• LAINYA

TAFSIR-MUFASIR–Bagi sebagian atau kebanyakan orang, sedikit sekali nama perempuan yang dapat dikenal ketokohannya. Anggapan ini boleh jadi karena pengetahuannya terbatas hingga banyak tokoh yang tidak pernah ia ketahui, atau malas menelaah buku-buku sejarah, atau jumud pola pikirnya. Boleh jadi itu lantaran terpengaruh oleh persepsi beberapa pihak yang cenderung kurang respek pada perempuan.

Begitu banyak tokoh perempuan yang, lantaran kurang mendapat perhatian khusus, menjadi kurang dikenal hingga keberadaan mereka seakan hilang ditelan masa. Ibarat pepatah, “tak kenal, maka tak sayang”. Tapi, sepertinya tidak berlebihan bila juga dikatakan sulit menemukan nama perempuan yang masuk dalam jajaran mufassir di era mutakhir. Untuk sementara, selain Bintu Syathi dari Mesir, dua dekade sebelumnya Iran memiliki kebanggaan dengan kehadiran seorang tokoh perempuan, cendikia muslimah dan mufassir 15 jilid tafsir Alquran dari Negeri Mullah, Sayyidah Amin dari Isfahan, kota tua di bagian tengah Iran yang kini ditetapkan sebagai kota budaya kedua dunia Islam.

Sekilas Riwayat

Bernama lengkap Sayyidah Nushrat Bigum Amin, ia populer di kalangan ulama dan sarjana Iran dengan nama Banu Amin atau Banu Mujtahidah Isfahani (tuan putri sang mujtahid dari Isfahan), lahir pada 1265 HS/1895 M (kurang lebih 120 tahun yang lalu). Seperti namanya, ia berasl dari Isfahan, Republik Islam Iran. Ayahandanya bernama Sayyid Muhamad Ali bin Hasan yang dikenal dengan “Amin Tujjari Isfahani”, orang yang saleh lagi dermawan. Begitu pula ibundanya seorang wanita mukminah dan mulia. Ia menjadi kebanggaan bangsa Iran sampai-sampai orang di sana hanya mengenal dengan nama Banu Irani (tuan putri Iran).

Banu Mujtahidah Isfahani adalah seorang sayyidah atau syarifah yang urutan nasabnya bersambung ke Nabi SAW. Dengan tiga puluh mata rantai, silsilah nasabnya sampai ke Imam Ali bin Abi Thalib ra. Ia anak terakhir dari empat bersaudara; semua kakaknya adalah laki-laki.

Menginjak usia empat tahun, sang ibu menyekolahkan Banu Mujtahidah Isfahani ke Maktab (pusat pendidikan) untuk belajar Alquran dan baca tulis. Padahal, zaman itu, jarang sekali keluarga yang mengirimkan anak perempuannya ke Maktab untuk belajar. Bahkan sebagian keluarga tidak memperbolehkan untuk mengajarkan baca tulis kepada anak perempuan.

Sejak itulah Banu Isfahani terus melanjutkan pendidikannya. Ia belajar bahasa Arab sampai umur sebelas tahun. Dalam salah satu baris kenangan masa kecilnya, ia menuturkan, “Masih ingat ketika saya bersama teman-teman sebaya, saya tidak bermain-main dan bersenang-senang seperti mereka. Bahkan saya selalu ingin menyendiri supaya dapat terus berpikir, karena saya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari jiwa saya. Begitu pula jika berada di tempat umum, saya selalu dalam keadaan berpikir dan merenung”.

Baca Juga :  QS. Al-Mursalat [77]: ayat 15; Dari Membohongi Diri Sendiri sampai Membohongi Allah

Setelah menyelesaikan jenjang Mukadimah, Banu Mujtahidah Isfahani menekuni Fiqih dan Ushul Fiqih melalui buku-buku induk seperti: Ushul Al-Fara’id, Kifayah al-Ushul. Ia juga mendalami dua bidang ilmu keislaman ini hingga ke tingkat bahts al-kharij.

Minatnya tidak berhenti di situ. Ia juga mendalami Kalam sepanjang menelaah buku induk Syawariq al-Ilham karya Abdul Razzaq Lahiji. Dalam filsafat, ia menekuni al-Hikmah al-Muta’aliyah karya agung Mulla Sadra. Semua bidang ilmu ini ia pelajari pada Mir Sayyid Ali Najaf Abadi.

Ketika berusia lima belas tahun, Banu Mijtahidah Isfahani menikah dengan anak pamannya yang bernama Haji Mirza dan dikenal dengan Mu’in Tujjari, seorang saudagar terkenal di kota Isfahan. Dari pernikahannya, mufassir wanita Persia ini memiliki delapan anak, namun hanya satu yang hidup, sementara tujuh anak lainnya meninggal dunia dengan cepat. Ia menganggap hal itu sebagai ujian Ilahi.

Banu Mujtahidah Isfahani selalu berusaha menyeimbangkan antara keluarga dan pendidikan. Meskipun telah berkeluarga dan mempunyai anak, kondisi ini tidak menghalangi minatnya pada ilmu dan belajar. Ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Oleh karenanya, beliau senantiasa membawa buku, bahkan ketika bertamu.

Ketekunan dan Semangat Hidup

Saking besar cintanya kepada ilmu pengetahuan, Banu Mujtahidah Isfahani tetap menyempatkan diri hadir di kelas belajar meskipun hari itu anaknya meninggal dunia. Dituturkan oleh salah satu gurunya, “Suatu hari anak perempuan Sayyidah Amin (Banu Mujtahidah Isfahani) meninggal dunia. Saya merasa yakin dia tidak akan datang untuk menghadiri kuliah, tetapi ia justru datang dan hadir. Saya sampaikan kepadanya agar meliburkan pelajarannya, karena hari ini anaknya meninggal dunia. Namun membalas, “Tidak apa-apa, ia telah pergi ke Rahmat Ilahi. Kenapa kita harus meliburkan pelajaran?! Allah telah menganugerahkan dua nikmat kepadaku, lalu Dia mengambil salah satunya dariku, kenapa aku harus kehilangan yang lainnya, nikmat belajar?!”

Dengan kerja keras dan semangat cinta ilmu, Banu Mujtahidah Isfahani meneruskan pendidikan sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam situasi masyarakat yang masih memandang lain pada pendidikan bagi seorang perempuan, di usia empat puluh tahun derajat keilmuan dan penguasaan ilmunya diakui oleh para ulama besar. Pada usia itu ia berhasil mencapai derajat ijtihad. Beliau satu-satunya perempuan yang mencapai derajat ijtihad di zamannya. Karena itu pula gelar ‘mujtahidah’ (sang perempuan mujtahid) disematkan oleh para ahli menjadi bagian dari nama namanya.

Prestasi Banu Mujtahidah Isfahani yang luar biasa itu menyebabkan banyak para tokoh dan ulama berdatangan dari berbagai negara untuk bertemu dan berbincang-bincang dengannya. Di antara mereka adalah Ayatullah Mar’asyi Najafi, Allamah Muhammad Husein al-Thabathaba’i, penulis tafsir Mizan, Allamah Muhammad Taqi Ja’fari, filosof muslim ternama, dan para dosen dari berbagai universitas.

Baca Juga :  Profil Pemimpin Ideal dalam Tasawuf Politik Platon dan Khomeini (1): Parodi Kekuasaan

Sepanjang hidupnya, Banu Mujtahidah Isfahani selalu berusaha mencari sesuatu yang hilang dari dirinya. Ia pernah mengatakan, “Tiada kesengsaraan yang lebih dalam dari menjauhnya seseorang dari kekasih sejatinya (Allah SWT)”.

Banu Mujtahidah Isfahani dari usia empat puluh sampai akhir hayatnya menghabiskan waktunya untuk menulis kitab, mengajar, menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan dan membimbing kaum perempuan. Pada tahun 1344 HS dengan dana sendiri beliau mendirikan pusat pendidikan bagi perempuan dengan nama “Maktab-e Fathimeh” dan Sekolah Menengah Atas (SMA) khusus perempuan. Beliau pun aktif mengajar ilmu-ilmu agama dan tafsir, juga menjawab berbagai pertanyaan di sebuah lembaga yang bernama “Pusat Dakwah dan Pendidikan Agama” di kota Isfahan. Yang jelas beliau sampai akhir hayatnya selalu berusaha untuk membimbing dan meningkatkan perkembangan intelektual dan spiritual kaum perempuan. Akhirnya, setelah perjuangan dan pelayanan yang beliau haturkan kepada Islam -terkhusus bagi kaum perempuan- pada tanggal 23 Khurdad 1362 HS/ 13 Juni 1983 M, dalam usia 97 beliau meninggalkan dunia fana menuju Allah SWT.

Derajat Ilmu Pengetahuan

Banu Mujtahidah Isfahani telah mencapai derajat ijtihad, yakni kewenangan menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya dan berfatwa, pada umur empat puluh tahun. Ia juga mendapatkan ijazah berijtihad dari beberapa ulama besar seperti: Ayatullah Agung Abdul Karim Hairi, Ayatullah Agung Muhammad Kadzim Syirazi dan Ayatullah Agung Sayyid Ibrahim Husaini Syirazi Ishthahbanati.

Sementara di bidang hadis, ia mendapatkan ijazah meriwayatkan hadis dari beberapa ulama besar seperti: Ayatullah Syeikh Muhammad Ridzo Najafi Isfahani, Hujjatul Islam wa al-Muslimin Madzahiri Najafi Isfahani, Ayatullah Agung Mar’asyi Najafi dan Hujjatul Islam wa al-Muslimin Zuhair al-Hasun. Selain pakar dalam bidang fiqih, ia juga menguasai bidang filsafat, irfan (tasawuf) dan tafsir.

Karya-karya Ilmiah

Banu Mujtahidah Isfahani satu dari ulama perempuan yang terbilang produktif dalam melahirkan karya ilmiah. Karya-karyanya mencerminkan penguasaannya yang luas di berbagai bidang ilmu seperti:

Arba’in al-Hasyimiyyah. Karya ilmiah ini adalah karya pertamanya, berisi empat puluh hadis tentang tauhid, sifat-sifat Allah SWT, akhlak dan hukum syari’at, sekaligus telaah tentang masalah-masalah filsafat, irfan, ushul fiqih dan fiqih. Buku ini dijadikan sebagai referensi para ulama Najaf (Irak) dan sebagian para marja’ (mufti agung) dalam menguji kelayakannya mencapai derajat “ijtihad”.

Jami’ al-Syitat. Buku ini mencakup berbagai pertanyaan yang dikemukakan para guru besar seperti: Ayatullah Muhammad Ali Qadhi Thabathaba’i, Syeikh Muhammad Thaha al-Hindawi al-Najafi Zadeh, Sayyid Hasan al-Husaini, juga jawaban-jawaban yang ia sampaikan secara tertulis.

Ma’ad ya Akharin Sayri Basyar. Dalam buku berbahasa Persia ini, ia menjelaskan bahwa manusia dalam perjalanan menuju kesempurnaannya, selain harus melewati dunia ini, juga harus melewati semua alam lainnya hingga ia sampai di alam yang tidak ada alam lagi setelahnya, yaitu kiamat atau ma’ad. Dalam buku ini terdapat sembilan bab dengan sistematika sebagai berikut:
a. Perjalanan dari alam tinggi ke alam bawah, dan sebaliknya.
b. Setiap yang yang rendah bertumpu pada yang tinggi.
c. Manusia kandungan semua alam ada.
d. Manusia di alam barzakh.
e. Manusia di hari kebangkitan.
f. Jembatan.
g. Timbangan amal.
h. Perhitungan amal.
i. Surga dan neraka.

Baca Juga :  Mufasir Perempuan (1): Bintu Syathi dari Mesir

Al-Nafahat al-Rahmaniyyah fi al-Waridat al-Qalbiyyah. Buku ini berisi studi tentang resapan-resapan hati dan pengalaman-pengalaman ruhani, termasuk kesan penulis mendapatkan faidh (pancaran) Ilahi sepanjang penempuhan dan perjalanan (sayr wa suluk) menuju Allah.

Akhlaq. Seperti yang tampak dari judulnya, buku ini berkenaan dengan akhlak. Buku ini sendiri merupakan saduran Banu Mujtahidah Isfahani dari kitab Thaharat al-A’raq karya Ibnu Maskawaih. Kitab Arab ini berhasuil diterjemahkan oleh Banu Isfahani dengan ditambahi penjelasan pelengkap dari refleksinya. Buku ini, selain bebicara sisi ilmu, amal dan akhlak, juga mengandung argumen dan poin-poin penting mengenai filsafat.

Rawesy Khusybakhti wa Tawshiyeh beh Khaharan Imani. Buku berbahasa Persia ini berusaha menjelaskan arti kebahagiaan dan cara menggapainya dengan bahasa mudah.

Makhzan al-La’ali fi Manaqib Mawla al-Mawali. Buku berbahasa Arab ini membahas keutamaan Sayyidina Ali ra., tersusun dari satu mukadimah, lima bab dan diakhiri dengan penutup.

Sair wa Suluk dar Rawesy Awliya wa Thariq Sayr Su’ada’. Buku ini membahas tentang tariqat sufi seperti: kasyf (penyingkapan), syuhud (penyaksian), fana’ (lenyap), baqa’ (kekal) dan sayr ila-Allah (berjalan menuju Allah).

Tafsir Makhzan al-Irfan

Tafsir ini berarti Khazanah Pengetahuan. Barangkali buku ini tepat dipandang sebagai magnum opus mufassir perempuan dari Negeri Mullah ini. Tafsir ini dicetak sebanyak lima belas jilidl; setiap jilidnya tidak kurang dari 400 halaman. Tafsir ini mengandung pembahasan irfan (mistik), pesan-pesan akhlak dan pembahasan menarik lainnya tentang Alquran. Setelah membubuhkan mukadimah, Banu Mujtahidah Isfahani menjelaskan keutamaan Alquran, dan mengingatkan sejumlah faidah tafsir dan ilmu-ilmu Alquran.

Sepanjang menulis tafsir ini, Banu Mujtahidah Isfahani sesekali diliputi merasa takut ajalnya tiba sebelum tuntas menyelesaikannya. Maka, setelah menyelesaikan penafsiran atas dua juz Alquran, ia langsung melompat ke tafsir juz 30. Namun akhirnya ia meneruskannya sampai dapat menyelesaikan semuanya. Selama menulis tafsir ini, Banu Mujtahidah Isfahani selalu berdoa agar dipanjangkan umurnya hingga dapat menyelesaikan penulisan tafsir tersebut sebelum tiba ajalnya. Karya tafsir ini kemudian membawa dirinya menjadi satu dari jajaran pendek mufassir perempuan di dunia Islam kontemporer.[islamfeminis/2007/04/15].

Share Page

Close