• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM – Salah satu ilmu paling awal muncul dalam peradaban Islam ialah tafsir. Tentunya, ilmu ini mengalami banyak perkembangan dan, bisa dikatakan, paling kaya dalam khazanah intelektual Islam. Sebagai perbandingan, para ulama dari berbagai spesialisasi keilmuan, pada umumnya, menerapkan pengalaman intelektual mereka dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, kendati tidak demikian sebaliknya. Sebagai contoh, banyak dari kalangan sufi, filosof, atau bahkan dokter Muslim menafsirkan Al-Quran. Meski demikian, itu tidak berarti kalangan mufasir lantas menjadi sufi atau filosof.

Boleh jadi ada perbedaan karakter penafsiran di kalangan-kalangan ulama dan ilmuan Muslim itu. Para ahli kerap memulai tafsir mereka dengan mendudukkan perselisihan tersebut, tepatnya, di bagian pengantar tafsir. Salah satu topik yang dijadikan titik tolak analisis mereka ialah menggali tafsir itu sendiri dari aspek kebahasaan dan etimologis. Kendati tampak sepele aspek ini, tidak jarang konklusi yang diperoleh dapat memecahkan persoalan atau, setidaknya, mendudukkannya secara lebih jernih dan konkret.

Dari segi bahasa, tafsir berarti penjelasan (al-bayān) dan penyingkapan (al-kasyf). Kata tafsir juga disebutkan dalam Al-Quran, salah satu di antaranya terapat dalam ayat berikut,

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya” (QS. Al-Furqan [25]: 33).

Pertanyaannya: apakah penjelasan makna lahiriah suatu teks dikategorikan juga sebagai tafsir, yaitu tafsir dalam pengertiannya dari segi bahasa, ataukah tidak?

Ada pendapat yang mengatakan bahwa penjelasan yang kita artikan sebagai makna dari kata ‘tafsir’ secara tidak langsung menunjukkan adanya suatu tingkatan makna tertentu, yaitu kesamaran dan ketidakjelasan di balik suatu kata tertentu. Dengan demikian, kesamaran dan ketidakjelasan itu dihilangkan dengan cara menerapkan proses tafsir.

Baca Juga :  Tafsir Tematik (2): Aktif, Dialogis, dan Responsif

Suatu teks tidak dapat dikatakan telah mengalami proses tafsir jika tidak memuat kata yang masih samar dan tidak jelas maknanya. Jika ada orang yang mendengar suatu teks (ucapan) yang memiliki makna lahiriah dan secara spontan dapat dipahami, makna yang disampaikannya itu bukanlah tafsir, karena pada hakikatnya, ia tidak mengungkap atau menjelaskan sesuatu yang sebelumnya masih samar.

Suatu uraian dapat dikatakan sebagai tafsir jika seseorang telah berusaha dan bersungguh-sungguh menyingkap serta menjelaskan ucapan yang tampaknya samar dan rancu. Dengan kata lain, siapa pun yang menjelaskan makna suatu teks, ia tengah melakukan proses tafsir. Adapun jika makna dari teks tersebut sudah jelas, kata tersebut tidak bisa dikatakan mengalami proses tafsir.

Ada pendapat lain yang sejalan dengan pendapat di atas, yaitu suatu uraian tidak dapat dikatakan sebagai tafsir kecuali jika terjadi proses ‘menjelaskan’ kemungkinan-kemungkinan makna yang terkandung dalam suatu teks (kata), dan menetapkan makna sebenarnya yang dikandung oleh kata tersebut, atau juga dengan menampakkan dan menjelaskan makna yang tersembunyi, dan menetapkan makna sebenarnya yang dimaksud pencipta teks dari kata tersebut sebagai alternatif dari makna lahiriahnya. Menetapkan makna lahiriah saja dari suatu kata tidak cukup dikatakan sebagai tafsir. Pendapat ini diakui oleh para ulama ilmu Ushul Fiqih.

Tampaknya, pendapat yang sahih adalah mengidentifikasi makna lahiriah dari suatu kata terkadang juga dapat dikatakan sebagai tafsir, yakni upaya menjelaskan sesuatu yang masih samar. Meski demikian, pada beberapa kondisi tertentu, adakalanya upaya itu tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir, karena tidak adanya unsur kesamaran dan keraguan pada kata tersebut sehingga tidak ada proses penjelasan sesuatu yang samar dan menghilangkan keraguan makna tertentu.

Baca Juga :  Cara-cara Logis Tuhan dalam Alquran Meyakinkan Ajaran-Nya; Karya Rosalind Ward Gwynne

Untuk mengetahui makna ‘penjelasan’ yang sebanding-sama dengan tafsir dan ‘penjelasan’ yang tidak sebanding dengannya, kita dapat membaginya dalam dua bagian berikut:

  1. Penjelasan sederhana, yaitu penjelasan yang independen dan terpisah dengan penjelasan-penjelasan lainnya.
  2. Penjelasan rumit, yaitu penjelasan yang terdiri dari hasil beberapa penjelasan yang saling melengkapi.

Untuk menjelaskan pembagian di atas, kita dapat memberikan contoh yang diambil dari kehidupan kita. Ketika seseorang berkata kepada anaknya, “Pergilah kamu ke laut setiap hari,” atau, “Pergilah kamu ke laut setiap hari dan perhatikanlah pesan yang keluar darinya.”

Perkataan pertama, kita kategorikan sebagai penjelasan sederhana karena dalam perkataan tersebut tidak ditemukan selain satu makna yang langsung dapat diterima oleh pikiran kita, yaitu makna adanya medan yang berisikan air dan permintaan dari seorang ayah kepada anaknya untuk pergi ke laut tersebut setiap hari.

Adapun perkataan kedua kita kategorikan sebagai penjelasan rumit, karena terdapat kesamaran di dalamnya. Pada perkataan kedua, ada kesamaan dengan perkataan pertama. Secara langsung kita dapat menangkap dari kata ‘laut’ makna medan air dan permintaan seorang ayah kepada anaknya untuk pergi ke laut setiap hari. Akan tetapi, selain itu ada perkataan tambahan yang memuat perintah ayah kepada anaknya untuk memperhatikan apa yang ‘dikatakan’ oleh laut tersebut.

Ketika mendengar perkataan ini, akal kita menangkap bahwa yang dimaksud dengan laut pada ucapan tersebut bukanlah medan air lagi, tetapi medan pengetahuan, karena laut yang berarti medan air tidaklah mungkin dikaitkan dengan perintah untuk mendengar dan mempelajari perkataannya, dimana laut tidak dapat berbicara, tetapi lebih bermakna mendengarkan suara yang timbul dari deburan ombak.

Dengan analogi ini, kita dapat mengenali dua macam penjelasan tersebut di atas, yaitu penjelasan sederhana, lalu membandingkan dengan macam lainnya sehinggga, adakalanya, saling bertentangan. Penjelasan atas perkataan yang rumit dan tersusun dalam beberapa bagian dapat dikategorikan sebagai bagian dari tafsir, karena di dalamnya terdapat keraguan dan kerumitan yang membuat perataan itu samar dan tidak jelas maknanya sehingga membutuhkan proses tafsir dan penjelasan. Adapun penjelasan sederhana, sebagian besarnya, tidak dapat dikatakan sebagai tafsir, karena pada dasarnya makna yang terkandung sudah jelas sehingga tidak lagi memerlukan penjelasan.

Baca Juga :  Isu Kalam Baru/New Theology (1): Status Akal, antara Sumber dan Sarana

Konklusinya, ada dua pendapat yang membagi suatu penjelasan dapat dikategorikan sebagai tafsir:

Pertama, pendapat yang tidak menerima segala jenis penjelasan, baik itu penjelasan sederhana maupun rumit.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa penjelasan rumitlah yang dapat dikategorikan sebagai tafsir, sedangkan penjelasan sederhana tidak dapat dikatakan sebagai tafsir. Pendapat ini tampaknya lebih mendekati kebenaran.

Share Page

Close