• LAINYA

FILSAFAT-SEJARAH–Judul lengkapnya, There is A God: How The World’s Most Notorious Atheist Changed His Mind: “Ada Tuhan: Bagaimana Ateis Paling Penting di Dunia Mengubah Pikirannya” (Flew, 2007). Dari judulnya saja sudah membuat heboh dua kalangan seteru sekaligus: teis dan ateis. Berikut ini sekelumit dari buku ini.

Pada awal debat publik di Universitas New York pada Mei 2004, salah satu filosof ateis paling populer di dunia, Antony Flew (1923–2010), memproklamasikan dirinya sekarang menerima keberadaan Tuhan (hlm. 41).

Beberapa pihak, terutama ateis, bingung, ada juga yang marah dan kesal. Tanggapan khas dari skeptis yang satu ini, “Bagi saya, kedengarannya seperti orang tua dihadapkan pada akhir hidup, lalu membuat upaya terakhir untuk menyelamatkan yang putus asa.”

Sulit ditepis kesan bahwa terstimoni Flew ini telah melepaskan gelombang shock keras yang mencekik tenggorokan dunia Ateisme! Fakta itu sekaligus menunjukkan seorang ateis bisa saja berubah pikiran. Merujuk kemenangan yang diklaim selama Global Atheist Convention baru-baru ini, tinjauan atas “pembelotan” Flew dari ateisme patut dilakukan.

Dalam karya There is a God ini, Flew menelusuri dalam sebuah buku kecil perjalanannya dari Ateisme remaja dan Marxisme ke Deisme. Di sini tampak jelas mengapa dia merasa perlu meninggalkan banyak pandangan yang sebelumnya dia ungkapkan dalam rangka mendukung Ateisme.

Memang, Flew melangkah lebih jauh dengan menyebut bukunya, God and Philosophy (Flew, 1966), sudah usang atau, dalam bahasanya, peninggalan sejarah! Dia mengakui bahwa dia berpendirian Ateisme terlalu cepat melalui satu isu teo-filosofis “Masalah Kejahatan terhadap Tuhan”. Ini mungkin bisa dimengerti mengingat apa yang dia alami saat remaja dalam kunjungan keluarga ke Nazi Jerman pra-Perang Dunia II.

Meskipun Flew menyimpang dari Metodisme masa kecilnya, dia ingat nasihat ayah teolognya untuk mengikuti jalan kebijaksanaan dan diktum etika intelektual Sokrates-Platon, “to follow the argument wherever it leads”, ikuti argumen ke manapun ia mengarah.

Baca Juga :  Cara-cara Logis Tuhan dalam Alquran Meyakinkan Ajaran-Nya; Karya Rosalind Ward Gwynne

Setelah membelot dari Ateisme jadi beriman, Flew merenung:

Meskipun saya telah melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda, saya masih memainkan permainan dengan semangat dan prinsip yang sama seperti sebelumnya (hlm. 65).

Reputasi Flew sebagai pemuka ateis dibangun oleh esainya yang pendek namun sangat berpengaruh luas, Theology and Falsification (Flew, 1950). Awalnya esai ini diajukan sebagai makalah untuk Oxford Socratic Society. Tujuannya adalah “memperjelas esensi klaim yang dibuat oleh orang beriman” (hlm. 43) dan “membumbui dialog hambar antara Positivisme Logis dan agama Kristen” (hlm. 44).

Lebih jauh, Flew mengakui bahwa “Asumsi orang ateis, paling banter, hanya merupakan titik awal metodologis, bukan kesimpulan akhir ontologis (hlm. 56).

Sementara Flew menyadari bahwa sains sendiri “tidak dapat menyediakan argumen untuk keberadaan Tuhan” (hlm. 155), dia sudah cukup lama percaya pada kaidah hukum bahwa tanggung jawab pembuktian terletak pada orang yang mengafirmasi sesuatu, bukan pada orang yang menegasikannya.

Oleh karena itu, Flew dulu percaya bahwa itu kewajiban rasional atas orang beriman untuk membuktikan keberadaan Tuhan (hlm. 69).

Di tahun-tahun terakhirnya, Flew sangat dipengaruhi oleh beberapa filosof Kristen, khususnya Alvin Plantinga asal Amerika yang menyatakan bahwa ada kepercayaan dasar (basic beliefs) seperti: teisme dan keberadaan Tuhan (hlm. 55).

Flew akhirnya menyimpulkan bahwa beban pembuktian sebenarnya ada di tangan para ateis (hlm. 56). Namun, jika Plantinga benar, maka banyak diskusi tentang pembuktian atas keberadaan Tuhan menjadi tidak relevan lagi.

Tidak berhenti sampai di situ. Seara berimbang Flew menyerang komunitas ateis. Tak tanggung tanggung, dia arahkan kritik terhadap ateis yang tak kalah populernya, Richard Dawkins. Ateis ini mengklaim bahwa Tuhan, jika Dia ada, pasti kompleks.

Dalam kritiknya, Flew mengajukan argumen bahwa Tuhan, pada kenyataannya, harus sederhana. Dia dengan tepat menunjukkan bahwa ateis tidak akan pernah mengklaim bahwa Tuhan adalah hipotesis ilmiah!

Baca Juga :  Indonesia dan Potensi Normalisasi Hubungan dengan Israel

Perubahan pikiran Flew juga sangat dipengaruhi oleh sains modern. Dalam kesadarannya, alam pasti mematuhi hukum, kehidupan cerdas itu ada dan alam ini tentu ada (hlm. 88–89). Flew menulis:

Para ilmuwan yang menunjuk Pikiran Tuhan (Mind of God) tidak hanya mengajukan serangkaian argumen …. melainkan mereka juga mengemukakan visi realitas yang muncul dari jantung konseptual sains modern dan mendesakkan dirinya pada pikiran rasional. Itu adalah visi yang, menurut saya, menarik dan tak terbantahkan (hlm. 112).

TUHAN ITU ADA
Flew mengidentifikasi empat masalah penting untuk penyelidikan lebih lanjut: (a) asal mula hukum alam, (b) bagaimana kehidupan berasal dari non-kehidupan, (c) bagaimana alam semesta muncul dan (d) apakah sesuatu datang dari ketiadaan? (hlm. 91).

Filosof Inggris ini mengacu energi nol, ide fluktuasi kuantum yang mungkin menjelaskan bagaimana alam semesta muncul dari ketiadaan (hlm. 142). Namun, saat ini, fisika hanya dapat melihat ke belakang, tetapi tidak benar-benar tepat pada t = 0,13,7 miliar tahun yang lalu.

Maka, fisika dan sains sesungguhnya abstain dan diam tentang “sebelum”. Sebaliknya, spekulasi tentang apa yang terjadi “sebelumnya” dalam hal apapun berada di wilayah metafisika, bukan sains.

Selama debat yang disebutkan di muka di Universitas New York dengan fisikawan/teolog Yahudi, Gerald Schroeder, dan filsuf Kristen Skotlandia, John Haldane, Schroeder berbicara tentang eksperimen dimana enam monyet dan sebuah komputer ditempatkan di dalam sangkar. Pada satu bulan terakhir, tidak ada satu kata pun dalam bahasa Inggris yang bisa diketik!

Schroeder kemudian menunjukkan ketidakmungkinan enam monyet tersebut dapat menghasilkan soneta Shakespeare secara kebetulan! Meskipun Flew menganggap baris argumen ini sangat persuasif, tampak aneh dengan kesimpulannya:

Jika suatu teorema tidak berhasil untuk satu soneta, maka tentu saja tidak masuk akal untuk menyarankan bahwa prestasi yang lebih rumit dari asal usul kehidupan dapat dicapai secara kebetulan (hlm. 78).

Baca Juga :  Filsafat Islam: Meninjau Peluang dan Tantangan Kontribusinya dalam Problematika Kemanusiaan

Biologi dan Genetika mengambarkan adalah bahwa itu bukanlah sekedar kebetulan, melainkan interaksi antara kebetulan dan kebutuhan. (Lihat, misalnya, Polkinghorne, 1986, hlm. 50-51.)

Bagaimanapun, argumen Schroeder tidak terlalu efektif. Mengapa? Karena kita tidak dapat memastikan tentang apa yang mungkin atau tidak mungkin tanpa bukti. Kenyataannya, kehidupan itu ada (dengan kemungkinan 100%!). Dan sains modern telah melengkapi kita dengan tingkat pemahaman yang kuat tentang sejarah kosmik dan evolusi kehidupan selama 13,7 miliar tahun terakhir.

Dalam diskusi tentang biologi molekuler, lengkap dengan kutipan dari ahli biologi terkenal yang mengaku tidak tahu tentang bagaimana kehidupan bisa muncul dari non-kehidupan, Flew menyimpulkan:

Satu-satunya penjelasan yang memuaskan untuk asal-mula kehidupan yang berakhir dan terarah, kehidupan seperti yang kita lihat di bumi berasal dari Pikiran Cerdas tanpa batas. Ini merupakan menjelasan atas munculnya kehidupan sebagai hasil dari suatu  Pikiran Cerdas (Pencipta).
Penjelasan ini cukup menyiratkan bahwa lompatan dari non-kehidupan ke kehidupan membutuhkan intervensi (kekuatan) khusus daripada melalui proses yang tertanam dalam tata alam, yakni intervensi Sang Pencipta (hlm. 132).

SAPERE AUDE!
Flew menunjukkan keberanian yang cukup besar dalam menarik kembali banyak dukungan sebelumnya untuk Ateisme. Pendirian etis ini merupakan penghargaan atas integritas intelektualnya. Pembelotan di akhir masa hidupnya membuktikan, untuk kesekian kalinya, akan kegigihan untuk terus mencari kepuasan intelektual dan kedamaian batin menemukan arah suara hati seperti ajaran sang ayah dari dua filosof pertama: Sokrates dan Platon.

Tentu patut disyukuri bahwa dia mengungkap banyak kelemahan dalam argumen yang digunakan oleh Ateis Baru. (Lihat kritik Varghese tentang Ateisme Baru dalam Lampiran A dari Ada Tuhan.) Daripada merasa menang, tantangan bagi kita orang beriman adalah untuk menjadi jelas tentang apa dan mengapa kita percaya.[Disadur dari John Pilbrow, Profesor Emeritus Fisika, Universitas Monash, dan Anggota ISCAST].

Share Page

Close