• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Pertama, surah Al-Ikhlas dibuka dengan dua ayat afirmatif lalu dituntaskan dengan dua ayat negatif. Dua tinjauan: afirmatif dan negatif, menegaskan doktrin al-Quran bahwa pengenalan kita akan Allah swt. bukanlah agnostis (mengingkari ketidakmungkinan mengenal Tuhan) juga bukan antropomorfistis (menyerupakan Tuhan dengan makhluk). Ini juga sesuai dengan kalimat tauhid: Tidak ada tuhan kecuali Allah, tidak ada tuhan (negasi) dan kecuali Allah (afirmasi).

Kedua, surah yang turun di Mekkah (makkiyyah) ini berbicara eksklusif tentang Allah swt. Ikhlas berarti memurnikan keimanan hanya pada Allah sedemikian rupa hingga menafikan apa saja selain Allah dalam segala hal. Karena itu, surah ini juga dinamai juga dengan surah Tauhid, yakni mengesakan Allah.

Ketiga, selain menyinggung batas kemampuan manusia mengenal Allah, memurnikan dan mengesakan Allah itu juga berderajat dan bertingkat-tingkat. Dalam gradasi ini, doktrin Kesatuan Ada (wahdatul wujud) merupakan prestasi tinggi dari keimanan bertauhid.

Keempat, Allah adalah satu yang mustahil diasumsikan ada yang kedua bagi-Nya. Maka tidak ada sekutu, setara, seperti dan sebanding dengan-Nya.

Kelima, Allah adalah tempat bergantung, di atas segalanya dimana segala sesuatu kembali kepada-Nya dan, karena itu, tidak ada titik yang kosong dari-Nya. Maka, hubungan Allah dengan makhluk bukanlah hubungan kelahiran, yakni hubungan dua sesuatu yang satu keluar dan lepas dari yang lain.

Keenam, mengesakan Allah dan meyakini keesaan Allah secara mutlak dan sepenuhnya yaitu Dia satu-satunya dalam keberadaan dan sumber keberadaan setiap yang ada, Dia satu-satunya yang berkuasa atas manusia dan semua makhluk, Dia satu-satunya yang berwenang mengatur jalan hidup manusia dan semua alam, Dia satu-satunya yang berhak disembah, dipatuhi dan diharapkan pertolongan-Nya oleh setiap manusia dan makhluk.

Ketujuh, mempercayakan hidup, kehendak, pilihan, keputusan dan pengelolaan hidup kepada sesama manusia, tanpa izin dan delegasi dari Allah Tuhan Mahaesa semesta alam, adalah bertentangan dengan kemurnian Tauhid. Demikian pula tidak mempercayakan kehendak dan keputusan hidup personal dan sosial kepada manusia-manusia pilihan Allah juga bertentangan dengan asas Tauhid. Sebaliknya, mempercayai orang lain untuk menentukan pilihan, keputusan dan pengelolaan hidup berdasarkan hukum dan izin Allah merupakan kesempurnaan kemurnian tauhid.

Latar Belakang Surah

Diriwayatkan oleh para imam hadis, termasuk Imam Bukhari dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya (hadis no. 20272), bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Muhammad bin Miassar Ash Shaghani telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Al-Razi dari Rabi’ bin Anas dari Abu Aliyah dari Ubay bin Ka’b, bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Muhammad, sebutkan nasab Tuhanmu (dalam riwayat lain disebutkan, sebutkan sifat-sifat Tuhanmu) kepada kam!” Maka Allah SWT menurunkan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Dialah Allah adalah Esa. Allah Tempat-bergantung. Dia tidak melahirkan juga Dia tidak dilahirkan. Dan tidak ada satu pun setara dengan-Nya.’”

[arabic-font]بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحيمِ. قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ[/arabic-font]

“Dengan nama Allah Yang Mahasayang Maha Penyayang. Katakanlah Dia adalah Allah Yang Esa”
(QS. Al-Ikhlas [112]: 1)

Studi Kebahasaan

1. Berkenaan dengan posisi sintaksis kata Allah, ada beberapa kemungkinan: pertama, kata ganti huwa (dia) menunjuk kepada esensi Allah SWT atau, dalam istilah teknis, dikenal dengan Identitas Gaib (huwiyyah gaybiyyah). Maka, kata Allah di sini berposisi sebagai predikat pertama bagi subjeknya yaitu huwa (dia), sedangkan ahad (esa) sebagai predikat kedua. Atas dasar ini pula ayat ini diterjemahkan sebagaimana di atas (Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hlm. 858; I’rab Al-Qur’an wa Bayanuh, jld. 10, hlm. 61; Adab Al-Shalat, hlm. 306). Kemungkinan kedua, kata Allah berposisi sebagai subjek kedua dan, dengan demikian, kata ganti huwa merupakan kata ganti pemisah (dhamir fashl) atau kata ganti yang tidak memiliki makna apa pun, tetapi ia menunjuk kalimat yang datang setelahnya dan, secara sintaksis, ia berfungsi sebagai subjek dari kalimat sempurna “Allah adalah Esa” yang merupakan predikat. Atas dasar ini, ayat di atas diterjemahkan menjadi “Katakanlah Allah adalah esa” (Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hlm. 858; I’rab Al-Qur’an wa Bayanuh, jld. 10, hlm. 61; Tafsir Al-Mizan, jld. 20, hlm. 388). Kemungkinan ketiga mirip dengan kemungkinan pertama dimana kata ganti dia (huwa) berposisi sebagai subjek dan Allah sebagai predikat, sementara ahad (esa) sebagai badal ‘pengganti’ dari Allah. Atas dasar inilah terjemahan ayat di atas menjadi: “Katakanlah Dia adalah Allah yaitu Esa”.

2. Sebagian ahli bahasa menerangkan perbedaan antara ahad (esa) dan wahid (satu), sekalipun kedua-duanya berasal dari satu akarkata, yakni wahdah. Pembedaan ini amat berguna dalam studi teologi dan tauhid. Kata ahad dalam bahasa Arab digunakan untuk menegasikan setiap bilangan yang menyertainya, adapun wahid merupakan nama dan sifat yang, pada dasarnya, menjadi permulaan bilangan. Dalam tradisi bahasa Arab, kata ahad digunakan dalam ungkapan-ungkapan negatif, sementara wahid dipakai dalam ungkapan-ungkapan afirmatif (Lisan Al-Arab, jld. 3, hlm. 448).

Hadis

1. Rasulullah SAW bersabda, “Akal dibagi kepada tiga bagian; barangsiapa yang menghimpun ketiga bagian itu sempurnalah akalnya, dan orang yang tidak menghimpun itu tidaklah berakal: pengetahuan sahih tentang Allah, ketaatan yang baik pada-Nya, dan kesabaran yang baik dalam urusan-Nya” (Nawādir Al-Akhbār, hlm. 12).
2. Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib ra. berkata, “[Dia] esa tanpa kembali ke bilangan …. Setiap apa saja selain Dia yang disebut satu adalah sedikit” (Al-Tawhīd, hlm. 90).

Tadabur

1. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Katakanlah bahwa Dia ….” Sebagian mufasir menyatakan bahwa bismillah dalam setiap surah merupakan bagian dari surah tersebut sehingga ia memiliki hubungan khas dengan makna dan kandungan surah (Adab Al-Shalah, hal. 242). Dan berkenaan dengan makna bismillah di permulaan surah Al-ikhlas ini, mereka mengatakan bahwa penjelasan relasi-relasi Allah Al-Haq dan penguraian rahasia-rahasia tauhid tidak dapat diungkapkan dengan keakuan dan egoisme (ananiyyah) dan dengan bahasa yang terkait dengan diri sendiri. Namun, selama seorang pesuluk dan penempuh jalan spiritual menuju Al-Haq tidak keluar dari hijab dirinya, tidak mencapai maqam Kehendak Mutlak (al-masyi’ah al-mutlaqah) dan tingkatan Limpahan Tersucikan (al-faydh al-muqaddas), yakni belum menyerahkan totalitas dirinya kepada kehendak Tuhan dan tidak lenyap (fana’) dalam Identitas Absolut (huwiyyah mutlaqah) sehingga masih tersisa seberapa pun dari keinginan dalam dirinya, ia tidak akan menjangkau rahasia-rahasia tauhid (Ibid., hlm. 305).

2. Dalam studi kebahasaan telah dijelaskan bahwa, dari satu sisi, para ahli bahasa menyimpulkan bahwa kata ahad (esa) diigunakan secara mandiri (tidak berposisi sebagai mudhaf ataupun mudhaf ilayh) dalam kalimat negatif, sementara kata wahid (satu) digunakan dalam kalimat afirmatif. Namun, di sisi lain, kita tahu bahwa kata ahad digunakan pada Allah SWT secara afirmatif. Ketika kita mengatakan, Lā ahad jā’a: tidak ada satu orang pun yang datang, ini seolah-olah ahad dalam kalimat afirmatif ini sepadan dengan satu [orang] yang, manakala tidak datang, yakni sama sekali tidak ada seorang pun yang datang, dan tatkala ia datang, kata ‘semua’ harus digunakan. Padahal, hal seperti ini tidak berlaku pada selain Tuhan (makhluk dan alam semesta). Oleh karena itu, dalam percakapan umum, kata ahad tidak digunakan dalam kalimat afirmatif. Lalu bagaimana dengan kalimat yang berbicara tentang Tuhan; bukankah Tuhan Itu satu yang, di mana saja Dia berada, Dia segala sesuatu?!

3. Dalam hadis di atas disebutkan bahwa ahad adalah yang esa yang keesaannya bukan berupa bilangan dimana Jika berupa bilangan, Tuhan adalah esa yang selanjutnya akan ada dua, tiga, empat dan seterusnya. Misalnya, matahari hanya satu, namun tidak disebut esa, karena adanya matahari kedua, ketiga dan selanjutnya tidaklah mustahil. Allah adalah esa yang tidak dapat diasumsikan adanya dua selainnya. Tidak ada Tuhan kedua, bahkan mustahil ada Tuhan selain Allah.

4. “Katakan dialah Allah yang Esa.” Ayat ini juga dimulai dengan perintah “Katakanlah”. Artinya, ketika kita menyadari dan memahami keesaan Allah, sungguh kita telah mencapai hakikat yang begitu berharga sehingga katakanlah hakikat ini kepada orang lain. Dengan kata lain, nyatakanlah kepada semua orang, “Tuhanku, kami sungguh sendiri dalam kesendirian. Kami tidak mengenal siapapun selain Engkau, dan kami tidak menginginkan siapapun selain Engkau yang kami kenal.”

5. Demikian Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib ra. membangun pemerintahan yang bersih dan masyarakat islami sesuai dengan cita-cita Nabi SAW, memulai di antaranya dengan menghapus diskriminasi dan menegakkan asas keadilan dan kesamaan hak untuk semua rakyat, entah dari bangsa Arab ataupun non-Arab, berdasarkan hukum agama. Seperti dicatat oleh Ibn Abi Al-Hadid, Ali menghadapi arus penentangan dan kecaman hingga, dengan nada marah, ia mengatakan dalam pidatonya, “Ini adalah kitab Allah yang telah kita akui dan kita patuhi, dan pusaka nabi kita masih berada di tengah-tengah kita. Maka, siapa saja yang tidak senang, berpalinglah sesuka hatinya, karena sesungguhnya orang yang bertindak dalam ketaatan pada Allah dan pemutus perkara dengan hukum Allah tidak akan dicekam ketakutan.” (Syarh Nahj Al-Balāghah, jld. 7, hlm. 40).

6. Dalam ayat ini terdapat tiga nama atau sifat Allah SWT: dia, Allah dan esa. ‘Dia’ menunjuk esensi atau diri Tuhan yang diungkapkan dengan kata ganti orang ketiga (dhamīr ghā’ib). Barangkali dari sisi inilah esensi Tuhan tidak dapat dijangkau oleh pemahaman dan manusia. Pada diri Tuhan tidak ada aspek multiplisitas dan ke-banyak-an. Demikian pula bahkan di tingkat nama dan sifat-Nya. Lalu ayat ini menyinggung nama Allah yang merupakan paripurna dan penghimpun segenap nama dan sifat. Dari satu sisi, Tuhan adalah esensi satu-satunya dan, dari sisi lain, Dia mencakup segenap kesempurnaan nir-batas. Oleh karena itu, kata Allah disusul langsung oleh kata esa (ahad). Ini menunjukkan bahwa Asensi Absolut dan nir-Batas itu tidak lebih dari satu dan esa.

Baca Juga :  QS. al-Ikhlas [112]: ayat 3, (1) Konsekuensi Tauhid

7. Poin ini sangat penting dan berdampak positif, dimana di alam semesta ini kita hanya semata-mata memiliki pencipta tunggal, esa, sempurna nir-batas dan menghimpun segenap kesempurnaan. Sebagian orang justru memahami bahwa tidak ada realitas yang tak terbatas, sempurna dan mencakup segenap kesempurnaan, sehingga sebagian yang lain menganggap Tuhan itu banyak dalam dirinya. Dalam budaya Al-Quran, tiga kata dia, Allah dan esa menemukan maknanya secara utuh dan padu. Artinya, esensi Tuhan adalah identik dengan nama dan sifat Tuhan itu sendiri, dan dalam keidentikan inilah Dia Esa dan Satu.

8. Tentu saja, jika pengertian mengenai dia, Allah dan esa kita pahami dengan cermat sebagai esensi tunggal, esa, nirbatas, absolut, penghimpun dan sempurna, tentu tidak ada alasan dan peluang apa pun dalam diri kita untuk putus asa, bangga diri, pelit, percaya pada sesama, takut dan sombong. Kita perlu waspada; jangan setiap hari kita berulang kali mengatakan “Allahu Akbar”, tetapi tuhan yang kita pahami dalam pikiran kita malah tidak besar.

[arabic-font]اَللّٰهُ الصَّمَدُ[/arabic-font]

“Allah tempat bergantung”
(QS. Al-Ikhlas [112]: 2)

Abstrak

  • Dua makna shamad: tidak bergantung dan tempat bergantung.
  • Hubungan shamad dengan ahad (esa).
  • Hubungan Allah sebagai shamad dengan deskripsi Allah di ayat-ayat setelahnya.
  • Kepercayaan pada Allah sebagai shamad membangun kewibawaan dan ketangguhan. Maka, dalam memurnikan tauhid terdapat kebergantungan mutlak pada Allah sekaligus kemerdekaan seutuhnya dari selain Allah.

Studi Kebahasaan

1. Shamad hanya digunakan sekali saja dalam Alquran.

2. Secara leksikal, kata shamad mengandung dua makna: pertama menuju dan, atas dasar ini, shamad yaitu orang berkedudukan tinggi yang menjadi tumpuan yang dituju oleh semua orang dalam menyelesaikan kebutuhan mereka. Makna kedua yaitu padat, keras dan kokoh. Karena itu, sesuatu yang sepenuhnya padat dan di dalamnya tidak ada celah apa pun disebut juga dengan shamad (Maqāyīs al-Lughah, jld. 3, hlm. 309; Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān, hlm. 493).

3. Tatkala kata shamad ini digunakan pada Allah, maka berdasarkan makna pertama, ia berarti ketergantungan semua makhluk kepada Allah SWT; Dia sumber kecukupan, asal kesempurnaan dan kekuatan, namun berdasarkan makna kedua, ia berarti ketakbergantungan dan ketakbutuhan Allah kepada apa pun selain-Nya lantaran kesederhanaan dan ketaktersusunan-Nya.

Hadis

1. Muhammad bin Muslim meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far Shadiq, ia berkata, “Kaum Yahudi pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Mereka mengatakan, “Gambarkan Tuhanmu kepadaku!” Namun beliau tidak menjawab mereka sampai tiga hari kemudian turunlah surat ini sampai akhir ayat. Aku bertanya kepada Imam Shadiq, “Apa shamad itu?” Beliau berkata, “Yaitu dia yang tidak ada kekosongan pada diri-Nya.” (Kitāb al-Tawhīd, hlm. 93).

2. Diriwayatkan oleh Dhahhak dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Orang-orang Quraisy Mekkah berkata kepada Nabi saw., “Terangkanlah Tuhanmu kepada kami agar kami mengenal-Nya dan menyembah-Nya!” Lalu Allah menurunkan kepada Nabi saw. “Katakan Dialah Allah yang esa”, yakni tidak terbagi, tidak terpecah dan tidak beratribut, tidak berlaku pada-Nya nama bilangan, tidak ada kekurangan juga tidak ada penambahan pada-Nya; “Allah tempat bergantung”, yang ke kepada-Nya semua keinginan berakhir, kepada-Nya menuju seluruh makhluk di langit-langit dan bumi beserta segenap kebutuhan mereka.” (Tafsir al-Qummiy, jld. 2, hlm. 449).

3. Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Shamad yaitu Tuan yang dipatuhi yang tidak ada pemerintah dan pelarang di atas-Nya.”

4. Imam Ali Zainal Abidin ditanya tentang shamad, ia berkata, “Shamad yaitu Dia yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak lalai menjaga sesuatu juga tidak ada sesuatu apa pun yang luput dari-Nya.” (Majma’ al-Bayān, jld. 10, hlm. 861; Kitāb al-Tawhīd, hlm. 90).

Tadabur

1. Pada hemat Allamah Thabathaba’i, makna asli kata shamad yaitu sesuatu teratas yang padanya semua kebutuhan orang tercukupi dan, mengingat Allah pencipta segala sesuatu, setiap sesuatu akan menuju Allah untuk tercukupi kebutuhannya. Maka, shamad yaitu tujuan akhir dan maksud utama semua makhluk untuk memenuhi kebutuhan mereka. Atas dasar itu, ayat ini terkait erat dengan ayat sebelumnya, dimana dua kata ahad (esa) dan shamad (tempat bergantung dan sumber kecukupan) secara berurutan mendeskripsikan Allah baik pada tingkatan esensi maupun pada tingkatan tindakan.

2. Jika shamad bermakna sesuatu yang penuh, padat dan tak bercelah juga tak kosong, maka ayat ini berarti bahwa Allah tidak butuh sama sekali kepada apa pun selain-Nya; tidak ada kekosongan sehingga dipenuhi oleh selain-Nya. Atas dasar ini, ayat ini berkaitan erat dengan ayat setelahnya. Bahkan ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sampai akhir surah. Yakni, Allah tidak melahirkan, tidak dilahirkan, dan tidak ada yang setara bagi-Nya adalah uraian dan tafsir atas shamad dalam ayat ini (Al-Mīzān, jld. 20, hlm. 672).

3. Berdasarkan kaidah bahasa validitas penggunaan satu kata dengan lebih dari satu makna, akan lebih tepat bila kata shamad ini juga dipahami dengan dua makna. Maka, shamad yaitu Realitas Tertinggi yang sama sekali tidak ada kebutuhan dan kebergantungan apa pun pada diri-Nya, dan shamad juga berarti Realitas yang merupakan sumber keberadaan dan kesempurnaan segala sesuatu; pemenuhan semua kebutuhan hanya tertuju dan terealisasi pada-Nya. Oleh karena itu, sekali lagi, ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya dan ayat-ayat setelahnya.

4. Menarik juga untuk diamati mengapa, dalam ayat ini, kata shamad dinyatakan awal al (alif-lam) sebagai partikel definisi menjadi al-shamad, sementara di ayat sebelumnya kata ahaddinyatakan tanpa partikel al, padahal keduanya sama-sama bertempat sebagai predikat. Ya, walaupun Allah dialah Tuhan yang tidak membutuhkan semua dan semua butuh kepadanya, akan tetapi secara logis tidak menafikan pemahaman bahwa selain Tuhan juga memiliki atribut-atribut ini (tidak bergantung pada semua dan semua bergantung padanya). Karena itu, dengan membubuhkan presiks al sebagai partikel definisi pada predikat shamad untuk Allah, maka predikat dan sifat ini hanya berlaku pada Tuhan. Sementara kata ahad di ayat sebelumnya dengan sendirinya tidak menyisakan peluang apa pun bagi selainnya untuk diasumsikan sebagai yang kedua bagi-Nya sehingga, karena itu, tidak dibutuhkan partikel pendefinisian Tuhan sebagai satu-satunya Tuhan (Al-Mīzān, hlm. 20, hlm. 388).

5. Lalu, kenapa pula dalam ayat ini kata ‘Allah’ kembali terulang, padahal di ayat sebelumnya kata Allah sudah dinyatakan; kenapa tidak difirmankan, misalnya, “Dialah tempat bergantung”. Tampaknya, masing-masing dari dua ayat ini sebagai dua statemen dan proposisi sudah cukup untuk mendeskripsikan Allah. Yakni, untuk memperkenalkan Allah, kita cukup mengetahui bahwa Allah adalah esa, atau Allah adalah tempat bergantung (Al-Mīzān, jld. 20, hlm. 388). Penjelasan ini dapat diamati pula dalam hadis pertama.

6. Seorang muslim yang percaya bahwa Allah adalah shamad ‘tempat bergantung’ tentu menyadari bahwa Dia adalah Realitas yang penuh sempurna, tanpa kekosongan dan celah kekurangan apa pun; Dia Tuan yang segala sesuatu kembali kepada-Nya dan ketuanannya tidak akan pernah lenyap; Dia adalah Realitas Tertinggi dan Mahakaya hingga tidak menyisakan celah apa pun bagi selain-Nya sebagai yang kedua dan sekutu bagi-Nya; Dia tak kenal lelah menjaga segala sesuatu dan tidak ada segala sesuatu pun yang lepas dari jangkauan-Nya. Secara singkat, Dia tempat berlindung yang tidak ada perlindungan apa pun diatasnya; semua tindakan dan peristiwa berada di tangan-Nya, dan setiap kekuatan dan kekuasaan di alam ini hanya bekerja di bawah pengawasan-Nya.

7. Muslim dengan iman dan kepercayaan ini sudah barang tentu tidak takut ataupun gentar menghadapi kekuatan dan ancaman dari pihak mana pun. Banyak pemerintahan yang bergantung pada negara-negara yang disebut kuat hingga mereka kehilangan kemandirian, kemerdekaan dan independensi bangsa. Padahal, semua negara dan rezim ini pijakan-pijakan yang rapuh. Pijakan yang tokoh dan sandaran yang tangguh itulah Allah tempat bergantung. Sudah semestinya setiap bangsa Muslim agar senantiasa mencurahkan fokus hanya kepada Allah, tidak berharap pada negara-negara itu. Kekuatan Allah di atas segala kekuatan. Sejarah awal Islam bersama Nabi saw. Dan umat Islam telah membuktikan ini dan umat berikutnya akan membuktikan lembali. Tidak sepatutnya bangsa Muslim merasa lemah dan inferior di hadapan kekuatan mana pun selama percaya sepenuhnya bahwa Allah swt. bersama mereka.

[arabic-font]لَمْ يَلِدْ ۙ وَلَمْ يُوْلَدْ[/arabic-font]

“Dia tidak melahirkan juga Dia tidak dilahirkan.”
(QS. Al-Ikhlas [112]: 3)

Abstrak

  • Relasi ayat dengan asas Tauhid dan Kesatuan Ada (wahdat al-wujud)
  • Bukan hulul juga bukan itiihad
  • Mengapa kalangan ahli Fiqih menghukum kafir orang yang percaya Kesatuan Ada
  • Apa gunanya dan pengaruhnya percaya pada Allah tidak melahirkan juga tidak dilahirkan?
  • Kenapa orang yang mengaku beriman masih berbuat bahkan yang lebih buruk dari perbuatan orang kafir?
  • Kenapa diungkapkan “Dia tidak dilahirkan”? Kenapa tidak difirmankan “Dia tidak diciptakan”?

Hadis

1. Diriwayatkan oleh Ammar bin Jaham dari Abdullah bin Hayy bahwa ia pernah mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thali bra. berkata, “Barangsiapa membaca surah al-Ikhlas sebanyak sepuluh kali setelah shalat Subuh, maka pada hari itu ia tidak akan dibuntuti dosa sekalipun setan telah berusaha sehabis-habisnya” (Tsawāb al-A’māl wa Iqāb al-A’māl, hlm. 129).

2. Dalam pidatonya di kota Kufah, Imam Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan, “Dia Yang Mahasuci tidak dilahirkan sehingga ada yang menyamai-Nya dalam kehebatan, Dia juga tidak melahirkan sehingga Dia menjadi pemilik ahli waris dan penghancur, Dia tidak didahului waktu dan tempo apa pun, demikian tambahan juga kekurangan tidak menyentuhnya” (Nahj al-Balāghah, pidato no. 182).

Baca Juga :  QS. al-Ikhlas [112]: ayat 3; (2) Wahdat al-Wujud dan Komitmen Beragama

3. Imam Ja’far al-Shadiq menyampaikan hadis dari ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir, bahwa warga Bashrah menulis surat kepada Imam Husain untuk menanyakan makna al-shamad. Maka ia membalas surat kepada mereka, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. ‘Amma ba’du. Janganlah kalian salah menyelami al-Quran, janganlah berdebat tentangnya, jangan pula berbincang tentangnya tanpa pengetahuan. Sungguh aku telah mendengar datuknya, Rasulullah saw., bersabda, ‘Barangsiapa berbicara tentang al-Quran tanpa pengetahuan, maka persiapkanlah tempatnya di neraka.’ Dan sesungguhnya Allah swt. telah menafsirkan al-shamad dan Dia berfirman, “Allah Esa, Allah Tempat-bergantung.” Kemudian Dia menafsirkannya dan berfirman, “Dia tidak melahirkan juga Dia tidak dilahirkan. Dan tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya.” “Dia tidak melahirkan” yaitu tidak ada yang keluar dari-Nya sesuatu yang kasar apa pun seperti anak dan hal-hal kasar lainnya yang keluar dari makhluk-makhluk, juga tidak sesuatu yang halus apa pun seperti jiwa, juga tidak berasal dari-Nya keadaan-keadaan seperti kantuk, tidur, pikiran, sumpek, sedih, bahagia, tawa, tangis, takut, harap dan puas, kecewa, lapar dan kenyang; Allah mahasuci dari keadaan dimana ada keluar dari-Nya dan sesuatu yang kasar dan yang halus terlahir dari-Nya. “Juga Dia tidak dilahirkan” yakni Dia tidak terlahirkan dari sesuatu apa pun, dan Dia tidak keluar dari sesuatu apa pun sebagaimana keluarnya hal-hal kasar dari anasirnya seperti sesuatu dari sesuatu, hewan dari hewan, tumbuhan dari tanah, air dari sumber, dan buah dari pohon. Dia juga tidak seperti keluarnya hal-hal halus dari pusatnya seperti penglihatan dari mata, pendengaran dari telinga, penciuman dari hidung, pencicipan dari mulut, perkataan dari lidah, pengetahuan dan pemilahan dari hati, dan api dari batu. Tidak demikian. Tetapi Dialah Allah tempat bergantung yang tidak sesuatu apa pun, tidak dalam sesuatu apa pun, juga tidak di atas sesuatu apa pun. Dia pencipta-baru segala sesuatu dan pencipta mereka semua, pewujud segala sesuatu dengan kuasa-Nya. Segala yang diciptakan-Nya akan musnah karena kemusnahan dengan ingin-Nya, dan akan tetap ada apa yang telah diciptakan-Nya karena ketetap-adaan dengan pengetahuan-Nya. Maka, itulah Allah tempat-bergantung yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan—Mahatahu yang-gaib dan yang-tampak, juga mahabesar dan mahatinggi—dan tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya” (Al-Tawhīd, hlm. 91).

Tadabur

1. Ayat ini dan ayat berikutnya (ayat terakhir dari surah) menyatakan makna negatif dari doktrin Tauhid yang menegaskan dan menyempurnakan dua ayat sebelumnya yang mengandung doktrin Tauhid dengan makna afirmatifnya. Ini artinya, boleh jadi ada konsep tauhid dalam suatu ajaran/agama dengan tetap mengklaim ada yang setara dengan Allah atau punya hubungan lahir-melahirkan. Dengan dua ayat negative di akhir surah ini, Alquran membantah konsep tauhid seperti ini dan penganutnya masih belum memurnikan keesaan Allah sebagaimana mesti dan ada-Nya.

Ayat ini senafas dengan Kalimat Tauhid, La ilaha illa Allah, Tidak ada tuhan kecuali Allah. Dalam kalimat ini terdapat negasi (tidak ada tuhan) dan afirmasi (kecuali Allah). Hasil perkalian negasi dan afirmasi ini ialah pembatasan eksklusif (al-hashr) bahwa yang ada hanyalah Allah, adapun selain Allah—entah itu disebut tuhan apalagi selain tuhan—pada hakikatnya adalah tiada dan ketiadaan.


Imam Ja’far al-Shadiq bertanya kepada Imam Abu Hanifah, “Apakah engkau tahu suatu kalimat yang yang diawali dengan kekafiran dan diakhiri dengan keimanan?” “Aku tidak tahu”, jawab Imam Abu Hanifah. Ibnu Abi Laila yang turut hadir bertanya, “Lalu apa kalimat itu?” Imam Ja’far menjawab, “Yaitu perkataan: La ilaha illa Allah (tidak ada tuhan kecuali Allah).”

(al-Thabarsi, Al-Ihtijaj, hlm. 358)

2. Ayat ini merupakan salah satu ilmu tauhid yang paling penting, namun hanya karena kurang direnungi, lantas tampak biasa-biasa saja. Ayat ini menjelaskan hubungan antara Allah swt. dan alam; hubungan yang kerap menjadi pusat kesalahpahaman dan kerancuan seputar masalah-masalah ketuhanan. Misalnya, apakah Allah berada di dalam alam ataukah di luar alam? Pertanyaan ini tampak serius bila dipertimbangkan pula kata al-shamad ayat sebelumnya, yakni jika Allah meliput segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang kosong dari keberadaan-Nya, kita dan alam ini dimana? Lalu bagaimana kita memaknai kepenciptaan Allah?

3. Jawabannya, relasi antara Tuhan dan selain Tuhan bukan semacam kelahiran dan pelahiran. Sebagaimana dalam riwayat ketiga, Tuhan tidak muncul dari sesuatu, juga alam tidak muncul dari Tuhan. Yakni, tidak ada keterpisahan apa dari siapa. Di alam keberadaan, Allah tidak memiliki tandingan. Dia esa yaitu satu yang mustahil diasumsikan ada yang kedua selain Dia. Inilah doktrin yang lazim dikenal dengan Kesatuan Ada (wahdat al-wujud). “Segala sesuatu masih sedikit dibanding dengan-Nya // hanya dengan ada-Nya semua menyandang ada.” Doktrin ini tidak menafikan kenyataan semua selain Tuhan, atau mengakui mereka sebagai bagian dari Tuhan. Doktrin ini menerangkan bahwa Allah swt. senantiasa bersama segala sesuatu, akan tetapi tidak berada di dalam mereka, dan Dia selain segala sesuatu, akan tetapi tidak terpisah dari mereka. Shamad yaitu Allah senyatanya mahatinggi dan mahasuci dari segala sesuatu. semua bergantung pada-Nya. Sebaliknya, Dia sama sekali tidak bergantung pada selain-Nya.

4. Sebagian fuqaha menghukumi kafir orang yang percaya pada doktrin Kesatuan Ada. Hukum ini dapat dibenarkan bila doktrin ini sama dengan panteisme, yaitu seseorang percaya bahwa Allah adalah himpunan segala sesuatu atau Allah adalah segala sesuatu. doktrin dengan pengertian seperti ini tidak ada hubungannya dengan ajaran al-Quran. Kitab suci terakhir ini secara cermat mengajakan kehadiran sepenuhnya Allah di alam keberadaan sekaligus menegasikan segala bentuk keterbatasan dari-Nya. Dengan kata lain, Alquran menyucikan Allah swt. dari segala macam kebercampuran dengan makhluk, entah dalam bentuk hulul (bertempat pada) ataupun ittihad (menyatu dengan).

5. Apa gunanya dan apa pengaruhnya percaya atau tidaknya kita pada ayat “Dia tidak melahirkan juga Dia tidak dilahirkan”? Ya, manusia membentuk kehidupannya berdasarkan pola pemikiran dan kepercayaannya. Semua perilaku dan keputusan kita terkait diri sendiri ataupun orang lain berakar dari pemikiran dan kepercayaan kita sendiri. Maka, pertanyaan di atas tadi cukup jelas jawabannya.

6. Yang perlu direnungkan lebih lanjut ialah: kenapa sebagian orang yang mengaku percaya Allah swt. hidup dan berbuat hal-hal yang justru lebih buruk dari sebagian orang kafir yang tidak percaya Allah? Salah satu penyebab kepercayaan dan iman pada Allah swt. tidak berpengaruh pada hidup kita ialah tidak mengenal-Nya dengan benar dan, yang terpenting di antaranya, ketidakpahaman kita tentang ayat “Dia tidak melahirkan juga Dia tidak dilahirkan”.

7. Tampak tidak begitu penting tatkala ayat ini dipahami dengan persepsi umum tentang kelahiran, peranakan dan persalinan. Beda halnya manakala kita memahaminya sebagai hubungan Allah dan makhluk/alam dengan ketelitian intelektual, akan kita temukan betapa persoalan hidup kita berakar dari tak bernilainya keberagamaan dan tak berkualitasnya cara kita beragama. Kita kurang menganggap penting hubungan Allah swt. dengan alam; paling maksimal, kita mengenal-Nya hanya sebagai realitas yang sejajar di samping realitas yang lain dimana dia berada di luar alam dan sebab-sebab yang diciptakan-Nya. Dengan pemahaman ini, maka wajar bila kita lantas menganggap segala faktor dan sarana pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan kita sebagai penentu sepenuhnya. Anggapan ini tidak beda dengan kata-kata orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (QS. al-Maidah [5]: 64).

8. Kalau memang kita percaya Tuhan bukan di luar alam; tidak datang dari suatu tempat (tidak dilahirkan) juga tidak ada satu pun makhluk yang terpisah dari-Nya (tidak melahirkan) sehingga lepas dari-Nya dan tidak bisa berjumpa dengan-Nya, tentu kita harus beriman bahwa Dia hadir di alam, tetapi bukan kehadiran yang beraroma syirik dimana selain Allah juga diperhitungkan pengaruhnya, tetapi kehadiran mahatinggi yang tidak menyisakan celah ketiadaan di alam ini (al-shamad). Jika seperti ini kita percaya pada Allah, apakah kita akan atau masih bermaksiat dan berbuat buruk di tengah aula kehadiran-Nya?! Dan apakah masih terbetik menggantungkan harapan pada selain Allah?! (QS. al-Zumar [39]: 36). Apakah mungkin orang yang membaca surah al-Ikhlas yang pendek ini tidak berubah pola hidupnya dan masih saja berbuat dosa dan keburukan?!

9. Kenapa diungkapkan “Dia tidak dilahirkan”? Kenapa tidak difirmankan “Dia tidak diciptakan”? Agaknya, ayat ini hendak menekankan negasi apa pun bentuk kelahiran dan keterpisahan. Pengetahuan kita bahwa Allah swt. tidak diciptakan adalah semata-mata informasi tentang Allah. Namun, keyakinan kita bahwa Allah swt. tidak memiliki apa pun bentuk kelahiran dan keberasalan dari sesuatu yang lain merupakan keimanan yang membuat seseorang memandang amat penting kehadiran Allah di dunia dan dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, dua ungkapan: “tidak melahirkan” dan “tidak dilahirkan”, membentuk satu doktrin al-Quran yang mengajari kita agar mencapai Allah swt. dan membuka kehadirannya dalam jantung hidup kita.

[arabic-font]وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ[/arabic-font]


“Dan tidak ada satu pun setara dengan-Nya”

(QS. Al-Ikhlas [112]: 4)

Studi Kebahasaan

1. Kufuw pada asalnya adalah kufw, sama-sama berarti setara, sebanding, sepasang, yakni kesamaan dua sesuatu (Mu’jam Maqayis Al-Lughah, jld. 5, hlm. 189). Kata ini digunakan mengenai dua hal yang sama dalam kedudukan dan nilainya (Mufradat Alfazd al-Qur’an, hlm. 718).

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Rum [30]: ayat 41 (Bagian Pertama)

2. Ayat di atas diterjemahkan secara agak bebas. Namun secara harfiah, ayat ini berbunyi demikian, “Dan tidak ada bagi-Nya yang setara satu pun”. Dalam harfiah ayat ini terdapat kata yang ditempatkan lebih dahulu: (a) kufuw (yang setara) yang merupakan predikat untuk ahad (satu) sebagai nomina kata kerja penghubung kana (terdapat); (b) lahu (bagi-Nya) yang merupakan partikel bagi kufuw. Dalam kondisi lazim, ayat ini umumnya berstruktur demikian, “wa lam yakun ahadun kufuwan lahu”, dan terjemahan ayat di atas mengikuti struktur yang lazim ini. Zamakhsyari, penulis tafsir al-Kasysyaf, mengatakan bahwa ayat dengan struktur di atas merupakan model keindahan tertinggi dalam bahasa Arab; dalam struktur ini justru terdapat penekanan khusus pada partikel lahu yang menunjuk pada Allah sebagai fokus keseluruhan surah al-Ikhlas. Seolah-olah ayat ini juga menyatakan bahwa Allah Dialah yang tidak disetarai oleh apa pun.

Hadis

1. Fatah bin Yazid al-Jurjani meriwayatkan, “Dalam perjalanan dari Mekkah ke Khurasan, aku berbincang-bincang dengan Imam Ali al-Ridha. Di antaranya, ia mengatakan, “Pencipta tidak tergambarkan kecuali dengan apa yang ia gambarkan diri-Nya sendiri. Bagaimana akan tergambar Dia yang semua indra lemah mengetahui-Nya, akal [lemah] menjangkau-Nya, lintasan hati [lemah] membatasinya, dan mata-mata [lemah] meliput-Nya. Mahatinggi Dia dari apa yang disifati oleh para penyifat, mahaluhur Dia dari yang diungkapkan oleh para pengungkap. Dia jauh dalam kedekatan-Nya dan Dia dekat dalam kejauhan-Nya. Maka, dalam kejauhan-Nya, dia dekat, dan dalam kedekatan-Nya, Dia jauh. Dia membagaimanakan “bagaimana” sehingga tidak bisa dikatakan bagaimana tentang-Nya. Dia mendimanakan “di mana” sehingga tidak bisa dikatakan di manakah tentang-Nya. Dialah pencipta-awal kebagaimanaan dan kedimanaan. Hai Fatah! Setiap benda itu diasupi makanan kecuali Pencipta Pemberi rezeki. Sesungguhnya dia membendakan beda-benda, dan Dia sendiri bukanlah benda, bukan pula bentuk. Dia tidak terbagi-bagi, tidak terbatas, tidak bertambah, tidak berkurang. Dia bebas-murni dari esensi yang tersusun dalam esensi yang membendakannya. Dialah Mahalembut, Mahatahu, Maha Mendengar, Maha Melihat, Satu dan Tunggal, dan tempat bergantung. Dia tidak melahirkan juga Dia tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya. Dialah pencipta segala sesuatu, pembenda segala benda, membentuk segala bentuk. Seandainya Dia sebagaimana yang diyakini orang-orang musyabbihah (menyama-rupakan Tuhan dengan makhluk), niscaya Pencipta tidak dikenal [beda] dari makhluk, Pemberi rezeki dari yang diberi rezeki, Pencipta-awal dari yang tercipta. Akan tetapi, Dia adalah Pencipta. Sungguh yang membedakannya, membentuknya dan mensesuatukannya berbedalah dengannya, karena tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan-Nya (Al-Tawhid, hlm. 61).

2. Imam Ja’far al-Shadiq ditanya tentang tauhid. Ia mengatakan, “Setiap orang yang membayangkan Allah dengan bentuk dalam-pikiran, ia telah muysrik. Setiap orang yang mengira telah mengenal Allah dengan nama tanpa makna, dia telah musyrik. Setiap orang yang mengira telah mengenal Allah dengan nama tanpa makna, ia telah mengakui kekososongan kata-katanya, karena nama adalah sesuatu yang baru (sebelumnya tidak ada barulah menjadi ada). Setiap orang yang mengira telah menyembah nama sekaligus makna, ia telah menempatkan sekutu bagi Allah. Setiap orang yang mengira telah menyembah makna dengan penjelasan dalam-pikiran, bukan dengan pengetahuan, ia seperti mencari Allah yang tiada ada. Barangsiapa yang mengira telah menyembah sifat sekaligus penyandangnya, ia telah mengingkari tauhid, karena sifat bukanlah penyandang. Barangsiapa yang mengira telah mengenal penyandang yang dikaitkan dengan sifat, ia telah membesarkan sesuatu yang kecil. Mereka semua ini sesungguhnya belum mengenal Allah sebagaimana mestinya.” Lalu ia ditanya, “Jika demikian, bagaimana bertauhid?” Ia menjawab, “Jalan menelaah tetap terbuka, dan jalan keluar dari masalah ini juga terbuka, yaitu mengenal diri yang tampak dan hadir sebelum sifat-Nya, dan mengenal diri yang gaib itulah yang mendahului diri-Nya sendiri” (Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 326-328).

3. Perkataan ini berarti bahwa pengetahuan langsung seseorang yang berada dalam kehadiran Allah pastilah lebih dahulu daripada pengetahuannya tentang Allah melalui pengetahuan konseptual. Namun, realitas yang gaib dan tak terlihat oleh manusia, tentu lebih dahulu, yakni pertama-tama mengenalnya melalui pemahaman pikiran tentang-Nya, dan dengan pengetahuan dan pemahaman ini ia mengenal Allah. Akan tetapi, Allah tampak dan hadir di mana saja sehingga pengetahuan tentang-Nya tidak dimulai dari pemahaman pikiran.

Tadabur

1. Surah al-Ikhlas, secara umum, berbicara tentang Allah swt. Dalam ayat ini, Allah diperkenalkan sebagai Realitas yang tidak ada yang setara dan sebanding dengan-Nya. Pemerkenalan dan deskripsi ini jatuh di akhir surah, yakni dalam ayat ini, menandakan bahwa deskripsi ayat ini merupakan langkah dan upaya terakhir dalam artian: pengetahuan manusia akan Allah sebagai Realitas yang tak bersetara bukanlah upaya awal mengenal Allah, tetapi merupakan capaian akhir dari pengetahuan yang mungkin dijangkau manusia tentang Allah.

2. Pengetahuan dan deskripsi itu bukan langkah dan upaya awal karena jika kita memulai deskripsi Allah dari negasi atas keserupaan dan kesetaraannya dengan selain-Nya, maka sejak awal kita sudah pesimis mengenal Allah dan dapat berhubungan dengan-Nya, karena pikiran kita lazimnya memulai bekerja dan mengetahui segala hal dengan keserupaan dan afirmasi.

3. Adapun pengetahuan dan deskripsi negatif tentang Allah itu merupakan langkah akhir dan capaian puncak dari upaya kita menjangkau realitas-Nya, karena Allah adalah Realitas Absolut dimana Dia tidak memiliki sekutu, setara dan sebanding dengan diri-Nya sebagaimana dalam riwayat pertama. Pikiran akan menganggap tuntas pengetahuannya dengan penyerupaan dan afirmasi, padahal gerak dan upaya pengetahuan menuju Realitas Absolut tidak ada tepi dan akhirnya.

4. Jika Allah tidak memiliki yang setara dan seperti diri-Nya, lalu bagaimana kita dapat mengenal-Nya? Ini pertanyaan filosofis yang, dalam riwayat kedua, Imam Ja’far al-Shadiq sedikit banyaknya telah menguraikan jawabannya. Yaitu, selama kita berupaya mengenal Allah dalam kerangka pikiran, pembuktian aklani, dan pemahaman rasional, maka dapat dipastikan bahwa Allah di atas segala deskripsi dan keterangan, “Allahu akbar: Allah Mahabesar dari segala penyifatan tentang diri-Nya.” Tetapi Allah swt. senyatanya juga hadir. Relasi Allah dengan makhluk bukan relasi dua sesuatu yang sama-sama asing dan berbeda. Pertama-tama, kita menemukan Realitas Agung itu hadir dan nyata, lalu pikiran kita mengonseptualisasikannya. Sekalipun konseptualisasi itu tidak dapat meliput-Nya, tetapi itu bukan berarti kita dengan daya konseptualisasi, yakni akal pikiran, tidak mampu sama sekali mengenalnya. Tidak demikian. Kita dengan daya pikir kita dapat mengenal Allah sampai batas tertentu.

5. Tidak ada yang setara dengan Allah yakni Dia juga tidak serupa dengan manusia. Di banyak ajaran dan bahkan penganut agama, Tuhan diserupakan sama dengan manusia (antropomorfisme). Sebagian filosof agama pada batas tertentu mempercayai Tuhan agama-agama Ibrahimian sebagai Tuhan Personal. Dalam tubuh umat Islam pun dapat dijumpai kepercayaan penyerupaan Allah dengan manusia, yaitu Musyabbihah dan Jahmiyyah dalam sejarah Kalam Islam. Namun ayat ini dengan tegas menolak segala bentuk deskripsi antropomorfistik dan penyerupaan Allah dengan makhluk. Dalam sejumlah riwayat kita diingatkan agar, sepanjang upaya mengenal Allah, kita tidak terjebak menempatkan Allah dan menurunkannya sekapasitas daya pikir kita. Dalam hadis masyhur kita dilarang oleh Nabi saw., “Janganlah berpikir tentang esensi Allah, tetapi pikirkanlah ciptaan Allah.” Menyerupakan Allah dengan makhluk sama halnya, sebagaimana dalam hadis, dengan semut, “Betapa semut yang kecil itu juga membayangkan Allah juga memiliki dua antena.”

6. Keimanan bahwa tidak ada sekutu dan setara dengan Allah merupakan pilar fundamental dalam keberagamaan. Manusia selalu berpijak pada kapasitas dan kemampuan dirinya. Dalam proses mengenali segala sesuatu, ia juga kerap menghadapi berbagai keterbatasan mereka yang membuat dirinya sulit untuk mengandalkan mereka sepenuhnya. Akan halnya mengenai Allah, ia tidak menghadapi keterbatasan selain keterbatasan diri sendiri. Dialah Realitas Absolut yang mengungguli segala sesuatu dan tidak ada sesuatu apa pun yang melampaui wujud-Nya.

7. Kerap kritik ini dikemukakan untuk mempertanyakan ketakterbatasan kuasa Allah swt.: jika Allah kuasa atas segala sesuatu, apakah dia mampu memasukkan bola bumi ke dalam telor tanpa bola bumi menjadi kecil juga telor menjadi besar?! Kritik ini sesungguhnya tidak menyoal kekuasaan absolut Allah. Kekuasaan Allah adalah mahabesar, maha absolut dan tak terbatas. Ketidakmungkinan memasukkan yang besar ke dalam yang kecil tidak merusak dan mencederai kekuasaan absolut Allah, tetapi hal itu tidak mungkin terjadi karena kelemahan yang kecil untuk menampung yang besar; bola bumi tidak punya kapasitas untuk berada di dalam telor yang kecil. Dan Allah memperlakukan bola bumi dan telor sesuai kapasitas dan realitas mereka masing-masing. Justru, memasukkan yang besar ke dalam yang kecil itu melanggar kebijaksanaan Allah dan menindas bola bumi juga telor. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya telor dipaksa untuk menampung bola bumi yang di luar kapasitasnya; hanya akan merusak kedua-duanya. Dan ini mustahil Allah lakukan, karena Dia Maha bijaksana dan kekuasaan-Nya bersama kebijaksanaan-Nya.

8. Imam Ja’far al-Shadiq pernah menghadapi kritik tadi dan menjawabnya dengan afirmatif, “Ya, Allah mampu melakukan itu. Dia mempu memasukkan semua gunung-gunung dan bintang-bintang ke dalam matamu, tanpa mereka itu menjadi kecil dan matamu menjadi besar” (al-Tawhid, hlm. 122). Ini mungkin terjadi dan senyatanya juga terjadi demikian, karena salah satunya bukanlah materi. Mata di sini bukan bola mata yang hanya seukuran kelopak mata di kepala, tetapi daya persepsi yang ada di mata. Daya penglihatan pada mata dapat menampung bentuk perseptual gunung, dan apa yang ditangkap oleh mata sama dengan gunung yang ada riil di luar.[hcf]

Share Page

Close