• LAINYA

TERMINOLOGI–Muhkam dan Mutasyabih adalah dua istilah yang lazim dalam Ulumul Qur’an. Dahulu bahkan pembahasan spesialis mengenai muhkam dan mutasyabih ini menjadi bidang ilmu kequranan tersendiri dengan nama Mutasyabihat al-Qur’an. Sudah banyak karya-karya yang ditulis khusus tentang itu. Salah satu buku besar adalah Mutasyabihat al-Qur’an wa Mukhtalafih, karya Imam Abu Ja’far Syahr Asyub, sebanyak 5 jilid.

Jika ditempatkan dalam hirarki ilmu pengetahuan keislaman, muhkam dan mutasyabih sesungguhnya juga menemukan posisi ilmiah juga dalam metodologi tafsir dan epistemologi Alquran. Dua istilah ini juga berperan dalam diskursus kontemporer seperti: Hermeneutika.

Betapapun, Muhkam dan mutasyabih merupakan istilah yang murni quranik, hasil inisiasi Alquran. Yakni, kategori ayat-ayat ini mengacu keterangan Alquran di surah Al Imran:

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
Dialah [Allah] yang telah menurunkan kepadamu Kitab; darinya adalah ayat-ayat yang muhkam yang mereka inilah ibu Kitab, sedangkan ayat-ayat lainnya adalah mutasyabih (QS. Al Imran [3]: 7).

Muhkam atau, bentuk pluralnya, muhkamat yaitu ayat-ayat Alquran yang maknanya jelas, tegas dan tidak mengandung makna lain. Di sisi lain, ayat mutasyabih atau, bentuk pluralnya, mutasyabihat adalah ayat yang mengandung kemungkinan makna literal yang beragam.

Pada hemat sebagian ulama, hanya Allah SWT yang mengetahui makna hakiki dari ayat-ayat mutasyabih. Sebagian justru perpandangan bahwa manusia juga dapat memahami makna ayat mutasyabih dengan cara: merujuk ayat-ayat muhkam. Untuk mengetahui sebab diturunkannya ayat Mustasyabihat, Alquran memberikan dalil-dalil yang beragam

DEFINISI MUHKAM DAN MUTASYABIH 
Sebagian besar ulama ahli Ulumul Qur’an berpendapat bahwa ayat muhkam merupakan ayat-ayat yang maknanya jelas sehingga tidak ada kemungkinan mengandung makna yang lain. Sementara ayat mutasyabih yaitu ayat yang masih memiliki kemungkinan makna literal (lahiriah) yang beragam, dan kemungkinan keragaman makna itu bisa terjadi baik pada kata atau pada kalimat.[1]

Baca Juga :  Ayat Wahdatul Wujud (1): Al-Kahf [18]: 38, “Aku Dialah Allah”

Adapun secara terminologis, ada pendapat lain tentang makna muhkam [2], seperti: ayat yang mengandung penjelasan tentang halal-haram atau perintah-larangan; ayat yang tidak bisa di-nasakh-kan, dan ayat mutasyabih adalah ayat yang di-mansukh-kan; ayat yang mengandung perkara yang dijanjikan pahala dan hukuman atasnya; dan ayat yang lafadz-lafadz nya tidak mengalami pengulangan.

Demikian masih secara terminologis, ayat mutasyabih juga memiliki beberapa definisi:[3] di antaranya: ayat yang telah di mansukh-kan sehingga kita dilarang mengamalkannya; ayat yang berupa kisah dan semisalnya; ayat yang hakikat maknanya hanya diketahui Allah sementara manusia hanya meyakini makna lahiriahnya saja; ayat pembuka surah-surah dan huruf-huruf muqattha’ah (terputus); ayat yang hanya dapat dipahami dengan takwil dan tidak cukup dipahami berdasarkan makna lahiriahnya saja.

Ayat mutasyabih juga didefinisikan sebagai ayat yang terkait dengan hal-hal gaib dan hanya Allah yang tahu makna sebenarnya. Misalnya, ayat tentang waktu terjadinya kiamat, kapan turunnya hujan, waktu tibanya ajal dan kematian, dll. Ada pula yang mendefinisikan ayat mutasyabih sebagai ayat yang hanya bisa dipahami dengan menghubungkannya dengan ayat lain sehingga, tanpa penghubungan itu, ayat tidak bisa dipahami.

HIKMAH KEBERADAAN AYAT MUTASYABIH 
Kenapa harus ada ayat mutasyabih? Tidak lebih sempurna bila Alquran ini seluruhnya berupa ayat-ayat muhkam sehingga tidak menimbulkan kemungkinan dan perbedaan pemahaman?

Pada prakteknya, ayat-ayat mutasyabih dapat digunakan untuk menyesatkan pemahaman kandungan. Dan ini fakta yang juga diekspos oleh Alquran sendiri di lanjutan ayat di atas.

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Adapun orang-oang yang dalam hati mereka terdapat kecondongan [kepada kesesatan] maka mereka mengikuti apa yang mutasyabih untuk menari-cari fitnah an mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, adapun orang-orang yang kokoh ilmunya berkata, ‘Kami beriman padanya, smuanya dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (QS. Al Imran [3]: 7).

Baca Juga :  Tafsir Tematik (1): Distingsi dan Signifikansinya dengan Tafsir Parsial

Menjawab pertanyaan ini, ada beragam jawaban yang telah dikemukakan oleh ulama, di antaranya berikut ini:

Sebagian mutakallim percaya bahwa keberadaan ayat mutasyabih dalam Alquran merupakan proses bertahap menuju pemahaman yang lebih mendalam dan fokus lebih teliti terhadap kandungan Alquran. Dengan demikian, keberadaannya menyebabkan aktualisasi fungsi dan daya akal, selain juga mendorong awam agar merujuk para ahli Alquran yang kompeten dan “kokoh ilmunya” menjelaskan ayat-ayat mutasyabih.[4]

Dari kaum sufi juga percaya bahwa keadaan manusia dalam beribadah itu bertingkat-tingkat; ada yang ada baru mencapai tahap kesucian khayal dan akal, ada sudah melewati tahap kesucian diri dari hawa nafsu dan apa saja selain Allah. Maka Alquran diturunkan sesuai dengan derajat pemahaman serta tingkatan jiwa manusia.[5]

Jawaban lain datang dari kalangan ulama filosof. Di antara pembaca Alquran ada orang-orang yang tidak mampu mengetahui hakikat alam-alam nonmateri, maka perlu adanya ayat-ayat yang, pertama-tama, memberikan pendekatan awal, yaitu dengan menisbahkan sifat antromoformistik atau jasmaniah kepada Allah dengan menggunakan kata-kata yang sesuai dengan alam khayal. Ayat-ayat inilah yang merupakan mutasyabih.

Namun, di samping ayat-ayat mutasyabih tadi, juga ada ayat-ayat muhkam yang menjelaskan hakikat yang sebenarnya. Dalam konteks ini, masyarakat awam secara bertahap akan berproses dan berpindah secara bertahap: dari memahami realitas dengan pendekatan antropomorfistik ke realitas transenden maha sempurna, Allah SWT, Realitas absolut dan murni dari segala apa saja yang bersifat mumkin.[6]Bersambung

  • Untuk referensi detail dapat menghubungi redaksi via: redaksi.quranika@gmail.com

Share Page

Close