• LAINYA

[arabic-font]وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ[/arabic-font]

“Dan jangan pernah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.”
(QS. Al Imran [3]: ayat 169)

Senafas sama dengan ayat ini dapat dijumpai di ayat lain, “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu telah mati; sesungguhnya mereka itu hidup, akan tetapi kamu tidak menyadari” (QS. Al-Baqarah [2]: 154).

Ayat ini memperingatkan kita sebagai manusia berakal dan berpikir sehat agar tidak mencoba-coba menyimpulkan bahwa orang yang syahid di jalan Allah, baik bersama atau sebelum juga sesudah Nabi, itu mati dan sudah berakhir kehidupannya, justru dia itu sedang memulai kehidupan yang sesungguhnya jauh lebih mulia dari sebelum kematiannya.

[1]
Ayat ini berkaitan dengan sekelompok orang munafik yang digambarkan dalam ayat sebelumnya menyalahkan muslimin yang ikut berperang dan terbunuh gugur di Uhud, “… seandainya mereka ikut kita (tidak pergi perang), tentu mereka tidak akan terbunuh!”[1]

[2]
Allah menjawab anggapan mereka tadi secara benar-benar logis bahwa mati dan hidup bukan di tangan diri sendiri; tidak ada yang bisa menolak kematian bila sudah tiba saatnya, “Katakanlah [hai Muhammad], ‘Cegahkan kematian dari dirimu jika kamu orang benar!?’” Sekalipun tidak pergi perang dan tetap tinggal di rumah, tidak ada jaminan tidak akan didatangi kematian. “Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di benteng yang tinggi kokoh” (QS. Al-Nisa’ [4]: 78). Kata Sayyidina Ali ra., Anda gugur syahid atau mati. Jadi, suka atau tidak, semua akan kembali kepada Allah melalui kematian, “kepada Kamilah kalian dikembalikan” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 57).
Masalahnya, bagaimana kita kembali menghadap Allah? Bagaimana kita mengalami kematian? Kematian bagaimana yang kita inginkan?

Baca juga: Apa Kata Goethe Tentang Alquran?
Baca juga: Kisah Alquran (1): Pernikahan Dramatis Di Balik Pembunuhan Terheboh
Baca juga: QS. Al-Qashash [28]: 77; Ingin Hidup Anda Berubah? Cukup 4 Strategi Ini
Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: 42; Cara Membuat Hoax

[3]
Orang yang pergi jihad berperang di jalan Allah adalah orang yang mendatangi kematian, bukan orang yang menunggu atau pasrah didatangi kematian. Berjihad di jalan agama Allah berarti merencanakan cara kematiannya sendiri dan perjumpaannya dengan Allah. Inilah manajemen kematian; bagaimana merencanakan kematian kita mulia, dan husnul khatimah, bukan kematian dalam kehinaan, catatan kejahatan, dan su’ul khatimah.

[4]
Orang yang mendatangi kematian dan merencanakan perjumpaan dengan Allah tidak akan merasa takut atau sedih, tetapi dengan suka cita, gairah dan penuh rindu. Di ayat berikutnya diuraikan keadaannya, “Mereka bahagia dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan mereka memberi kabar bahagia kepada orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada ketakutan pada mereka juga mereka tidak sedih.”

[5]
Takut dan sedih karena kematian hanya dirasakan oleh orang yang menunggu ajal tanpa tahu atau siap didatangi kematian. Ketakutannya tidak membuatnya menyiapkan diri menghadapi kematian, tetapi justru menyepelekan kedatangannya, tidak peduli dengan nasib akhirnya, sibuk dengan mencari dunia begitu susah atau menikmati dunia hingga lalai seolah akan hidup selamanya di dunia.

“Kematian itu pemburu; tak ada orang mukim melewatkannya, tak ada orang kabur melemahkannya. Kematian termulia itulah kesyahidan. Demi jiwa putra Abu Thalib berada di tangan-Nya, seribu hujaman pedang sungguh lebih ringan bagiku dari kematian di atas tempat tidur dalam ketidaktaatan pada Allah.”
(Nahj Al-Balaghah, ed. Subhi Shalih, pidato 123)

 
[6]
Dan jangan pernah kamu mengira”. Persoalan orang munafik dan muslim yang berat untuk ikut terlibat dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan, melawan kezaliman dan penindasan adalah pola pikir dan kualitas berpikir terhadap masalah. Perubahan diri dan masyarakat berpijak di atas perubahan berpikir dan bagaimana memandang masalah. Simak poin sembilan di bawah!

Baca Juga :  Tahukah Anda Ayat Alquran Paling Adil? Ini Dia!

[7]
Dan jangan pernah kamu mengira”. Ayat ini tanggapan atas anggapan keliru orang-orang munafik, tetapi Allah mengarahkan pembicaraan-Nya kepada Nabi. Jelas, Nabi tidak pernah mengira demikian, justru dia sebagai bapak para syuhada adalah manusia yang paling yakin “haqq al-yaqin” akan hakikat dunia, hakikat kematian, dan hakikat kehidupan pasca kematian.

Baca juga: QS. Al-Ra’d [13]: 1; Bagaimana Semua Pemahaman itu Relatif, Allah saja Men-Share Kebenaran Mutlak
Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: 42, Norma Etika Jurnalistik dan Pengacara
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: 15; Aturan Memviral Informasi

[8]n
Melalui kata ganti ‘kamu’ yang mengarah pada Nabi, Allah secara tidak langsung menyinggung orang-orang munafik dan siapa saja yang berpikir seperti mereka. Dalam menanggapi orang seperti munafik saja Allah menggunakan cara santun. Bukti kesantunan ialah berbicara logis seperti di ayat sebelumnya, “Katakanlah [hai Muhammad], ‘Cegahkan kematian dari dirimu jika kamu orang benar!?’”

[9]
“… orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati” adalah anggapan dan pikiran orang-orang munafik. “Jangan pernah mengira” merupakan desakan Allah untuk membuang habis pikiran seperti ini. Menganggap kematian itu adalah kehilangan napas, akhir kehidupan dan ketiadaan diri adalah pola pikir materialistik yang, bila dianut oleh orang yang mengaku muslim, tanda dari kemunafikannya.

[10]
Memperolok orang-orang yang berjuang di jalan Allah, menganggap mereka mati sia-sia adalah cara munafik melemahkan agama. Cara yang sama juga, sadar atau tidak, dilakukan sebagian orang muslim yang meremehkan apalagi menganggap sia-sia pengorbanan keringat, waktu, harta serta energi saudara-saudaranya yang mendukung perjuangan brigade militer dan membela hak-hak bangsa muslim Palestina yang dijajah Israel. Diam atau masa bodoh terhadap keadaan Palestina sudah merupakan kontribusi bagi Israel. Yakni, Israel sudah diuntungkan oleh sikap diam sebagian umat Islam. Tanda munafik tampak pada orang muslim yang berpikir tidak berpihak kepada Palestina dalam rangka seolah-olah netral, atau berpihak pada Palestina juga pada Isreal dalam rangka seolah-olah bersikap adil atau mengira sedang ikut menciptakan perdamaian. Perlu kiranya dicatat tebal, diam apalagi masabodoh dan tidak peduli terhadap bangsa Palestina terjajah saja sudah merupakan keuntungan politik yang menguntungkan Zionis Isreal penjajah.

[11]
Sebenarnya mereka hidup”, kalimat sanggahan ini sukar, kalau tidak dianggap mustahil, bagi orang yang berpikir materialistik dan empiris yang percaya bahwa dunia ini adalah satu-satunya tempat hidup yang berakhir dengan kematian. Setegas ayat ini, ayat lain menyatakan bahwa kematian justru awal kehidupan:

“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah senda gurau dan permainan, dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan seandainya mereka mengetahui”
(QS. Al-‘Ankabut [29]: 64)

[12]
Sebenarnya mereka hidup.” Ada dua hidup: hidup kita di dunia yang melihat pejuang yang terbunuh dan mayat tergeletak di tanah lalu dikubur, dan hidup dia yang telah terbunuh dan mayatnya tergeletak di tanah? Mana hidup yang sesungguhnya? Ya, hidup yang kedua, bukan yang pertama kecuali palsu dan permainan.

[13]
Dalam Alquran, tidak setiap mayat itu mati; ada sebagian mayat, mayatnya orang syahid, yang justru hidup dengan kualitas yang tidak tidak bisa dibandingkan dengan hidupnya orang yang masih hidup. Ayat ini secara transparan dan eksplisit menyatakan kepada manusia, wahai makhluk yang berakal dan berpikir sehat, jangan coba-coba menyimpulkan bahwa orang yang tergeletak mati di jalan Allah itu mayat; mereka bukan mayat, mereka bukan mayit, mereka tidak mati, mereka tidak kehilangan; sebaliknya mereka hidup dan memperoleh kehidupan terbaik.

[14]
Syahid bukan hidup, tetapi juga menghidupkan dan memberi kehidupan kepada umat manusia. Kesyahidan bukan untuk diri sendiri, tetapi juga karunia bagi yang lain. Orang syahid mendapatkan kehidupan hakiki di alam setelah kematian, juga menghadiahkan kehidupan bagi orang-orang yang ditinggalkannya. Tidak ada yang hilang bagi dirinya ataupun masyarakat. “ِDan siapa yang menghidupkan satu jiwa, maka seperti dia telah menghidupkan semua manusia” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32).

Baca Juga :  Tahukah Anda Ayat Alquran yang paling Pesimistik? Ini Dia!

Baca juga: Mufassir Perempuan (2): Banu Mujtahidah Isfahani dari Persia
Baca juga: Sayyid Qutb: Mufasir yang Mencita-citakan Negara Islam
Baca juga: Mufassir Perempuan (1): Bintu Syathi dari Mesir
Baca juga: Mulutmu harimaumu; karena lidah, dirimu binasa!

[15]
Bunyi ayat menyatakan bahwa mayat para syuhada itu hidup. Mereka tidak seperti mayat lain yang akan dihidupkan kembali mayat mereka di hari kebangkitan. Ayat ini bukan ungkapan metaforis sehingga hidupnya orang syahid dikiaskan dengan tetap hidupnya dalam kenangan mulia dan cacatan tinta emas. Ayat ini jawaban tegas atas cibiran orang munafik bahwa sahabat-sahabat Muhammad itu membunuh diri mereka sendiri hingga mati sia-sia tanpa mendapatkan apa-apa.

[16]
Ayat ini menampilkan Islam sebagai ajaran yang memberikan penghargaan dan sanjungan setinggi-tingginya sekaligus membangkitkan motivasi hebat pada jiwa orang-orang yang mengorbankan segenap wujudnya di jalan kebenaran dan keadilan. Nabi bersabda, “Keluar pagi dan petang di jalan Allah lebih utama dari dunia dan seluruh isinya.”

[17]
Syahid yang diangkat posisinya di sisi Allah sedemikian agungnya adalah manusia yang berkualitas iman dan amalnya. Perintah berjihad juga ditujukan kepada muslimin sebagai orang-orang beriman (lih. QS. Al-Anfal [8]: 54; Al-Taubah [9]: 123). Dalam hadis disebutkan, “Orang beriman itu lebih kuat dari baja. Baja akan berubah jika dimasukkan ke dalam api. Tetapi orang beriman jika terbunuh lalu dibangkitkan hidup kemudian terbunuh lagi, tidak akan berubah hatinya.”[3]

[18]
Rindu pada kematian dan kesyahidan hanya muncul dari iman sempurna. Jika dalam ayat disebutkan kematian adalah cicipan jiwa: “Setiap jiwa mencicipi kematian” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 64), maka kematian adalah madu yang dinantikan karena keimanan pada akhirat sebagai kehidupan hakiki. Rindu pada kematian akan membangkitkan keinginan kuat mengalami kematian berkali-kali.
Tentang kekhalifahan, Ali menuturkan, “Jika aku mengatakan [berhak menjadi khalifah], mereka mengatakan, ‘Dia rakus kekuasaan!’ Jika aku diam, mereka mengatakan, ‘Dia takut mati.’ Sama sekali! Setelah ini dan itu, demi Allah, anak Abu Thalib ini lebih nyaman dengan kematian daripada bayi dengan susu ibunya.”[4]
 

Nabi SAW: “Demi jiwaku di Tangan-Nya, aku sungguh ingin terbunuh di jalan Allah lalu dihidupkan, kemudian terbunuh lalu dihidupkan, kemudian terbunuh lagi.”[5]

[19]
Syahid adalah orang yang telah teruji iman di hatinya hingga tidak ada sedikit pun tersisa tanda-tanda kemunafikan. Kokoh imannya dan gigih jiwanya sepanjang perjuangan di jalan Allah, di jalan kebenaran dan keadilan.
Berikut sifat-sifat orang beriman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. [Yaitu] orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki yang mulia” (QS Al-Anfal [8]: 2-4). Ayat terakhir ditutup dengan rezeki yang mulia di sisi Allah seperti ayat di atas.

[20]
Sekembalinya para sahabat dari suatu peperangan, Nabi bersabda, “Kita telah kembali dari jihad asghar (lebih kecil) ke jihad akbar (lebih besar).” Sahabat bertanya, “Apakah jihad akbar itu, wahai utusan Allah?” Nabi bersabda, “Yaitu jihad terhadap diri.”
Nabi mengatakan “kembali”. Artinya, titik awal seseorang berjihad dan menjadi syahid adalah jihad atas diri sendiri. Dan pejuang yang tidak gugur syahid akan kembali ke negerinya untuk membina imannya tetap kokoh dan jiwanya gigih, dia akan memasuki medan ujian lain berupa pujian, penghargaan, gelar, kedudukan, atau bahkan cibiran dan penghinaan. Dalam beberapa peperangan, terjadi pembagian rampasan perang. Inilah medan-medan cinta dunia (hubb al-dunya) yang tidak menampakkan musuh dan persenjataannya secara kasatmata. Nabi bersabda, “Musuhmu yang paling jahat ialah jiwamu yang berada dalam dirimu.”[6]

Baca Juga :  4 Arti Wahyu dalam Alquran

Baca juga: Sayyid Qutb: Mufasir Yang Mencita-Citakan Negara Islam
Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (1): Maurice Bucaille, Dokter Profesor Perancis
Baca juga: QS. Al ‘Imran [3]: 139, Tidak Unggul, Maka Tidak Beriman

[21]
Syahid adalah orang yang telah menuntaskan jihad ashgar juga jihad akbar. Jihad ashgar tidak mendatangkan kesyahidan kecuali bergerak dari dan bersama jihad akbar.

[22]
Medan jihad akbar adalah jiwa, yakni memutuskan keterikatan jiwa pada dunia dan mengikatkan jiwa sepenuhnya pada kehendak Allah. Maka, orang yang cinta dunia tidak akan sanggup mengemban peran jihad dan mencapai derajat syahid, karena dia takut mati, bagaimana lantas mau meninggalkan dunia dan berharap akhirat dengan kematian dalam cekaman musuh.
Nabi SAW bersabda, “Hampir saja umat-umat dari segala penjuru mengerumuni kalian seperti orang-orang lapar mengerumuni piring makanan.” Kami bertanya, “Apakah karena saat itu kita golongan minoritas?” Nabi SAW menjawab, “Justru kalian saat itu mayoritas, tetapi kalian adalah buih seperti buih sungai; rasa ketakutan telah dicabut dari hati musuh kalian, sedangkan kelemahan tertaman di hati kalian.” Kami bertanya, “Apa kelemahan itu?” Nabi SAW bersabda, “Itulah cinta dunia dan takut mati.”[7]

[23]
Memutuskan keterikatan jiwa pada dunia dan mengikatkan jiwa sepenuhnya pada kehendak Allah. Itulah pemurnian niat dan peneguhannya hanya fokus pada Allah. Sabda masyhur Nabi, nilai suatu aksi adalah dengan niat. Di hadis lain, ia bersabda, “Tidak sedikit orang yang terkena senjata namun bukan sebagai syahid juga bukan terpuji. Tidak sedikit pula orang yang mati di atas pembaringannya di sisi Allah sebagai orang pejujur syahid.”[8]

[24]
Jika jihad orang yang berjihad dan gugur syahid disebut lebih kecil dengan sedemikian tinggi kedudukannya di sisi Allah, tentu orang yang berjihad akbar dan berhasil mematikan dirinya di jalan Allah, yakni mematikan kehendaknya lalu menggantikannya dengan kehendak (perintah dan larangan) Allah, mendapatkan kedudukan yang juga akbar ‘lebih besar’. Puncak seni kematian ialah “Matilah kamu sebelum kalian mati”. Yakni mati dengan kehendak dan kesadaran sebelum mati terpaksa.

————————–
Referensi
[1] Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 4, hlm. 58. Imam Suyuthi membawakan riwayat dari Qatadah bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi SAW berkata dengan nada mengolok-olok, “Seandainya saja kita tahu apa dialami saudara-saudara kita yang terbunuh di hari Uhud!” Lalu Allah menjawab mereka dengan ayat di atas. (lih. Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, jld. 4, hlm. 112).
[2] Tafsir Al-Kasyif, jld. 2, hlm. 203.
[3] Dalam hadis lain terkait ayat ini disebutkan oleh Siti Aisyah bahwa Nabi SAW berkata kepada Jabir, “Tidak kamu ingin aku kabarkan berita bahagia?” “Tentu”, jawabnya. Nabi bersabda, “Kamu tahu bahwa Allah telah menghidupkan ayahmu lalu dia mendudukkannya di hadapan-Nya dan bertanya, “Mintalah kepada-Ku apa yang kamu inginkan, pasti Aku berikan kepadamu!” Ayahmu berkata, “Tuhanku, aku tidak menyembahmu sebenar-benarnya ibadah kepadamu. Aku ingin sekali Engkau mengembalikan aku ke dunia lalu aku terbunuh lagi bersama nabi-Mu.” Allah berfirman, “Telah Aku tetapkan bahwa kamu tidak kembali lagi ke dunia” (Al-Durr Al-Mantsur, jld. 4, hlm. 112).
[4] Nahj Al-Balaghah, pidato no. 5.
[5] Kanz Al-‘Ummal, hadis no. 10564. Dalam Sahih Muslim diriwayatkan bahwa Nabi bersabda, “Tidak ada seorang pun yang masuk surga lalu dia ingin kembali ke dunia dan dia memiliki sesuatu di dunia kecuali orang syahid; dia ingin sekali kembali lalu terbunuh sepuluh kali karena melihat begitu mulianya.”
[6] Al-Thabrani, Al-Kabir, hadis no. 3445.
[7] Musnad Ahmad ibn Hanbal, hadis no. 21363; Sunan Abi Dawud, hadis no. 4297.
[8] Kanz Al-Ummal, hadis no. 11200.

Share Page

Close