagner sendiri di masa lalu menuduh Kanselir Jerman, Angela Merkel, telah membuat “kesalahan besar” dengan mengizinkan begitu banyak pengungsi Muslim masuk ke Jerman. Seperti dilansir media Jerman, thelocal, Wagner memperingatkan Merkel bahwa “Jerman sedang bermutasi menjadi negara berbeda.”

Itulah sebabnya mengapa keputusannya yang terkesan mendadak masuk ke Islam dan mundur dari posisi kepemimpinan di partai begitu menghebohkan.

Baca Juga :  Filsafat Iman: Berawal dari Islam juga Berakhir di Islam

Wagner sendiri menyebut keputusannya masuk Islam sebagai “masalah pribadi” dan menolak berkomentar lebih lanjut kepada pers.

Tetapi menurut laporan media Jerman, ayah dua anak berusia 48 tahun itu telah menghabiskan waktu luangnya untuk secara sukarela mengurusi imigran Muslim, termasuk memberikan bantuan penerjemahan kepada imigran Chechnya, karena ia fasih berbicara bahasa Rusia dan keturunan Rusia.

Wagner adalah bagian dari sejarah skeptis dan kritikus yang lebih luas yang telah masuk Islam. Ia salah satu yang orang pertama mengubah pandangannya secara radikal tentang Islam setelah menghabiskan waktu dengan Muslim atau menekuni teks-teks suci Islam.

Fenomena kecenderungan menjadi Muslim di Eropa tidak lepas dari dampak serangan teror 9/11. Di Amerika Serikat, jumlah Muslim mengalami lonjakan yang signifikan, dan sebagian besar dari jumlah itu berasal dari orang Amerika sendiri yang masuk Islam.

Menurut Asma Afsaruddin, seorang profesor bahasa dan budaya Timur Dekat di Indiana University Bloomington, banyaknya masuk Islam itu dipicu kuat oleh minat orang Amerika yang semakin meningkat mempelajari Islam di tengah serangan teror.

“Meskipun Islamophobia menyebar, orang Amerika justru ingin tahu tentang Islam yang sebenarnya untuk menemukan ajaran agama dari sumber yang dapat dipercaya,” kata Asfaruddin kepada PRI’s The World pada tahun 2016.

Mereka umumnya segera menyadari bahwa penafsiran “bau darah” mengenai Islam dipicu oleh kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda dan kemudian ISIS. Mereka mendapati penafsiran ISIS sangat berbeda dari teks dan tradisi Islam yang sebenarnya. Kelompok ini hanya sebagian kecil yang lantas mengatasnamakan 1,8 miliar Muslim dunia.

Jennifer William menuturkan pengalamannya, “Sebagai seorang mahasiswa di puncak “perang melawan teror” George W. Bush, saya mulai belajar lebih banyak tentang keyakinan kelompok-kelompok teroris seperti al-Qaeda. Dan dalam prosesnya, saya mendapatkan pemahaman yang jauh lebih dalam dan lebih bernuansa tentang agama dan praktik Islam daripada apa yang saya dengar dari propaganda teroris dan dari media. Akhirnya, saya berubah.”

Baca Juga :  Etika dan Seni Marah (2): Hakikat, Macam, Gejala, Tingkatan dan Konsekuensi Marah

Ada sebuah teori dalam psikologi dan sosiologi yang dikenal sebagai “contact hypothesis” yang mengatakan bahwa kecurigaan dan kebencian di antara kelompok-kelompok yang berbeda rasial, agama, atau aspek lainnya sering menurun ketika kedua kelompok benar-benar mencoba melakukan kontak satu sama lain.

Penjelasannya cukup sederhana: begitu bertemu dengan orang-orang dari kelompok lain, Anda mulai melihat mereka bukan sebagai stereotip atau karikatur, tetapi sebagai orang nyata dengan segala macam pandangan yang berbeda.

Itu tampaknya telah terjadi dengan Wagner, politisi sayap kanan di Jerman. Begitu pandangannya terhadap Islam dan Muslim berubah, dia memutuskan untuk mundur dari posisi kepemimpinannya di partai AfD, atau diminta mundur dari partai.

Di pihak lain, AfD secara terbuka menyatakan tidak ada masalah dengan keputusan Wagner menjadi Muslim. “Agama itu masalah pribadi. Kami percaya pada kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam konstitusi,” kata juru bicara partai AfD, Daniel Friese, kepada Berliner Zeitung.

Mungkin mereka benar-benar tidak keberatan. Bagaimanapun, seorang Kristiani Jerman berkulit putih yang dulunya pandangan negatifnya terhadap Islam kini berubah setelah kontak dengan pengungsi Muslim mungkin merupakan bukti terbaik yang mendukung argumen bahwa “imigrasi begitu banyaknya orang Muslim akan mengubah budaya Jerman.”

Juni tahun lalu, optimisme serupa diungkapkan oleh menteri keuangan Jerman, Wolfgang Schäuble. Di hari perayaan berdirinya Gereja Protestan di Jerman, ia mengatakan bahwa agama Islam mengandung banyak nilai kemanusiaan yang kuat yang dapat dipelajari oleh orang Kristen dan ateis di Jerman, seperti keramahan dan toleransi.

Dilansir aljazeera, Schäuble sendiri tokoh senior Partai Demokrat Kristen yang berkuasa yang dipimpin oleh Kanselir Angela Merkel, mengatakan orang-orang Yahudi telah hidup dalam suasana penuh toleransi, dan situasi mereka lebih baik selama hidup berabad-abad di negara-negara Muslim daripada di negara-negara Kristen.

Baca Juga :  Realitas Manusia dalam Kebijaksanaan Luhur (2): Gerak Menyempurna

Selanjutnya, ikuti wawancara dengan Wagner untuk lebih mengenal alasannya masuk Islam, termasuk hubungannya dengan Alquran, di bagian kedua artikel.

Share Page

Close