• LAINYA

 [arabic-font]فَإِذاَ قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ[/arabic-font]‏

Maka, jika kamu membaca Al-Quran, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terusir.”

(QS. Al-Nahl [16]: 98)

Terjemah Kata

  • َإِذا       (idzā)           =  jika
  • قَرَأْتَ‏  (qara’ta)     =  kamu membaca
  • اسْتَعِذْ  (ista‘idz)     =  mintalah perlindungan
  • الرَّجِيْم (al-rajīm)   =  yang terusir

Studi Kebahasaan

  • Kata isti‘ādzah dan derivatif lainnya (dari akarkata ‘awdz) digunakan Al-Quran sebanyak 17 kali; 8 di antaranya berbentuk perintah, 4 di antaranya dalam konstruksi kalimat “qul a‘ūdzu: katakanlah aku berlindung (QS. Al-Mukminun [23]: 97, 98; QS. Al-Falaq [113]: 1; QS. Al-Nas [114]: 1), sementara 4 lainnya dalam bentuk kalimat fa-ista‘idz sebagaimana dalam ayat ini dan ayat-ayat: QS. Al-A’raf [7]: 200, QS. Ghafir [40]: 56, QS. Fushshilat [41]: 36.
  • Ista‘idz adalah kata kerja bentuk perintah yang diderivasi dari akarkata ‘awdz yang berarti berlindung dan bergantung pada sesuatu (Maqāyīs Al-Lughah, jld. 4, hlm. 183; Mufradāt Alfāzd Al-Qur’ān, hlm. 594). Kalangan ahli bahasa berbeda pendapat: apakah pembentukan akarkata ini dalam pola istif‘āl (dari ‘awdz menjadi isti‘ādzah) menyebabkan perubahan makna ataukah tidak. Mayoritas mereka mengatakan tidak ada perubahan dan perbedaan antara isti‘ādzah atau asta‘īdzu dan ‘awdz atau a‘ūdzu (Al-Tirāz Al-Awwal, jld. 6, hlm. 413; Maqāyīs Al-Lughah, jld. 4, hlm. 184; Al-Nihāyah fī Gharīb Al-Hadīts wa Al-Atsar, jld. 3, hlm. 318; Lisān Al-‘Arab, jld. 3, hlm. 499).
  • Namun, pendapat lain juga patut dipertimbangkan mengingat dalam sebuah riwayat yang juga lazim dikutip oleh ahli bahasa (Majma‘ Al-Bahrayn, jld. 3, hlm. 184; Majma‘ Al-Bayān, jld. 6, hlm. 594) disebutkan, “Barangsiapa ber-isti‘ādzah kepadamu dengan Allah, lindungilah dia!” Isti‘ādzah di sini berbentuk istif‘āl yang mengantung arti meminta dan mencari [perlindungan]. Karena itulah Thabathaba’i  (Tafsīr Al-Mīzān, jld. 12, hlm. 344) menunjukkan perbedaan dua kata itu bahwa isti‘ādzah (meminta perlindungan) menyatakan adanya suatu keadaan dalam diri seseorang, sementara ‘awdz (berlindung) hanyalah proses dan tindakan yang dilakukan. Dengan kata lain, mengatakan a‘ūdzu (aku berlindung) merupakan pendahuluan untuk kemunculan keadaan diri meminta perlindungan, sementara adanya keadaan diri ini sendiri diungkapkan dengan kata asta‘īdzu (aku meminta perlindungan).
  • Al-Rajīm (yang terkutuk) berasal dari rajm yang, pada asalnya, berarti melempar batu ke arah seseorang atau sesuatu, lalu lambat laun bergeser maknanya menjadi setiap perbuatan yang menjauhkan dan mengusir seseorang. Maka, al-rajīm berarti yang terusir dan terjauhkan (Maqāyīs Al-Lughah, jld. 2, hlm. 493; Mufradāt Alfāzd Al-Qur’ān, hlm. 345).
  • Dalam terjemahan Indonesia Al-Quran, kata al-rajīm lazim diterjemahkan dengan ‘terkutuk’. Dalam bahasa Arab, terkutuk disebut juga dengan al-la‘īn (nama lain dari setan), dan kata ini berarti orang yang terjauhkan dari rahmat Allah. Maka terjemahan al-rajīm dengan ‘yang terkutuk’ juga benar.
Baca Juga :  QS. al-Ikhlas [112]: ayat 4, (2) Tafsir Filosofis: Allah antara Iya dan Tidak

Hadis

  • Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku berlindung kepada Allah Yang Mahadengar Mahatahu dari setan terusir, dari godaannya, tiupannya dan hembusannya.”
  • Diriwayatkan dari Imam Hasan Al-Askari, ia berkata, “Adapun firman-Nya yang menganjurkanmu untuk mengamalkannya dan memerintahkanmu dengannya pada saat membaca Al-Quran, yakni “A‘ūdzu bi-Allāh al-samī‘ al-‘alīm min al-syaytān al-rajīm: aku berlindung kepada Allah Yang Mahadengar Mahatahu dari setan yang terusir”, sesungguhnya Amirul Mukminan (Ali bin Abi Thalib) telah mengatakan, “Perkataan a‘ūdzu bi-Allāh yakni aku menjadi tangguh bersama Allah; al-samī‘ yakni Mahadengar perkataan orang-orang mulia dan orang-orang jahat serta setiap perkataan yang nyata dan rahasia; al-‘alīm yakni Mahatahu setiap perbuatan orang-orang baik dan orang-orang pendosa serta segala sesuatu yang telah terjadi, akan terjadi, yang tidak terjadi dan bagaimana akan terjadi; al-syaytān yakni dia yang jauh dari segala kebaikan dan al-rajīm yakni yang diusir dengan kutukan dan terusir dari wilayah kebaikan. Sedangkan isti‘adzah meminta perlindungan adalah sesuatu yang diperintahkan Allah ke atas hamba-hamba-Nya ketika mereka membaca Al-Quran, “Maka, jika kamu membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terusir. Sesungguhnya dia tidak memiliki kekuasaan apa pun atas orang-orang beriman, sementara mereka bertawakal kepada Tuhan mereka (QS. Al-Nahl [16]: 98 – 100).” (Al-Tafsîr Al-Mansûb ilâ Al-Imâm Al-Hasan Al-‘Askariy a.s., hlm. 17).
  • Diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq, ia berkata, “Orang yang membaca Al-Quran namun tidak tunduk pada Allah, tidak luluh hatinya, tidak muncul kesedihan dan kerinduan dalam jiwanya, sungguh dia telah memandang rendah keagungan martabat Allah SWT dan telah merugi serugi-ruginya. Maka, pembaca Al-Quran memerlukan tiga hal: hati yang khusyuk, tubuh yang santai, dan tempat yang kosong. Jika hatinya khusyuk kepada Allah, setan terusir itu akan lari menjauhinya. Allah SWT berfirman, “Jika kamu membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan terusir.” Jika jiwanya bebas dari sebab-sebab, hatinya akan murni terfokus untuk membaca, dan ia tidak dicampuri sesuatu apa pun hingga ia kehilangan kebaikan melimpah dari cahaya Al-Quran dan manfaatnya …. jika ia mereguk secawan minuman [ilmu Al-Quran] ini, ia tidak akan memilih keadaan selain keadaan ini dan waktu selain waktu ini, bahkan mengutamakannya atas setiap ketaatan dan ibadah, karena di dalamnya terdapat munajat (bercakap-cakap langsung dan rahasia) dengan Tuhan tanpa perantara. Maka, perhatikanlah bagaimana kamu membaca kitab Tuhanmu dan lembaran janji cintamu, dan bagaimana kamu menyambut perintahnya, menjauhi larangannya, bagaimana pula kamu menjaga hukum-hukumnya” (Mishbāh Al-Syarī‘ah, hlm. 28 – 29).
  • Imam Ali ra. berkata, “Jika setan berbisik kepada salah satu dari kalian, maka ber-isti‘adzah ‘meminta perlindunga’ kepada Allah dan ucapkan dengan lidahnya dan hatinya, “Āmantu billāh wa rasūihi mukhlishan lahu al-dīn: aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan setulusnya memurnikan agama demi Dia.” (Makārim Al-Akhlāq, hlm. 377).
  • Imam Ja’far al-Shadiq ra. berkata, “Tutuplah pintu-pintu maksiat dengan membaca isti‘adzah dan bukalah pintu-pintu taat dengan membaca bismillah.” (Al-Da‘awāt, hlm. 52).
  • Juga diriwayatkan dari beliau, “Jika seseorang dari kalian marah lalu berkata, ‘A‘ūdzu billāh min al-syaytān al-rajīm’, niscaya Allah akan menghilangkan marahnya” (ibid.). Bersambung ⇒

Share Page

Close