• LAINYA

QURANIKA-SOSIAL–Dua Perempuan, satu dari bangsawan Quraish dari kaum Muhajirin dan satu lagi dari keluarga kaum Anshar. Keluarga mereka sama-sama keberatan dipinang dan dinikahkan oleh Nabi SAW. Dua perempuan ini terkait dengan ayat ini. Yang pertama menjadi sebab turunnya ayat, dan yang kedua menjadi argumen agar keluarganya menerima pinangan Nabi.

Baca juga: Cara Filsafat Menaklukkan Bencana
Baca juga: Kenapa Harus Ada Bencana? 5 Penjelasan Dari Alquran

Awalnya, dua keluarga itu menyambut pinangan Nabi SAW karena mereka berpikir beliau sendiri yang hendak menikahi anak perempuan mereka. Namun, mereka salah mengira dan kecewa. Mereka sangat keberatan karena dua lelaki yang dipinangkan oleh Nabi tidak selevel yang mereka harapkan; yang satu dari keluarga budak dan satu lagi lelaki yang terkenal genit dan suka menggoda kaum hawa. Bagaimana ceritanya? Simak dulu ayat di bawah ini:

[arabic-font]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا[/arabic-font]

“Dan tidaklah berhak laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu keputusan, akan ada pilihan [lain] bagi mereka dalam urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
QS. Al-Ahzab [33]: 36

Ayat ini turun karena Zainab binti Jahasy al-Asadi menolak dipinang oleh Nabi SAW, karena pinangan itu bukan untuk diri Nabi SAW, tetapi untuk Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau yang dulunya budak Ibu Kaum Mukminin, Siti Khadijah, lalu dihadiahkan kepada sang suami, Nabi SAW, kemudian beliau memerdekakannya lantas menjadikannya sebagai anak angkat. Sementara Zainab sendiri berasal dari keluarga bangsawan terpandang di kalangan Quraisy. Hubungannya dengan Nabi SAW, ia sepupu beliau, anak perempuan dari bibi beliau, Umaimah binti Abdul Muthalib.

Dalam penolakannya, Zainab mengatakan, “Aku lebih mulia statusku dari dia!” “Menikahlah dengan dia!” desak Nabi. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, ketika mereka sedang membicarakan itu, Allah menurunkan ayat di atas kepada Nabi SAW. Setelah beliau menyampaikan ayat, Zainab bertanya, “Apakah engkau senang dia menikah denganku, wahai Utusan Allah?” “Ya”, jawab Nabi. Maka Zainab menerima dan mengatakan, “Kalau begitu, aku tidak akan mendurhakai Utusan Allah, dan kini aku telah nikahkan diriku dengan dia.”

Baca Juga :  Realitas Manusia dalam Kebijaksanaan Luhur (2): Gerak Menyempurna

Baca juga: QS. Al-Hujurat [49]: Ayat 6; Polos Dan Gampang Percaya, Sumbu Kebohongan
Baca juga: Aktif Di Medsos Atau Biasa Tampil Di Media? Berikut 10 Norma Dari Alquran

Setahun atau lebih berlalu. Selama itu pula Zaid berkali-kali menemui Nabi SAW mengeluhkan sikap Zainab. Nabi menasihatinya agar tetap mempertahankan rumah tangganya. Sampai pada saatnya turunlah dua ayat berikutnya, “Dan [ingatlah] ketika engkau [Muhammad] berkata kepada orang (Zaid) yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya. ‘Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah!’ Sedangkan engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada orang-orang, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk [menikahi] istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dengan istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terlaksana.”

Zaid pun bercerai dengan Zainab. Dan atas perintah Allah melalui ayat di atas, Nabi menikahi Zainab.

Bagaimana perasaan Zainab sendiri? Tentu saja dia senang, sangat senang menjadi istri Nabi. Kelak, tidak sekali saja dia mengungkapkan kebanggaannya dalam candanya dengan istri Nabi yang lain, “Ibu-ibu dinikahkan oleh keluarga kalian, tetapi aku dinikahkan oleh Allah dari atas tujuh langit.”

Bahkan dengan Nabi sendiri, Zainab beradu kebanggaan dengan beliau dan mengatakan, “Aku lebih hebat dari engkau dengan tiga ini yang tidak bisa dibanggakan oleh satu istri pun: kakekku dan kakekmu satu, lalu Allah SWT menikahkanmu denganku dari langit, dan duta utusan untuk pernikahan kita adalah Jibril a.s.”

Baca Juga :  QS. Al-Ahzab [33]: Ayat 36-40; Ketika Pernikahan Jadi Tugas yang Penuh Resiko Dicemooh Publik

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

Perempuan kedua keberatan keluarganya atas pinangan Nabi SAW karena berasal dari keluarga terhormat Anshar. Imam Ahmad bin Hanbal mencatat hadis ke-18948 dari Abu Barzah Al-Aslamy bahwa ada seorang lelaki bernama Julaibib yang suka memasuki tempat wanita, mondar-mandir di hadapan mereka dan suka mengajak mereka bercanda. Barzah mengatakan kepada istrinya:

“Jangan sekali-kali Julaibib mendatangimu. Kalau dia menemuimu, aku akan berbuat sesuatu, pasti aku akan berbuat sesuatu.”

Suatu hari, Nabi berkata kepada seorang lelaki Anshar, “Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu!”

“Silahkan! Ini kehormatan dan kemuliaan bagiku!” jawabnya senang.

Lalu beliau berkata, “Sungguh aku menginginkannya bukan untukku.”

Maka ia bertanya, “Lalu untuk siapa, wahai Rasulullah?”

“Untuk Julaibib,” balas Nabi.

Lelaki Anshar itu mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku akan bermusyawarah dulu dengan ibunya.”

Lalu ia mendatangi istrinya dan mengatakan kepadanya, “Rasulullah bermaksud menikahi putrimu.”

Istrinya menjawab, “Sungguh kehormatan dan kemuliaan bagiku!”

Suaminya berkata, “Tetapi bukan untuk beliau sendiri. Beliau melamarkan untuk Julaibib.”

“Apakah Julaibib itu anaknya, apakah Julaibib itu anaknya, apakah Julaibib itu anaknya?!” bantah sang istri, “demi Allah, jangan kau nikahkan putrimu dengan Julaibib!”

Baca juga: QS. Al-Hujurat [49]: Ayat 6; Polos Dan Gampang Percaya, Sumbu Kebohongan
Baca juga: Aktif Di Medsos Atau Biasa Tampil Di Media? Berikut 10 Norma Dari Alquran

Di tengah percakapan kedua orang tua, si putri mendengarkan di balik persembunyiannya. Ketika ia bangun dan hendak menyampaikan keputusan istrinya kepada Rasulullah SAW, si gadis muncul dan berkata, “Siapa yang meminangku pada kalian?”

Setelah dijawab oleh sang ibu, ia berkata, “Apakah kalian hendak menolak perintah Nabi?! Relakanlah aku! Sungguh beliau tidak akan menyengsarakan aku.”

Lalu pergilah ayahnya menemui Nabi SAW dan mengkabarkan beliau, “Nikahkanlah dia!” Maka Nabi SAW menikahkan putrinya dengan Julaibib.

Baca Juga :  Terbitkan Riset Alquran 800 Halaman, Profesor Wanita Jerman ini Kritik Keras Budaya Barat

Sontak, pernikahan itu membuat gempar kota Madinah.

Sampai pada suatu hari, Nabi SAW keluar untuk berperang. Usai peperangan, beliau bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

Mereka menjawab, “Kami kehilangan si fulan, kami kehilangan si fulan.”

Beliau bertanya lagi, “Lihatlah, apakah kalian kehilangan seseorang?”

Mereka menjawab, “Tidak.”

“Tetapi aku kehilangan seseorang,” tukas Nabi, “aku kehilangan Julaibib. Carilah dia di antara orang-orang yang meninggal.”

Segera mereka mencari Julaibib dan berhasil menemukannya di antara tujuh orang musuhnya yang berhasil ia bunuh kemudian mereka membunuhnya. Mereka melapor, “Wahai Rasulullah! Ini dia di antara tujuh orang yang mati. Mereka berhasil ia bunuh lalu mereka membunuhnya.”

Baca juga: Tafsir Jihad Dan Perang (1): Surah Perang (Al-Qitāl)
Baca juga: Kontradiksi Alquran (1): Dalam Beribadah, Ada Batasnya Atau Tidak Ada?
Baca juga: Di Bawah Penguasa Adil, Surah Al-Baqarah Loloskan Pencuri Dari Hukuman Potong Tangan

Nabi SAW mendatangi tempat dan berdiri di dekat Julaibib seraya bersabda, “Dia telah membunuh tujuh orang lalu mereka membunuhnya. Dia adalah bagianku dan aku dari golongannya.” Kata-kata ini beliau ulang dua atau tiga kali.

Kemudian Nabi SAW memanggul jenazah Julaibib dan menguburkannya yang tiada tumpuan kecuali pundak Rasulullah hingga beliau meletakkannya di tempat kuburnya dan tidak disebutkan bahwa ia dimandikan.

Lalu bagaimana dengan istri Julaibib yang ditinggal syahid? Tak lama setelah itu, tidak ada seorang Anshar yang lebih banyak berderma daripada isterinya. Dalam kesaksian Anas, “Sungguh aku lihat di kemudian hari wanita itu termasuk yang paling banyak bersedekah di kota Madinah.”

Ishak bin Abdullah bin Abu Thalhah menceritakan pada Tsabit, “Apakah kalian tahu apa yang didoakan Rasulullah SAW untuknya? Yaitu, Allāhumma shubba ‘alayhal khayr shubba, wa lā taj‘al ‘aysyahā kaddan kaddan (Ya Allah! Tuangkan kebaikan yang melimpah kepada isterinya, dan jangan engkau jadikan hidupnya susah dan sulit).”

Ishaq melanjutkan, “Tiada seorang janda Anshar yang paling banyak berinfak melebihi dia isteri Julaibib.”

Share Page

Close