• LAINYA

FILSAFAT-SOSIAL–Dalam pengertian umum, umat berarti sepadan dengan entitas sosial dan majemuk. Terlepas dari perdebatan seputar esensialitas umat (sosial) ataukah individu dan entitas sosial sebagai realitas objektif ataukah semata-mata refleksi mental mengenai hubungan-hubungan antarindividu, pada faktanya, setiap orang sulit akan bertahan hidup sendiri dan memutuskan hubungan serta interaksi dengan yang lain. Kini, jauh dari era atau periode sebelumnya, akan tampak lebih sulit lagi mempercayai suatu umat atau bangsa yang mengklaim hidup mandiri secara mutlak dan tidak butuh pada bangsa lain.

Kendati individu dan umat menyatakan perbedaan dampak konkret masing-masing, agaknya percuma menimbang dampak mana yang lebih rumit; sukar memastikan mana yang paling dominan. Dari satu sisi, dapat dikatakan bahwa medan dampak dan tingkat pengaruh suatu gejala keumatan bisa lebih luas dan lebih kompleks dari dampak yang ditinggalkan gejala individu dan, pada kasus-kasus tertentu, suatu masalah pribadi akan menjadi sangat menentukan nasib sebuah bangsa dalam tata kelola sosial-politik bila ditinjau sebagai masalah keumatan dan kebangsaan.

Studi mengenai umat dalam konteks kekiniaan tampak krusial dalam beberapa aspek:

 Pertama, tingkat kompleksitas dunia kontemporer yang ditandai dengan kecepatan dinamika, transformasi, inovasi dan pengaruh satu gejala di satu titik yang berdampak di titik lain dalam rangkaian gelombang efek. Dunia mutakhir bahkan menengarai persaingan kerap cenderung menjurus ke konflik, penyisihan dan marginalisasi (Anthony Giddens, 1998, p. 6). Kendati boleh jadi tidak sepenuhnya benar, efek ‘chaos’ tadi diungkapkan Shoroush dalam bahasa figuratif laksana “ombak di tepi pantai akan menciptakan gelombang di seberang samudera” (Abdulkarīm Shoroush, 1370 HS, p. 181).

 Kedua, pertumbuhan masyarakat madani dan organisasi sipil yang terus meningkat di tingkat nasional, regional dan internasional. Kekuatan masing-masing tampak di tingkat yang berbeda-beda. Sebuah asosiasi non-pemerintah di sebuah negara bisa menyatakan pengaruhnya bahkan di level internasional. Namun, tidak sebaliknya: suatu organisasi internasional belum tentu menjadi kekuatan penentu bahkan di tingkat nasional. Dalam konteks ini, akan mudah dijumpai referensi yang relevan di dunia Islam.

 Ketiga, kepekaan manusia kontemporer akan persoalan sosial-politik dan desakan untuk pemecahannya tampak lebih dan semakin kuat. Salah satu faktor utama, sejauh analisis Muḥammad Bāqir al-Shadr (1935-1980 M), kesadaran manusia bahwa persoalan sosial adalah produk mereka sendiri, dan sistem sosial yang dijalaninya dalam teritorial tertentu bukan bulan yang jatuh begitu saja (Muḥammad Bāqir al-Shadr, 1421 H, p. 216). Dalam bahasa karikaturistik, manusia di dunia ini seperti penumpang kereta yang duduk di depan lokomotif sambil tak henti-hentinya memperbaiki rel.

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (3): antara Kafir dan Tidak

Tiga faktor penimbang signifikansi studi mengenai umat dan hubungannya dengan individu ini akan menjadi acuan untuk menggali nilai-nilai sosial dari dalam Alquran. Sebagaimana akan dikemukakan, umat menemukan pengertian yang khas sejak disinyalir dalam Alquran, dan ini membantu meletakkan konsep khas kitab suci ini mengenai umat dan keumatan, yaitu menempatkan pada satu kerangka teoretis sekaligus praksis.

 

RAKYAT, MASYARAKAT DAN UMAT

Dalam wacana sosiologi dan politik, bahasa Indonesia cukup terbuka dalam mengakomodasi sejumlah terma-terma seperti ‘rakyat’. Kata ini sejatinya merupakan serapan dari bahasa Arab, ‘ra‘iyyah’ sebagai lawan dari ‘rā‘in’, yaitu pemimpin yang mengelola urusan suatu kaum. Dalam hadis disebutkan, “Masing-masing kamu adalah ‘rā‘in’ (pemimpin), dan setiap ‘rā‘in’ bertanggung jawab atas ‘ra‘iyyah’ (yang dipimpin)-nya” (Muḥammad ibn Ismā‘il Bukhārī, 2002, hadis no. 849). Hal senada terungkap dalam pidato politik Alī ibn Abī Thālib, “Kalau ‘ra‘āyā’ ‘rakyat-rakyat’ sebelumku mengeluhkan kezaliman para pemimpin mereka, kini aku mengeluhkan kezaliman ‘ra‘iyyah’ ‘rakyat’-ku sendiri” (Alī ibn Abī Thālib, 1419 H, hikmah no. 261). Meski demikian, kata ini secara definitif tidak ditemukan dalam Alquran.

Sama dengan rakyat adalah terma “masyarakat”. Kata ini juga serapan dari bahasa Arab, berasal dari kata ‘musyārakah’ yang berarti partisipasi, menyertai, bersekutu dan berusaha bersama-sama. ‘Musyarakah’ sendiri diderivasi dari kata kerja ‘syāraka’. Kata ini terdapat dalam Alquran (QS. Al-Isrā’ [17]: 64) dalam bentuk kalimat perintah (syārik). Bila bentuk-bentuk sintaksis lainnya dikesampingkan seperti: ‘asyraka’ dan ‘tasyāraka’, mungkin ayat al-Isrā’ ini saja yang bisa diacu untuk mengurut keberadaan masyarakat dalam Alquran.

Berbeda dengan ra‘iyyah atau rakyat yang merepresentasikan suatu entitas sosial tertentu, dapat diamati bagaimana musyārakah pada mulanya bermakna aktivitas atau keadaan yang melekat secara merata pada individu-individu. Unsur kesamaan keadaan dan kebersamaan aktivitas itulah yang tampaknya lantas menampilkan mereka melalui kata serapan ‘masyarakat’ sebagai sebuah entitas sosial sepenuhnya, termasuk di dalamnya rakyat. Maka, masyarakat lebih umum pengertiannya daripada rakyat, bahkan lebih umum dibandingkan dengan bangsa, mengingat dalam pengertian bangsa terdapat keterikatan pada wilayah dan teritorial. Kita biasa mengatakan “masyarakat dunia”, namun naluri bahasa kita sepertinya agak terganggu mendengar “bangsa internasional”.

Baca Juga :  Balada Cinta Istri Kepala Keamanan Raja dan Ajudan Tampan dalam Alquran (2): Cinta Tuhani, Cinta Insani, Cinta Hewani

Bagaimanapun itu, baik ra‘iyyah (rakyat) maupun musyārakah (masyarakat) secara definitif tidak terdapat dalam Alquran. Berbeda dengan umat (ummah) akan dengan mudah dijumpai di banyak ayat. Juga tidak seperti rakyat dan masyarakat, terma umat tampaknya masih tidak lazim mewacana dalam sastra bahasa sosial dan politik keindonesiaan, meski sudah lama menjadi bagian kosakata baku Bahasa Indonesia.

Sejauh pemahaman umum dan makna leksikal, kata umat ghalibnya berkonotasi dengan agama, yakni komunitas atau masyarakat yang menganut agama dan kepercayaan tertentu seperti: umat Islam, umat Nasrani, yang lebih sempit dari pengertian bangsa dan masyarakat itu sendiri. Namun, pembacaan kontekstualitas Alquran sepanjang fokusnya terhadap umat akan diupayakan di atas pengertian yang diajukan Alquran sendiri mengenai umat. Dengan kata lain, bagaimana konsep umat dalam perspektif Alquran.

Kata umat sendiri berasal dari bahasa Arab, ‘ummah’, yang diderivasi dari ‘umm.’ Kata dasar ini berarti ‘menuju’, ‘ajaran’, ‘agama’, ‘kelompok’, ‘generasi’, atau juga dapat bermakna ibu yang melahirkan secara langsung atau tidak langsung. Al-Farāhīdī (100-170 H/718-786M) mengatakan, “Setiap apa saja yang ke dalamnya terhimpun semua yang datang setelahnya disebut sebagai umm” (Khalīl ibn Aḥmad al-Farāhidī, 1414 H, p. 433). ‘Umm’ juga berarti induk dan asal, yakni segala sesuatu yang menjadi sebab dan sumber untuk sesuatu yang lain, entah keberadaannya, atau pendidikan, atau perbaikannya (Husain ibn Muḥammad Raghib Ishfahāni, 2004, p. 27). Maka ummah (umat) yaitu yang berasal, menginduk, menuju kepada asal dan induk seakan datang dari ibu yang satu.

Dalam Alquran, kata ini dengan pelbagai derivatifnya terulang sebanyak 64 kali dalam 62 ayat sepanjang 25 surah. Dari 64 kali pengulangan, 47 terdapat di surah-surah Makkiyah dan 17 di surah- surah Madaniyah.

Sebagai kata homogen, Alquran menggunakan umat dengan beragam makna di atas. Dan tidak satu pun dari binatang melata di bumi juga tidak seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat seperti kalian (QS. Al-An’ām [6]: 38). Dalam ayat ini, kata umat digunakan untuk binatang yang hidup berkomunitas secara kodrati dan instingtif.

Makna umat juga berarti sekelompok orang yang terhimpun satu dalam ajaran dan kepercayaan. Untuk makna ini, beberapa mufasir seperti Qurthubī (1214 – 1273) (Muḥammad ibn Aḥmad al-Qurthubī, 1405 H, p. 31) dan Allāmah Thabātabā’ī (Muḥammad Ḥusayn Thabātabā’ī, 1971), v.2, p.123) membawakan ayat berikut: Manusia telah menjadi umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai memberi harapan dan ancaman, dan menurunkan bersama mereka kitab dengan kebenaran untuk memutuskan di antara manusia apa yang mereka perselisihkan (QS. Al-Baqarah [2]: 213).

Baca Juga :  Pandemi dan Argumen Ateis atas Ketiadaan Tuhan (3): “Tidak Tahu” dalam Etika Berpikir dan Berkeyakinan

Di ayat lain disebutkan, Kami telah mendapati bapak-bapak kami di atas umat (QS. Al-Zukhruf [43]: 22). Maksud “di atas umat” dalam ayat ini, sesuai penjelasan raghib Ishfahani, ialah di atas agama yang diyakini bapak-bapak mereka.

Tosihiko Izutsu, seorang pakar Islam asal Jepang, juga memberikan sebuah analisis tentang umat. Baginya, umat merupakan sebuah kata kunci untuk setiap hal yang berkaitan dengan budaya Islam. Kelahiran kata ini dalam sejarah Islam memiliki nilai penting yang besar. Sampai masa itu di Jazirah Arab, entitas-entitas sosial-politik bersifat kekabilahan, dan ikatan darah menjadi unsur penuntas pemahaman Arab Jahiliyah terkait kesatuan sosial. Terhadap pemahaman yang tradisional, masih menurut Izutsu, Alquran mengajukan sebuah pemikiran baru mengenai kesatuan sosial dan mengembangkannya hingga tidak lagi berpijak di atas hubungan kekeluargaan dan perdarahan, tetapi dibangun di atas kepercayaan religius bersama (Toshihiko Izutsu, 2002, p.79).

Dari contoh-contoh rujukan di atas, dapat dijelaskan dengan kata lain bahwa kendati sudah ada dan digunakan sebelum kedatangan Islam di Arabia, kata ummah tidak mengandung makna sosiologis, tetapi lebih diartikan identik dengan kepercayaan dan agama itu sendiri. Bahkan kecenderungan ini juga diungkapkan dalam bahasa puitis sebagaimana nampak dalam sebuah bait gubahan Nabighah Dzibyani yang dikutip oleh Ibn Mandzur (Ibn Mandzūr, 1414 H, v.12, p.27):

Kubersumpah hingga tak kusisakan ragu pada dirimu  //  Akankah sang ber-umat patuh ‘agama’ kan menipu.

Dengan kedatangan Islam, kata ummah digunakan dengan makna yang khas tanpa kehilangan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya: kesatuan yang ditegaskan dalam makna keasalan dan keindukan; juga keimanan dan kepercayaan yang terdapat dalam makna keagamaan. Unsur kesatuan dalam umat merupakan elemen yang menjadikan umat sebagai unsur keagamaan yang menjadi faktor pembentukan entitas dan kesatuan masyarakat secara sosiologis dan ideologis.

Alhasil, umat merupakan kata yang mengalami pengayaan makna dalam tradisi sastra bahasa Islam. Maka, seperti kata iman, ia sepenuhnya bernuansa keislaman. Untuk menggali lebih mendalam kandungan umat hingga menjangkau wujudnya sebagai konsep unik dalam Islam, perlu kiranya diamati dalam kerangka yang lebih luas.BERSAMBUNG

Share Page

Close