• LAINYA

TAFSIRTEMATIK-POLITIK–Kalau pada tiga argumen sebelumnya kalangan Sekuler mendikotomi kenabian dan kekuasaan secara teoretis dan substansial, di argumen ini mereka merujuk kenyataannya dalam kehidupan nabi. Pada hemat mereka, kenabian dan kekuasaan secara faktual dan praktis terpisah satu sama lain. Artinya, sepanjang sejarah, yang satu berada di garis para nabi, dan yang lain di garis para penguasa. Misalnya di surah Al-Baqarah, suatu kaum dari Bani Israil meminta nabi mereka, Samuel a.s., untuk merekomendasikan seorang pemimpin, dan Samuel menunjuk Thalut sebagai pemimpin mereka.

Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Yang Diklaim Mendukung Sekularisme
Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Sekuler (2): Alquran Menafikan Pemerintahan Dari Nabi

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, Yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk Kami seorang raja.” Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 246-247).

Adanya permintaan kaum itu kepada nabi mereka untuk menentukan raja penguasa dan tidak adanya pernyataan dari nabi bahwa dengan keberadaannya, mereka tidak membutuhkan raja, dapat disimpulkan bahwa kenabian dan kekuasaan adalah terpisah satu sama lain. Allah tidak menyerahkan tugas pemerintahan dan kepemimpinan umat kepada para rasul-Nya (Bazargan, hlm. 63).

Dikotomi praktis antara kenabian dan kekuasaan di tengah Bani Israil tidak terbatas hanya pada kasus Thalut, tetapi terus berlanjut. Ayat berikut membedakan kedudukan sebagai nabi dan sebagai penguasa, dan menyebutnya sebagai suatu karunia Ilahi:

“Ingatlah nikmat Allah atas kalian, yaitu ketika menjadikan para nabi di antara kalian dan menjadikan kalian sebagai raja” (QS. Al-Ma’idah [5]: 20).

Setelah Sulaiman a.s., Bani Israil kembali memiliki raja-raja yang sama sekali tidak diperkenalkan dalam Taurat dan Alquran sebagai nabi atau rasul (QS. Al-Ma’idah [5]: 20). Ini bukti atas terpisahnya urusan kenabian dan kekuasaan (Ibid, hlm. 31).

Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42; Cara Membuat Hoax
Baca juga: Cara Filsafat Menaklukkan Bencana
Baca juga: Kenapa Harus Ada Bencana? 5 Penjelasan Dari Alquran

Adapun perihal kasus-kasus bergabungnya kenabian dan kekuasaan, seperti pada diri Daud a.s., Sulaiman a.s., dan Muhammad SAW, itu hanyalah pengecualian (ibid., hlm. 53). Itu pun pemerintahan nabi-nabi ini bukan berdasarkan wahyu, tetapi atas kehendak umat atau semacam demokrasi.

Tinjauan Kritis
Dalam mengevaluasi argumen di atas, perlu diperhatikan poin-poin berikut ini:

1. Tak Ada Kaitan antara Kenabian secara Umum dan Kekuasaan
Pertama-tama, perlu diamati secara cermat hakikat kenabian dan perbedaan antarnabi dalam tingkatan dan misi dakwah mereka. Dalam riwayat, ada 124 ribu nabi; masing-masing memiliki tingkatan dan tanggung jawab yang berbeda (Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur’ān, jld. 2, hlm. 301). Sebagian besar dari mereka tidak berstatus ‘rasul’, tetapi ‘nabi’ yang hanya bertanggung jawab menyampaikan wahyu (ibid., jld. 2, hlm. 140). Karena itu, jika sepanjang sejarah, garis kenabian dan kekuasaan terpisah, atau nabi pada suatu masa merujukkan umatnya kepada penguasa, itu hanya menunjukkan bahwa nabi tidak bertanggung jawab dalam urusan kekuasaan dan politik masa itu.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Ghafir [40]: ayat 39

Tidak adanya tanggung jawab seorang nabi mungkin karena tingkatan rendah nabi itu sendiri, atau karena tidak adanya kepercayaan umat dan kondisi lain yang diperlukan, hingga akhirnya sang nabi memutuskan untuk hanya bertindak sebagai pengemban tugas dakwah. Jadi, dikotomi praktis garis kenabian dan kekuasaan itu sendiri bukanlah argumen atas dikotomi keduanya pada tataran teoretis, prinsip dan substansi. Poin inilah (tataran praktis dan tataran teoretis) yang justru diabaikan kalangan Sekuler sehingga menyimpulkan dikotomi teoretis dari dikotomi praktis.

Baca juga: QS. Al-Hujurat [49]: Ayat 6; Polos Dan Gampang Percaya, Sumbu Kebohongan
Baca juga: Aktif Di Medsos Atau Biasa Tampil Di Media? Berikut 10 Norma Dari Alquran

Singkatnya, dari dua sisi, kenabian tidak berkaitan dengan kekuasaan:

Sisi pertama, nabi tidak dibebani tanggung jawab kekuasaan lantaran kerendahan tingkatannya, dan ini tidak bertentangan dengan fakta bahwa sebagian nabi dipercayai tanggung jawab ini.

Sisi kedua, nabi dibebani kedudukan sebagai penguasa, namun karena secara praktis tidak terpenuhi syarat-syarat realisasinya, ia tidak aktif memerankan posisi sebagai penguasa.

2. Perbedaan Islam dengan Agama Sebelumnya
Mengingat Islam sebagai agama terakhir, sempurna, dan nabinya sebagai nabi termulia dan penutup kenabian, agama ini tidak sama dengan agama yang lain. Jika diasumsikan bahwa para nabi terdahulu itu terhindar dari politik dan kekuasaan, asumsi ini tidak memadai untuk dijadikan argumen bahwa Islam mengajarkan hal yang sama, sebab ajaran Islam mesti dirujuk ke kitab sucinya.

Nyatanya dalam Alquran ditegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW mengemban tugas pengelolaan urusan dunia: sosial, politik, dan pemerintahan, sebagaimana detail ayat-ayatnya telah dikemukakan dalam menjawab argumen 1 dan argumen 2 Sekuler.

Maka itu, upaya menjustifikasi Sekularisme melalui sejarah para nabi tidak terdukung fakta ilmiah. Ini tak ubahnya dengan upaya menyimpulkan hukum praktis Kristen, misalnya, dengan cara merujuk ajaran Zoroaster.

Selain itu, sebagaimana telah diketengahkan dalam menyanggah argument 1, sebagian besar nabi bertanggung jawab menegakkan keadilan sosial, menyelesaikan perselisihan umat, dan menyelenggarakan pemerintahan atas mereka.

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

3. Ayat tidak Relevan dengan Klaim Sekularisme
Ayat-ayat yang dimanfaatkan dalam argumen 4 di sini untuk membuktikan pemisahan agama dari kekuasaan sama sekali tidak mendukung Sekularisme. Coba amati sekali lagi ayatnya:

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk Kami seorang raja.” Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 246-247).

Argumentasi kaum Sekuler dengan ayat ini adalah bahwa sang nabi (Samuel) tidak mengajukan dirinya sebagai raja dan penguasa ketika umatnya meminta agar ia merekomendasikan seseorang sebagai raja mereka. Berikut beberapa sanggahan atas argumen ini:

Pertama: ayat ini tidak merinci detail persoalan lebih jauh seperti: apakah kedudukan nabi tersebut? Apakah ada peluang hingga ia bisa berkuasa? Apakah kondisi politik dan sosial masa itu cukup kondusif bagi kekuasaannya?

Baca Juga :  QS. al-Ikhlas [112]: ayat 4, (2) Tafsir Filosofis: Allah antara Iya dan Tidak

Oleh karena itu, tidak adanya permintaan umat kepada nabi untuk menjadi raja sama sekali tidak cukup dijadikan argumen atas dikotomi kenabian dari kekuasaan.

Baca juga: QS. Al-Hujurat [49]: Ayat 6; Polos Dan Gampang Percaya, Sumbu Kebohongan
Baca juga: Aktif Di Medsos Atau Biasa Tampil Di Media? Berikut 10 Norma Dari Alquran

Kedua: sebelum ini telah dicatat bahwa integralitas kenabian dan kekuasaan tidak berarti berkuasanya semua nabi (yang berjumlah 124 ribu); hanya sebagian saja dari mereka yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemerintahan agama. Maka itu, barangkali Nabi Samuel as termasuk nabi yang tidak dibebani tanggung jawab ini.

Ketiga: dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa pada masa itu, Jalut adalah penguasa korup hingga membuat rakyat menemui Nabi Samuel a.s. untuk mendapatkan solusi. Jawaban yang diajukan beliau justru kontras dengan Sekularisme. Beliau tidak berkata bahwa persoalan mereka adalah perkara duniawi dan politis yang berada di luar tanggung jawab nabi. Beliau bahkan bekerja sama dengan rakyat yang tertindas itu. Hanya lantaran tidak bisa memegang kendali urusan, khususnya dalam memimpin pasukan dan terjun di medan perang, beliau merekomendasikan figur yang tepat dan menegaskan bahwa Allah telah menentukan Thalut sebagai pemimpin mereka.

“Dan nabi mereka berkata bahwa Allah telah mengutus Thalut sebagai raja untuk mereka” (QS. Al-Baqarah [2]: 246).

Dari ayat ini saja juga tampak jelas bila kekuasaan sebagian nabi ditentukan melalui wahyu dan ketetapan Ilahi.

Baca juga: Tafsir Jihad Dan Perang (1): Surah Perang (Al-Qitāl)
Baca juga: Kontradiksi Alquran (1): Dalam Beribadah, Ada Batasnya Atau Tidak Ada?
Baca juga: Di Bawah Penguasa Adil, Surah Al-Baqarah Loloskan Pencuri Dari Hukuman Potong Tangan

Keempat: merujuknya umat kepada nabi dan tidak adanya inisiatif mereka untuk menentukan pemimpin dalam kehadiran nabi di tengah mereka membuktikan satu hal, yakni umat masa itu memahami bahwa mereka harus merujuk kepada utusan Allah untuk menentukan penguasa. Ini jelas kebalikan dari klaim kaum Sekuler bahwa nabi tidak terlibat dalam urusan dunia dan politik. Dalam paham mereka, umat sendiri berinisiatif menentukan pemimpin tanpa peduli terhadap posisi ulama.

“Ingatlah nikmat Allah atas kalian, yaitu ketika menjadikan para nabi di antara kalian dan menjadikan kalian sebagai mulūk (QS. Al-Ma’idah [5]: 20).

Ini ayat lain yang dijadikan argumen oleh kaum Sekuler untuk mempertahankan paham mereka. Kata mulūk di akhir ayat, menurut interpretasi mereka, dimaknai sebagai raja, padahal ini tidak selaras dengan makna teks ayat juga riwayat.

Penjelasannya, ayat di atas, dalam memberitakan pemilihan para nabi di kalangan Bani Israil, menyebutkan frasa fīkum (di antara kalian): maknanya, “Allah telah menjadikan para nabi di antara kalian”. Kata ini menjelaskan bahwa para nabi ini bukan semua orang Bani Israil, tetapi hanya sebagian dari mereka. Namun dalam kelanjutan ayat ini, frasa fīkum dihapus, sehingga maknanya pun berbeda. Ayat ini mengatakan, “[Allah] menjadikan kalian sebagai mulūk”. Di sinilah kata mulūk ini mesti ditafsirkan.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Kahfi [18]: ayat 16

Baca juga: Telah Terbit: Tafsir Imam Ghazali
Baca juga: Segera Unduh Terjemahan Lengkap 30 Juz Tafsir Ibnu Katsir!

Buku-buku referensi sastra bahasa Arab menyebut dua makna untuk kata mālik dan mulūk: pertama, kekuasaan dan kerajaan; kedua, kepemilikan dan kemandirian.

Hanya dalam ayat di atas, kata mulūk tidak bisa ditafsirkan dengan makna kekuasaan, sebab jika demikian, maka artinya Allah menjadikan kalian semua (Bani Israil) sebagai raja. Arti ini berlawanan dengan fakta sejarah, karena seperti halnya nabi, raja juga hanya dipilih dari sebagian elemen bangsa, bukan keseluruhan mereka.

Dengan demikian, makna kedua (pemilik yang mandiri) lebih tepat dan sesuai dengan ayat di atas. Ayat ini berbicara tentang anugerah Allah dan jasa Nabi Musa a.s. atas Bani Israil: kaum yang sebelumnya berada dalam belenggu kekejaman Firaun. Melalui Nabi Musa as, Allah SWT membebaskan mereka dan mengaruniakan beragam nikmat, termasuk kemerdekaan, kebebasan, dan kepemilikan. Thabathaba’i menulis:

Wa ja‘alakum mulūkan” (menjadikan kalian sebagai raja) yaitu menjadikan kalian sebagai orang yang merdeka, bebas dari belenggu perbudakan Firaun dan kekuasaan despotik. Makna mālik yaitu orang yang mandiri dalam (mengurus) diri, keluarga, dan hartanya” (Thabathaba’i, jld. 5, hlm. 293).

Mufasir ini juga menyinggung kemungkinan makna mulūk sebagai raja, namun menolaknya lantaran kata fīkum dalam ayat itu tidak disebutkan.

Raghib Isfahani, pakar ternama leksikon dan etimolog Alquran, dalam Mufradāt-nya menyebutkan dua makna untuk mulk. Pada hematnya, makna kedua (kepemilikan) lebih sesuai dengan ayat tersebut.

Bukti lain adalah riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa kata mulūk dan mālik di kalangan Bani Israil digunakan dalam dua makna di atas (Thabathaba’i, jld. 5, hlm. 293; Nasir Makarim, jld. 4, hlm. 336).

Mengacu laporan para sejarawan, khususnya riwayat, bisa diketahui sebagian aspek pemerintahan dan kenabian sepanjang sejarah, khususnya yang berkaitan dengan Bani Israil. Namun, topik ini di luar duduk persoalan. Di sini, cukup dinukil riwayat yang menegaskan integralitas kekuasaan dan kenabian di tengah Bani Israil:

“Bani Israil dipimpin oleh nabi-nabi mereka. Setiap nabi meninggal dunia digantikan nabi berikutnya” (Ibnu Atsir, Jâmi‘ Al-Ushûl, hlm. 443; Majma‘Al-Bahrain, jld. 4, hlm. 78).

Tentunya, ada juga riwayat yang mengungkapkan dikotomi kenabian dan kekuasaan. Inkonsistensi riwayat-riwayat ini bisa diklarifikasi dengan catatan bahwa maksud dari pemisahan kekuasaan dari kenabian adalah pemisahan dalam konteks implementasi dan pelaksanaan praktisnya. Nabi, pada masa itu, memiliki kepemimpinan spiritual atas penguasa. Seperti yang tertuang dalam Al-Baqarah [2]: 246, pemerintahan Thalut terbentuk atas kebijakan Nabi Samuel a.s. Para nabi Bani Israil menyerahkan urusan kekuasaan dan politik kepada penguasa yang taat agama: dia berkuasa dan mengaktifkan kekuasaannya di bawah pilihan dan pengawasan nabi.

——————————–
*Untuk referensi selengkapnya dapat menghubungi redaksi.

Share Page

Close