• LAINYA

TASAWUF-POLITIK–Jelas sekali Platon akan kecewa menyimak wali-faqih sebagai profil pemimpin ideal versi Imam Khomeini, setidaknya dia tidak menemukan sisi pencapaian alam hakikat pada wali faqih. Barangkali ini sebuah isyarat awal yang mendorong kita memahami pesimisme Popper itu.

Yang perlu kita selidiki ialah sejauh mana rentang idealisme Platon dan wali-faqih Imam Khomeini? Dan adakah isyarat lain yang menahan atau malah mempertajam isyarat awal itu?

Baca sebelumnya: Profil Pemimpin Ideal dalam Tasawuf Politik Platon dan Khomeini (3): Ulama sama dengan Nabi

 

FAQAHAH (KEILMUAN)
Dalam pembukaan Surat Wasiat Politik yang terkenal itu, Imam Khomeini menulis, “Fiqih sunnati (tradisional) yang di dalamnya terkandung hukum primer (awwali) dan hukum sekunder (tsanawi) merupakan penjamin kemajuan dan keunggulan bangsa-bangsa. Mereka harus sadar bahwa satu langkah penyimpangan adalah awal keruntuhan agama, hukum Islam dan pemerintahan Keadilan Ilahi.”[72]

Menjadi seorang faqih atau pakar fiqih dan hukum Islam memerlukan sejumlah keahlian di bidang-bidang seperti: ilmu-ilmu sastra Arab, Mantik, Usul Fiqih, Ulumul Quran, Riwayah, Dirayah, memahami Al-Qur’an dan hadis-hadis yang diperlukan dalam penyimpulan hukum, menelaah maksud-maksudnya secara linguistik dan konvensional (yang biasa dan umum berlaku), mempelajari pertentangan antarayat dan hadis serta indikasi-indikasi di sekitarnya secermat mungkin, dan berusaha mengetahui asbabul nuzul dan wurud serta tehnik inferensi para Imam maksum, juga mengkaji fatwa-fatwa ulama ‘ammah (Ahli Sunnah).[73]

Yang tidak kalah pentingnya ialah pembiasaan mendeduksi hukum parsial dari kaidah umum guna menemukan dan menguatkan keahlian ijtihad. Berbeda dengan kecenderungan umum, Imam Khomeini mengingatkan pelajar untuk tidak mendalami bidang-bidang itu dengan kejelian yang berlebihan yang berbaur ketelitian filosofis yang serbateknis dan abstraktif sehingga melampaui tujuan utama, yakni upaya memahami dan menyimpulkan hukum yang lebih berdasarkan metode uqala’i (konvensional) dan data common sense.[74]

Satu hal yang tampak lebih menonjol dan begitu penting pada metode ijtihad Imam Khomeini daripada yang dikembangkan oleh para pendahulu dan sejawatnya ialah dua unsur: ruang dan waktu.[75] “Saya pribadi yakin pada fiqih tradisional dan ijtihad jawahiri, dan saya menganggap tidak benar menyimpang darinya; ijtihad dengan pola itu sudah sahih. Meski begitu, hal ini tidak berarti bahwa fikih Islam tidak dinamis. Ruang dan waktu merupakan dua unsur yang menentukan dalam perijtihadan mereka”.[76]

Baca Juga :  Visi Keperadaban Filsafat Muhammad Iqbal (1): nyaris Satu Abad Tetap Aktual

Lebih dari ijtihad yang lazim di kalangan Hauzah Ilmiyah, Imam Khomeini menegaskan, “Seorang yang sekalipun lebih ahli di bidang-bidang ilmu keagamaan, namun tidak punya pengamatan yang tepat dan kekuatan dalam mengambil sikap bukanlah seorang mujtahid dan tidak layak memegang kendali masyarakat.” Untuk selanjutnya ia menganjurkan mujtahid agar memikirkan dan mempelajari pranata-pranata pengelolaan hidup kemasyarakatan yang mungkin sekali berubah di kemudian hari dan mereka membutuhkan hukum baru agama untuk memecahkan persoalan-persoalan yang muncul.[77]

Sejalan dengan doktrin falsibilitas ijtihad (takhti’ah), maka usaha penyimpulan hukum (ijtihad) ini, kendati dimaksudkan untuk menyingkap hukum waqi’i (sesuai dengan kehendak Tuhan), dalam banyak kasus hanya menyajikan hukum dzahiriah yang boleh jadi tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena keserbaterbatasan dan sekian udzur yang ditolelir oleh Tuhan sendiri.

Oleh karena itu, seorang mujtahid yang menyimpulkan hukum dengan segenap usaha dan keahliannya, ia dan muqallid (pengikut)-nya dibenarkan mengamalkan hukum itu, dan Tuhan tidak mempertanggungjawabkan mereka sekiranya hukum itu ternyata tidak sesuai dengan kehendak-Nya.[78]

Tampak bagaimana arti ijtihad yang dirumuskan Imam Khomeini di atas berbenturan keras dengan epistemologi Platon yang menekankan pengetahuan hakiki kepada filosofnya. Berbeda dengan doktrin “kemaksuman” (Tashwib) pada umumnya mujtahid Ahli Sunnah, doktrin falsibilitas (Takhti’ah) yang dianut Imam Khomeini dan para mujtahid Syiah mendudukkan wali faqih vis-a-vis filosof Platon secara lebih terbuka.

Dengan ungkapan lain, seorang filosof Platonian ialah manusia yang pasti tahu hukum waqi’i (hakiki) melalui justifikasi rasional dan penyaksiaan hakikat segala sesuatu di alam idea, bukan sekedar tahu hukum dzahiriah dengan mengandalkan cara-cara uqala’i dan data-data common sense.

Pada hemat Imam Khomeini, manusia dengan kriteria seperti ini justru lebih mendekati identitas Imam Mahdi atau profil filosof yang sufi. Akan tiba saatnya kita menyimak idealisme yang diakui Platon sendiri sulit berkuasa secara faktual.[79]

Imam Khomeini mengatakan, “Ilmu tentang hakikat malaikat, hakikat sifat Allah, begitu juga keahlian di pelbagai bidang ilmu pengetahuan alam dan hukum-hukumnya, atau tentang seluk beluk musik, semua itu tidak membuat seseorang jadi layak menduduki khilafah dan mengendalikan pemerintahan; mengungguli manusia-manusia yang adil dan ahli hukum Islam.”[80]

Di tempat lain ia menerangkan, “Faqih ialah seorang yang bukan sekadar tahu hukum dan perundang-undangan pidana Islam, tetapi juga menguasai akidah, syariat, dan akhlak, yakni ahli agama dalam arti yang selengkapnya.”[81]

Baca Juga :  Pandemi dan Argumen Ateis atas Ketiadaan Tuhan (1): Rumusan Argumen

 

Khomeini mengakui demokrasi, bukan sekedar sebagai cara dan sistem bagaimana hukum Tuhan dan pelaksananya dapat berkuasa serta efektif secara damai, bahkan menjadi satu lapisan ideologi yang seutuh dengan kebebasan karuniawi manusia.

 

KEADILAN (TAKWA)
Yaitu dimensi spiritual yang unggul yang melengkapi keunggulan intelektual pemimpin. Di atas itu, Platon mengartikan keadilan sama dengan pengatur trilogi keseimbangan: itikad, akal dan nafsu, pengertian yang juga mentradisi dalam teori Akhlak Islam, termasuk dalam Akhlak Imam Khomeini. Justru itulah salah satu alasan Imam memberikan penghargaannya pada Platon.

Lebih dalam lagi menggali Etika Platon, akan dijumpai diktum “Gnoti seauton, meden agan!” (kenali dirimu, jangan berlebihan!), sabda tujuh filosof Yunani yang terukir di atas gerbang peribadatan Apollo.[82]

Dalam bahasa hadis, gnoti seauton itu terulang melalui doktrin ma’rifatun-nafs; sebuah frasa yang menempati jantung Irfan Amali (tasawuf praktikal), tidak terkecuali dalam tasawuf Imam Khomeini. Hanya uniknya, ia mengadaptasikan kandungan kalimat itu dengan tinta “fitrah” di atas permukaan batin orang awam sekalipun.[83] Karena paling merata dan tidak pernah hilang,[84] fitrah selalunya di antara kata lalai (ghaflah) dan insaf (yaqzah). Maka itu, akhlak dan tasawuf Imam Khomeini lebih bersifat penyadaran daripada pengajaran, yang jauh sebelumnya menjadi metode anamnesis dan kebiasaan dialektis Socrates.

Namun demikian, titik-titik kedekatan di atas ini tidak cukup menjelaskan acuan Platon sekaitan dengan proses pencapaian keadilan. Artinya, selain etape-etape pencapaian pengetahuan episteme tersebut dahulu, sejauh ini tidak dijumpai diskripsi literal darinya mengenai tahap-tahap praksis pencapaian keadilan, yaitu dari manakah seseorang harus memulai bersuluk dan bermakrifat untuk menjadi adil? Dan bagaimana seseorang memulai dan menjalani ma’rifatun-nafs?

Keterangan-keterangan detail dan khas mengenai pertanyaan tadi akan mudah dijumpai dari Imam Khomeini tatkala ia mengurai Perjalanan Pertama dari Asfar Arba’ah, dengan terlebih dahulu menyunting pertanyaan tadi sesuai dengan apa yang ia bubuhkan, misalnya, untuk hadis ke-12 dalam Cehel Hadis (40 Hadis), yaitu dari manakah memulai islahun-nafs (pembinaan diri)?

Adalah postulat Irfan Amali dan Tasawuf bahwa sair suluk berpijak pada syariat untuk menjalani tarikat hingga mencapai hakikat. Imam Khomeini mengatakan, “Sesungguhnya tarikat dan hakikat tidak akan tercapai kecuali melalui syariat, karena yang dzahir (pengamalan hukum-hukum syariat) adalah jalan menuju yang batin, bahkan yang-dzahir itu tidak akan terpisah dari yang-batin”.[85]

Baca Juga :  Filsafat Islam: Meninjau Peluang dan Tantangan Kontribusinya dalam Problematika Kemanusiaan

Maka, pesuluk akan memulai Perjalanan Pertama dari Asfar Arba’ah-nya dari komitmen pada hukum-hukum syariat. Komitmen inilah yang dimaksudkan oleh keadilan, yakni “Karakter kuat yang mendorong seseorang menjaga takwa: meninggalkan yang-haram dan mengerjakan yang-wajib”,[86] dan “Keadilan ini bisa hilang dengan melakukan dosa besar atau mengulang-ulang dosa kecil.”[87]

Tampak begitu timpang antara derajat keadilan wali-faqih dan derajat keadilan filosof-sufi. Sementara filosof Platonian hanya berhak memegang kekuasaan dan kewenangan memerintah di bumi setelah menamatkan, sekurang-kurangnya, dua perjalanan dengan segenap jenjang di dalamnya, wali-faqih mendapatkan kewenangan yang sama hanya dengan komitmennya pada hukum-hukum dzahir syariat; sebuah jenjang yang mengawali jenjang-jenjang Perjalanan Pertama.

Oleh karena itu, wali-faqih tidak mesti filosof, juga tidak mesti sufi. Begitupula sebaliknya, filosof dan atau arif tidak mesti jadi wali-faqih.

Keadilan atau takwa sebagai karakter yang subjektif merupakan mahkamah internal yang kerap mengontrol dan mempertanggungjawabkan segenap komitmen religius wali-faqih dalam relung jiwanya, lebih dari sekadar komitmen moral. Keadilan itu pula yang sanggup menumpahkan kandungan motifasinya dalam berfikir, bersikap dan berbuat.

Perihal pemerintahan sebagai amanat besar Tuhan Yang Mahatahu yang harus ditunaikan begitu ketat mengawal kesadaran dan konsistensi wali-faqih dalam menjalankan pemerintahannya, walaupun dengan motif takut adzab akhirat.

Sisi subjektivitas keadilan ini tidak berarti wali-faqih jadi sakral dan tak sentuh, sebab Imam Khomeini mengaitkan standar keadilan dan komitmen itu, sekali lagi, pada hukum dzahir syariat yang bisa diamati dan dinilai oleh orang awam sekalipun. “Keadilan itu bisa diketahui lewat perilaku lahiriah yang baik, menjaga hukum syariat serta ketaatan agama, bergaul dalam masyarakat dan semacamnya. Tuhan mengakui penyingkapan baiknya penampilan dzahir atas baiknya batin, walaupun itu tidak cukup membuat orang puas atau menyangka baik.”[88]

Dengan mengangkat komitmen lahiriyah sebagai standar, sesungguhnya Imam Khomeini menyempurnakan self-control tersebut dengan public control. Pada yang belakangan ini terkontekstualisasikan amanat-amanat ilahi seperti: nasihat kepada pemimpin, kewajiban sosial amar makruf dan nahi munkar pada semua level.BERSAMBUNG

 

Share Page

Close