• LAINYA

Tafsir–Amirul Mukminin [Ali ibn Abi Thalib] berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda kepadaku dari Allah SWT bahwa Dia berfirman, ‘Setiap urusan penting yang di dalamnya tidak disebutkan bismillah pastilah buntung.’” (Jalaluddin Al-Suyuthi dalam tafsirnya, Al-Durr Al-Mantsûr, jld. 1, hlm. 26; Tafsir Al-Baydhawi, jld. 1, hlm. 25; Al-Tafsîr Al-Mansûb ilâ Al-Imâm Al-Hasan Al-‘Askariy, hlm. 25).

Setiap usaha dan pekerjaan, termasuk membaca Al-Quran, sepatutnya dimulai dengan nama Allah. Dengan begitu, kita memohon bantuan dari Allah agar, pertama, perbuatan kita bernuansa Ilahi dan di Hari Kiamat kelak tidak menjadi sebab kekecewaan kita; kedua, agar Allah membantu kita agar pekerjaan kita tuntas, dan ketiga, agar kita tidak menipu diri sendiri dengan merasa ujub bahwa keberhasilan apa pun yang kita peroleh adalah usaha diri sendiri; dengan nama Allah sejak awal kita sudah menyadari bahwa usaha kita bersama Allah dan hasil usaha kita juga dari Allah. Maka alih-alih kita ujub, riya dan merasa diri sudah baik, kita lebih siap untuk mensyukuri rahmat Allah.

Ism (nama) berasal dari kata wasama yang berarti: memasang tanda atau menandai. Jadi, dengan bismillah, kita memasang tanda Allah pada diri kita sendiri dalam setiap pekerjaan agar, di sepanjang pekerjaan, kita tidak lupa bahwa kita memiliki Tuhan Yang Mahakasih dan Maha Pengasih; dia tidak melupakan kita, dan kita pun tidak selayaknya lupa kepada-Nya.

 Al-Rahmân (Mahakasih) adalah kata sifat berbentuk mubâlaghah (superlatif), yaitu Dia yang rahmat-Nya maha meliput dan abadi. Adapun Al-Rahîm (Maha Pengasih) kata sifat musabbahah, yaitu Dia yang rahmat-Nya begitu dalam, kokoh dan tercurah pada orang-orang tertentu. Artinya, Allah SWT memiliki rahmat umum juga rahmat khusus; Dia memiliki hidangan untuk semua juga hidangan istimewa untuk hamba-hamba khusus-Nya.

Dua hidangan atau kelas ini merupakan takdir dan kehendak bijaksana Allah swt. yang terbuka di hadapan pilihan manusia; ia bisa memilih berada di kelas umum atau berjuang untuk berada di kelas istimewa. Jelas tidak bijak, kalau tidak dikatakan bodoh, mengharap hidangan istimewa di kelas umum:

Dan tidak sama orang buta dan orang melihat, juga tidak sama orang-orang beriman dan mengerjakan kebaikan dengan orang yang berbuat jahat. Hanya sedikit sekali yang kamu sadari (QS. Ghafir [40]: 58).

Jadi, kita berupaya meraih berkah dengan nama Tuhan yang rahmat-Nya maha meliput dan abadi dengan harapan: agar pekerjaan kita juga terliputi oleh rahmat-Nya. Oleh karena itu, tatkala kita melandaskan suatu pekerjaan dengan kekuasaan Allah yang rahmat-Nya maha meliput dan abadi, pikiran kita akan tenang dan mantap bahwa pekerjaan kita itu pasti akan tuntas dengan hasil terbaik, sekalipun bahkan secara lahiriah kita mengira pekerjaan itu masih belum membuahkan hasil. Dengan demikian, kita sama sekali tidak akan pernah kecewa melakukan pekerjaan tersebut.

Baca Juga :  Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an: Neraca dalam Tafsir Alquran, Karya Thabathaba'i

Ada dua kebaikan: kebaikan subjektif (al-husn al-fa’iliy) dan kebaikan objektif (al-husn al-fi’liy). Kebaikan subjektif yaitu kebaikan pelaku yang dipastikan dengan hati yang tulus dan motif yang mulia atau, dalam bahasa agama, niat baik. Akan halnya kebaikan objektif ialah kebaikan perilaku dimana suatu tindakan itu sendiri bernilai baik dan bisa diketahui nilai baiknya, entah dengan akal pikiran, intuisi dan atau dengan keterangan wahyu (agama).

Tidak ada hubungan niscaya antara dua kebaikan ini. Dalam Filsafat Moral Islam, kebaikan sejati ialah kebaikan subjektif sekaligus objektif, yakni tindakan baik yang lahir dan dikawal dengan niat mulia. Tindakan baik yang didasari niat buruk bukanlah kebaikan, seperti shalatnya orang riya, politik uang, bagi-bagi sembako agar populer. Demikian sebaliknya, niat baik saja tidak cukup dijadikan alasan untuk merealisasikan rencana dengan sembarang aksi dan tindakan, misalnya maksud hati membela keadilan dengan aksi-aksi anarkis.

Maka, sekali lagi, harus ada kesenyawaan antara niat dan tindakan untuk memperoleh nilai kebaikan sejati atau, dalam bahasa Islam, nilai ibadah. Masing-masing niat baik dan tindakan baik merupakan syarat perlu, dan penggabungan kedua faktor objektif dan objektif ini sekaligus menjadi syarat cukup tercapainya kebaikan sejati.

Mengucapkan bismillah ialah tindakan untuk memastikan kehendak, itikad, niat dan motif yang baik dari dalam hati pelaku. Bismillah merupakan syarat perlu untuk meraih nilai kebaikan yang masih perlu dilengkapi dengan hanya satu syarat perlu lain, yaitu baiknya tindakan yang akan dilakukan secara objektif.

Kebaikan subjektif dalam al-Quran diungkapkan dengan alladzina amanu dan kebaikan objektif dengan ‘amilu al-shalihat; setiapkali menyebutkan alladzina amanu (orang-orang beriman) kerap disambung dengan wa ‘amilu al-shalihat (dan orang yang berbuat baik). Dalam banyak ayat senada ini difirmankan, Dan barangsiapa berbuat suatu kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia beriman, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka dizalimi sedikit pun (QS. al-Nisa’ [4]: 124; lihat juga QS. al-Nahl [16]: 97; QS. al-Isra’ [17]: 19; QS. Thaha [20]: 112; QS. al-Anbiya’ [21]: 94; QS. Ghafir [40]: 40).

Baca Juga :  Etika Berpikir, Meneliti dan Beriman dalam Alquran (1): Kesadaran "Tidak Tahu" dan Tahu Diri

Ketika kita memulai pekerjaan kita dengan nama Tuhan yang demikian agung itu, maka kita tidak akan bisa menginginkan kecuali rahmat dan kebaikan untuk diri kita sendiri dan orang lain. Bekerja dan bertindak dengan bismillah berarti bekerja tanpa pamrih, tanpa pula menanti balasan orang lain. Bismillah adalah komitmen bekerja ikhlas.

Oleh karena itu, dalam setiap ucapan yang kita ungkapkan dan setiap pekerjaan yang kita lakukan, kita harus yakin bahwa rahmat Allah SWT akan tampak di dalamnya. Jadi, setiap perbuatan yang ingin kita lakukan dan diawali dengan Bismillâhirrahmânirrahîm, sejak awal sudah kita yakini bahwa perbuatan itu tidak buruk dan bukan maksiat, bahwa perbuatan itu tidak akan menjadi sebab kerugian diri kita dan gangguan bagi orang lain, dan bahwa perbuatan itu bukan faktor penyesalan kita di Hari Kiamat.

Singkatnya, kata-kata dan perbuatan kita pasti diridhai Allah SWT. Kalau kita yakin dan mengamalkan bismillâh ini saja, tampaknya seluruh hidup kita akan terbangun ideal dan kita berada di jajaran para kekasih Allah SWT.

Baru saja disebutkan bahwa perbuatan itu tidak akan menjadi sebab kerugian bagi diri kita ataupun gangguan bagi orang lain. Tentang hal ini, perlu dibedakan antara kerugian hakiki dan kerugian lahiriah. Setiap perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah SWT pasti merupakan keuntungan bagi manusia, meskipun boleh jadi hanya karena kita tidak mengetahui alasan di balik perintah tersebut, kita merasakan perbuatan itu tidak menyenangkan dan berat melakukannya.

Sejurus dengan ini, adzab Allah sekalipun merupakan siksaan dan menyakitkan, sesungguhnya berasal dari rahmaniyyah (kemahapengasihan) Allah SWT, walaupun seseorang yang tersiksa dalam adzab tidak menyadari rahmat ini. Untuk lebih lengkapnya, bisa dirujuk surah Maryam [19]: 45, dimana Nabi Ibrahim a.s. memperingatkan ayah angkatnya akan adzab Allah SWT dan ia memperkenalkan adzab itu berasal dari rahmaniyyah-Nya: Wahai ayahku, aku sungguh kuatir adzab dari Yang Maha Pengasih akan menyentuhmu sehingga engkau menjadi kawan bagi setan.” .

Allah adalah nama paripurna (al-ism al-jâmi‘). Dalam Al-Quran, nama Allah digunakan sebagai Esensi Suci yang memiliki sekian nama dan sifat, seperti mahatahu (al-‘âlim), maha mengenal (al-khabîr), maha melihat (al-bashîr), mahahidup (al-hayy), maha berdiri sendiri (al-qayyȗm), mahakuasa (al-qâdir), maha bijaksana (al-hakîm), mahaperkasa (al-‘azîz), pencipta (al-khâliq), maha pelepas (al-bâri’), maha pembentuk (al-mushawwir), maha pengaman (al-mu’min), maha peduli (al-muhaymin), maha perkasa (al-jabbar), mahamegah (al-mutakabbir), mahakasih (al-rahmân), maha pengasih (al-rahîm). Allah tidak terbatas dalam seluruh kesempurnaan; Dia realitas absolut (muthlaq).

Baca Juga :  QS. Al-Ikhlas [112]: 1, Ketuhanan Yang Maha Esa

Kita berhubungan dengan Tuhan yang tak terbatas segenap kesempurnaan, dan kita diperkenankan untuk mengatasnamakan semua pekerjaan yang tak bernilai dan sepele kita dengan nama-Nya. Fakta ini merupakan anugerah dan karunia yang, bila kita syukuri, dapat mengubah hidup kita.

Memusatkan perhatian pada Tuhan yang Dia adalah Allah, Paripurna dan Nir-Batas, membangkitkan energi dalam jiwa manusia sehingga ia tidak mudah menyerah di hadapan kesukaran dan hambatan, bahkan tidak akan putus asa dalam upaya memberantas gejala penindasan dan kerusakan yang berasal dari dan didukung oleh kekuatan-kekuatan internasional dan para pemilik korup. Pada dirinya akan mengkristal tawakul dengan sepenuh hakikatnya.

Kedudukan rahmaniyyah Allah SWT berada di atas arasy dan kekuasaan Ilahi: Yang Maha Pengasih, berada di atas arasy (QS. Thaha [20]: 5). Arasy itu sendiri berada di atas air: Dan arasy-Nya berada di atas air (QS. Hud [11]: 7). Sementara air itu sendiri merupakan sumber hidup dan kehidupan segala makhluk. Artinya, rahmaniyyah Allah SWT itulah yang menjadikan hidup semua alam semesta, walaupun kadangkala rahmaniyyah-Nya dipahami sebatas kasih sayang.

Karena itu, kedudukan rahmat dalam Al-Quran begitu tinggi sehingga menjadi sumber segala bentuk kehidupan. Maka, sepatutnya mengingat Allah SWT dengan Wahai Yang Maha Penghidup (Muhyiy) sebelum kita menyebut-Nya dengan Wahai Yang Mahakasih, Wahai Yang Maha Pengasih, Wahai Yang Maha Pengampun. Jika dengan setiap bismillahirrahmanirrahim kita beroleh kehidupan baru dari Allah SWT, lambat laun seluruh hidup kita akan menjadi mulia.

Jangan sampai lepas dari kesadaran kita bahwa tidak sedikit dari kita yang, dalam pandangan Al-Quran, dianggap sudah mati. dan kita yaang hidup ini masih bisa memperoleh derajat kehidupan yang lebih tinggi. Allah SWT menggunakan kalimat “Sungguh Kami akan menghidupkan mereka” untuk menerangkan suatu kehidupan yang mulia, yakni Allah SWT memberi kehidupan secara terus menerus.[afh]

 

Share Page

Close