• LAINYA

“Bagaimana aku sukses dalam pernikahan dan bagaimana pernikahanku bahagia?” Barangkali tidak ada pertanyaan lebih penting dari pertanyaan ini serta harapan di dalamnya. Tidak ada lelaki maupun perempuan yang akan dan sedang menikah kecuali menyimpan perasaan senang dan harapan hidup bahagia. Setiap pasangan ingin sekali kebahagiaan dan kesenangan pernikahan mereka terbina sempurna dan langgeng dalam keluarga. Sekali lagi, “Bagaimana pernikahanku bahagia dan terus bahagia?”

Sepintas, pertanyaan di atas seperti ulangan, seolah-olah kita bertanya begini: bagaimana pernikahanku ini pernikahan? Atau bagaimana kebahagiaanku ini adalah kebahagiaan? Karena, dalam kondisi normalnya dan pada umumnya, kebahagiaan sudah dan sedang dialami oleh kedua pasangan, setidaknya, di hari mereka melangsungkan pernikahan.

Dengan kata lain, pernikahan sudah identik dengan kebahagiaan. Ghalibnya, nikah berarti bahagia. Semua perlengkapan dan agenda acara kemeriahan dalam pernikahan direncanakan, dipersiapkan dan dilangsungkan sebagai ekspresi dari momen-momen kebahagiaan kedua pasangan. Dokumentasi sepanjang prosesi dan resepsi pernikahan bukan semata-mata rekaman masa lalu kebahagiaan bersama, tetapi juga upaya menyegarkannya dan membuat harapan hidup bahagia tetap menyala.

Sudah merupakan konsensus para pakar bahwa pernikahan berarti langkah awal menuju juga pembentukan entitas pertama masyarakat. Secara prinsipal, masyarakat dan negara tidak akan terbentuk tanpa bangsa dan bertahan tanpa generasi. Keberadaan bangsa dan kelahiran generasi manusia, pada gilirannya, amat ditentukan oleh hubungan dan ikatan, minimal, di antara dua orang: lelaki dan perempuan. Ikatan mereka inilah yang merupakan elemen dasar dari pernikahan.

Sudah barang tentu, kualitas ikatan dan nilai pernikahan juga akan berdampak pada kualitas bangsa dan generasi masa depan. Karena itu, pertanyaan di atas tadi kembali menonjolkan signifikansinya: bagaimana pernikahanku berkualitas: sukses dan bahagia? Memikirkan dan mengulas pertanyaan ini bukan hanya terkait dengan diri sendiri, tetapi juga terlibat aktif merancang dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa, mendesain generasi dan masa depan umat manusia.

Baca Juga :  Alquran di Balik Keunikan Sikap Ghazali: Logika Wajib, Filosof Kafir

Segaris dengan itu, setiap ajaran dan gerakan yang berskala dunia, mengklaim kemanusiaan dan merancang masa depan manusia, suka atau tidak, menyatakan pandangan dan agendanya mengenai keluarga dan, konsekuensinya, hubungan lelaki-perempuan serta pernikahan. Tampaknya, di antara ajaran-ajaran itu, Islam merupakan agama dunia yang membahas pernikahan dan keluarga sedemikian banyak dan luas.

Sebagai ajaran yang meyakinkan kapasitasnya sebagai agama dunia, menjanjikan masa depan dan kebahagiaan hidup (hayat thayyibah), Islam mencurahkan perhatian khusus terhadap pernikahan sepanjang teks-teks suci: Alquran dan hadis, juga dalam penalaran rasional yang ditekankan di dalamnya. Keterangan rasional dan tekstual Islam sekaligus dapat membentuk filsafat pernikahan.

 

Apa itu Pernikahan?

Pertama-tama, perlu kiranya mendudukkan pernikahan itu sendiri secara tegas dan jernih. Pernikahan adalah suatu perjanjian, kontrak dan kesepakatan resmi dan formal antardua sepasang lelaki dan perempuan untuk menerima suatu komitmen bersama dalam rangka membentuk kehidupan berkeluarga sehingga, dalam kerangka itu, kedua pasangan menjalani hidup bersama secara sah dan terhormat.

Kontrak dan perjanjian itu terbangun atas dasar keinginan dan kebebasan kedua pasangan yang, selanjutnya, menciptakan hak dan tanggung jawab bersama bagi dan atas mereka. Kontrak dan ikatan dua belah pihak ini diikrarkan dengan kata-kata dan pernyataan literal tertentu, yang kita sebut ‘aqd’ atau akad nikah. Dengan akad ini, hubungan sepasang suami-istri bukan hanya disaksikan sah dan diakui oleh masyarakat, tetapi juga direstui, dihormati dan didukung oleh mereka dengan suka cita bersama. Itulah sebabnya dalam teks-teks suci dianjurkan agar akad nikah dilaksanakan dengan kehadiran saksi dan undangan, secara terbuka dan di ruang publik seperti: masjid.[1]

 

Filosofi Pernikahan

Salah satu cara menggali filosofi pernikahan ialah mengungkap sebab yang mendahului dan/atau alasan (tujuan) yang hendak dicapai di balik pernikahan itu sendiri. Sebab dan alasan ini, sekali lagi, dapat digali dengan instrumen yang relevan, yaitu “mengapa”.

Baca Juga :  Dosa-dosa Tidak Merdeka (1): Teologi Penjajahan

“Mengapa aku menikah?” adalah pertanyaan tentang faktor dan kondisi apa saja yang terjadi hingga membuat seseorang melakukan tindakan menikah. Pertanyaan iu juga merupakan upaya mengetahui motif, pertimbangan, harapan, cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai seseorang hingga ia terdorong untuk melakukan tindakan menikah.

Pemahaman yang baik akan latar belakang (sebab) dan latar depan (alasan) menikah akan menunjang pasangan nikah dalam menjawab masalah utama di muka: “bagaimana pernikahanku bahagia?” Jika, katakan saja, sebab utama dari pernikahan itu dipahami sebagai semata-mata takdir Tuhan yang meniadakan pilihan dan kehendak manusia, maka pernikahan orang yang memahami takdir demikian itu sama nilainya dengan keadaannya sebelum menikah, yakni membujang. Dalam asumsi ini, menikah dan tidak menikah sama-sama nilainya, yakni sama-sama bahagia atau sama-sama biasa saja. Bahkan bagi orang itu, menikah dengan siapapun dan dengan jodoh manapun adalah semata-mata takdir; ia akan mudah melakukan perceraian semudah dia melangsungkan pernikahan.

Serupa dengan sebab ini adalah menikah hanya dengan alasan: hanya demi memenuhi keinginan orang tua. Maka, seorang lelaki/perempuan sudah dan seharusnya bahagia hanya sekedar dipilihkan jodoh oleh orang tuanya hingga melangsungkan proses pernikahan dan melihat orangtuanya tersenyum bahagia di resepsi pernikahan itu. Kebahagiaannya, kalau memang benar bahagia, sulit dibayangkan sama dengan kebahagiaan orang yang menentukan jodoh dengan sepenuh hati dan dengan restu orang tua.

Mengenal filsafat nikah juga secara langsung berdampak positif pada pengenalan kita akan diri kita sendiri. Semakin kita menggali kedalaman sebab dan tujuan pernikahan, semakin kita tahu nilai, muatan dan hakikat diri sendiri. Dengan begitu, kita dapat juga mengidentifikasi letak-letak kebahagiaan diri kita sebagai manusia, bahkan mengukur kebahagiaan yang kita harapkan: apakah realistis dan sesuai dengan nilai dan realitas diri kita atau justru muluk-muluk atau malah tampak begitu rendah setingkat binatang.

Baca Juga :  Khazanah Manuskrip Al-Quran Langka; Berusia 600 Tahun di Singapura

Seperti juga makna-makna abstrak lainnya, kebahagiaan itu tasykiki, hierarkis dan bertingkat-tingkat kualitasnya, dari sekedar bahagia hingga paling bahagia. Rendah-tingginya kebahagiaan yang diharapkan seseorang dari keputusan dan tindakan menikah ditentukan secara signifikan oleh hal-hal yang melatari tindakan tersebut. Penggalian nilai-nilai filosofis menikah, yakni sebab-sebab dan alasan-alasan menikah, akan membantunya menentukan dan mengukur kebahagiaan pernikahannya. Bersambung

——————————————-

[1] Lih. Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis no. 15545; Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, hadis no. 44536 dan no. 44532.

Share Page

Close