• LAINYA
Karikatur pemenang ke-3 di International Holocaust Cartoon Contes 2016

POLITIK-ANALISIS–Normalisasi hubungan sudah menjadi ideologi politik luar negeri Israel. Seperti  perempuan yang kuatir mempertanggungjawabkan bayinya lahir diam-diam tanpa kontrak, negara ini sejak awal mencetak sejarah keberadaannya berusaha sekuat tenaga dan bantuan besar dari negara-negara kuat dunia meyakinkan keabsahan kelahiran dirinya, utamanya, kepada negara-negara di kawasan.

Normalisasi, karena itu, senilai legitimasi bagi Israel dan pengakuan suatu negara atas legalitas eksistensinya. Mempertimbangkan normalisasi hubungan dengan Israel juga berarti hendak terlibat dalam menentukan ada-tidaknya negara ini. Dalam Filsafat Politik, sekuat apa pun suatu negara, kalau tidak ada pengakuan dan legitimasi dari yang lain, keberadaannya sama dengan ketiadaannya.

Sebaliknya, menolak proposal normalisasi berarti keberatan menerima eksistensi Israel, ragu-ragu mengakuinya sebagai negara-bayi yang sah lahir, dan tidak cukup puas dengan penjelasan Israel dan negara-negara Barat bahwa “sekelompok” Yahudi secara sah dan berhak mendirikan negara bernama Israel di tanah suatu bangsa dengan alasan: 6 juta orang Yahudi korban kejahatan Perang Dunia II. Alasan inilah yang kini dikenal dengan nama “Holocaust”.

Benarkah Yahudi itu korban kejahatan PD II? Meragukan pertanyaan ini sama dengan memperagakan anti-Semitisme, sebuah doktrin suci Israel di Barat yang mengharamkan sikap permusuhan, kebencian atau prasangka buruk terhadap Yahudi, termasuk terhadap agama, etnik, kelompok ras, individu hingga lembaga mereka.

Tidak keliru bila dubes Jerman, Ina Lepel, meresmikan museum Holocaust di Minahasa, Sulawesi Utara, pekan lalu (Kamis, 27/01) dengan mengungkapkan kekuatiran dan ketaksukaan, kalau tidak dikatakan kebencian, terhadap anti-Semitisme. Di masyarakat yang anti-Semitis, Holocaust hanyalah narasi, framing, mitos, teori konspirasi dan modus playing victim. Sebaliknya, upaya memamerkan dan mengadaptasikan Holocaust kepada masyarakat sebagai fakta yang diulang-ulang bisa meredam dan menetralisir kecenderungan anti-Semitisme.

Sekali lagi, benarkah Yahudi itu korban kejahatan PD II? Apakah Holocaust itu benar-benar terjadi? Israel dan Barat berusaha menghimpun aneka fakta dari berbagai dokumentasi PD II untuk meyakinkan Holocaust dan, selanjutnya, legitimasi eksistensinya kepada dunia. Untuk tujuan yang sama, mereka melakukan adaptasi dan pembiasaan warga dengan narasi Holocaust melalui segenap kemewahan media, kewenangan negara hingga fasilitas organisasi dunia yang didukung oleh negara-negara kuat.

Peringatan Hari Holocaust, gelar pameran dan pendirian museum Holocaust di Minahasa itu, seperti juga di negara lain, tidak kurang dari politik pembiasaan warga dan untuk tujuan tadi. Sebagai fasilitas publik, museum didirikan untuk diakses warga, dalam pidato dubes Jerman itu, sebagai “pembelajaran universal”.

Baca Juga :  Sejarah Negeri Palestina dan Israel dalam Alquran

Biarlah beberapa hasil investigasi independen sejumlah ahli dan bagaimana nasib mereka diadili hingga dijebloskan penjara di beberapa tetangga dubes Jerman itu, seperti Roger Garaudy di Perancis dan sejarawan sekaliber David Irving di Austria (Guardian, 20/02/2006). Tapi, di negara dubes itu sendiri, “pembelajaran universal” itu juga ternyata bisa diselenggarakan di sana dengan menghukum pakar penyangkal Holocaust sebagai kriminal. Setidaknya, ini yang dialami Ernst Zündel; dihukum 5 tahun penjara oleh pengadilan Jerman (CBC, 15/02/2007) setelah menjalani hukuman yang sama di Kanada.

Zündel bukan yang terakhir korban “pembelajaran universal”. Belum lama ini, dua saudara kandung asal Kanada, Monika Schaefer dan Alfred Schaefer, diseret ke pengadilan Munich. Dalam keterangan juru bicara pengadilan setempat, Florian Gliwitzky,  “Keduanya diduga telah menerbitkan klip video dimana mereka menyangkal genosida orang Yahudi dalam Holocaust selama Perang Dunia II,” (CBC News, 07/07/2018).

Monika Schaefer and Alfred Schaefer tersenyum di luar persidangan mereka (CBC News)

Tumpukan perkara dan praktik intoleransi negara di Jerman ini tentu saja kian mempersulit publik Indonesia memahami pidato sambutan dubesnya untuk Indonesia, Ina Lepel, yang hendak memerangi segala bentuk intoleransi melalui Holocaust selain hipokrasi atau cicilan beban sejarah atau justru “pembodohan universal”.

Kenapa museum dan kenapa untuk warga? Isu Palestina-Israel itu krusial bagi suatu negara karena, di antaranya, di negara-negara demokratis, isu ini pada umumnya menjadi indikator harmoni antara warga dan pemerintah. Warga pendukung Palestina biasanya lebih cepat mereaksi dan aktif daripada pemerintahnya. Dan pemerintah mendesain sikap politiknya secara reaktif terhadap isu tersebut dengan cenderung menyesuaikan dengan arah opini positif dan negatif warga terhadap Palestina dan Israel.

Karena itu, warga yang sudah diadaptasi dan “berhasil dijinakkan” dengan narasi Israel sejenis Holocaust akan susut opini negatif mereka terhadap Israel sekaligus meningkatkan neraca legitimasi negara zionis ini, dan membuka kemungkinan lebih banyak untuk pemerintah, termasuk langkah-langkah yang mengarah normalisasi hubungan dengan Israel.

Sebaliknya, warga yang tidak percaya atau menganggap Holocaust sebagai mitos politik akan menjadi tekanan yang mempersulit pemerintah untuk sekedar coba-coba berhubungan dengan Israel. Sudah bukan rahasia lagi bila banyak negara Muslim di Timur Tengah bahkan di Asia Tenggara membuka hubungan secara diam-diam seperti di sektor perdagangan dan militer.

Sekali lagi, itu pada umumnya di negara demokratis. Di negara-negara dengan indikator rendah demokrasi, pembiasaan warga itu tidak perlu ditempuh. Setidaknya, itu dapat diamati dari normalisasi hubungan dengan Israel oleh sejumlah negara Islam di Timur Tengah sejak tahun lalu. Di negara itu justru sebaliknya; kebijakan politik dulu, baru pembiasaan warga, normalisasi dulu, baru membuat museum.

Baca Juga :  Ontologi Manusia (1): Menjelajahi Realitas Manusia

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara demokratis, di negara ini sulit memperkirakan cara negara-negara tadi akan ditempuh. Yang tampak paling mungkin ialah pembiasaan warga untuk kemudian menjadi referensi pembuatan kebijakan politik. Warga yang terbiasa dengan narasi Holocaust dan menganggapnya sebagai fakta yang tak lagi tabu akan memaklumi dan memfasilitasi pemerintah yang berkuasa untuk menjajaki kemungkinan normalisasi.

Peresmian Museum Holocaust -youtube Official iNews 02/02/2022

Faktanya, pemerintah yang menempuh cara sebaliknya secara aktif dan transparan justru tidak berhasil mengubah opini publik, gagal jadi referensi untuk pembiasaan warga dan normalisasi hubungan dengan Israel. Bila pejabat setingkat kepala pemerintah saja demikian gagal, bagaimana dengan tokoh publik sekelas organisasi massa.

Pada garis besarnya, sikap negara dan bangsa Indonesia mengenai isu Palestina-Israel sudah jelas, tegas dan cukup harmonis. Indonesia termasuk negara yang rajin menyatakan dukungannya untuk Palestina, tidak sesekali juga mengecam dan mendesak Israel. Kalau tidak mengadakan, Indonesia nyaris tidak ketinggalan menghadari forum internasional seperti konferensi dua-tiga tahunan Dukung Resistensi Palestina seperti di Iran.

Di akar rumput, nyaris tidak ada polemik berarti. Baru belakangan, isu ini menggenjot ketegangan dan debat panas secara terbuka setelah ada arus bergerak membela zionis Israel secara terang-terangan. Dan peresmian museum Holocaust dapat dibaca sebagai bagian paling mutakhir dari arus ini.

Belum lama ini, aksi dukung Israel masih dirasa benar-benar tabu dan dihindari. Kini tampaknya mulai kehilangan kesan tabu itu; dukungan untuk Israel dan kritik terhadap Palestina dinyatakan secara terang-terangan dan begitu santai.

Pendirian dan peresmian museum Holocaust dan sambutan antusias dari pejabat publik dua negara: Indonesia dan Jerman, negara kuat Eropa pencipta Holocaust, merupakan babak baru pembiasaan warga: dari netralisasi (tidak tabu) ke penetrasi opini Israel ke warga. Uniknya, ini dilakukan tidak oleh Israel sendiri dengan hasil yang akan mereka nikmati sekaligus menyisakan ekses buruk di dalam negeri, setidaknya ketegangan di antara publik tetap menggenang kental.

Betapapun tensi ketegangan itu memuncak dan apa pun polemik seputar isu Palestina-Isreal itu mendidih, pemerintah kerap ditunggu publik untuk menyatakan konsisteansinya seketat konsistensi kepala pemerintahan, Jokowi, di berbagai forum dan pertemuan hingga dalam pidato virtualnya di PBB (23/09/2020). Mendukung “kemerdekaan” Palestina dan menolak “penjajahan” Israel (07/03/2016) sudah senafas opini publik terhadap Israel sebagai penjajah dan sesuai pembukaan konstitusi, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”.

Setegas dan selugasnya, komitmen itu kembali disampaikan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, di sidang Majelis Umum PBB, New York (20/05/2021), “Konflik ini bersifat asimetris antara Israel, negara penjajah dan penindas bangsa, Palestina, yang diduduki yang terus-menerus ditindas. Penjajahan adalah inti masalahnya.”

Baca Juga :  Palestina dalam Alquran (1): Minimal 10 Kali Disinggung Alquran
Karya Jitet Kustana yang meraih karikatur terbaik di International Cartoon Festival of Alquds Day di Iran–id.abna24.com-31/08/2018

Namun juga tidak berlebihan bila pembiaran pemerintah atas tetap berdirinya museum itu lantas dikuatirkan akan membuka kecurigaan dan kemungkinan ada “main mata” bahwa pendirian museum Holocaust itu dan antusiasme pejabat tinggi setingkat duta besar Jerman bukan tanpa pertimbangan politis: setidaknya karena ada peluang dan lampu kuning dari sejawatnya di level yang sama di dalam negeri. Sambutan sedemikian hangat dari jajaran tinggi pejabat publik di pemerintah setempat hanya menyumbang lonjakan kemungkinan tersebut.

Skor 2-0 untuk normalisasi. Publik pembela Palestina dan aksi-aksi dukung dari berbagai kalangan Muslim dalam negeri tampaknya kurang berpengaruh kalau dengan begitu-begitu saja. Normalisasi sudah ditempuh dengan netralisasi dan ketidaktabuan, kini sudah meningkat ke penetrasi dan penggeseran opini negatif terhadap Israel dengan membangun opini positif.

Satu diam dari satu warga sudah merupakan kontribusi bagi progres normalisasi. Masabodoh dan acuh tak acuh dari warga serta pemerintah hanya membuat skor semakin besar jaraknya. Jika tidak ada fasilitas pemerintah, warga bisa berinisiasi mengadakan festival tahunan karikatur Holocaust atau museum Holocaust yang sama berbasis hasil investigasi para pakar di negara-negara Eropa sebagai lokus peristiwa yang dipropagandakan itu.

Betapapun, Holocaust ini jadi penting dan dipentingkan karena ada kaitan langsung dengan normalisasi hubungan dan legitimasi Israel. Dalam asumsi sebaliknya, benar-tidaknya peristiwa genosida atas Yahudi di PD II ini, kemungkinan besar, tidak lebih penting tidak pula lebih nyata dari sekian operasi genosida, apartheid, pendudukan dan kejahatan perang yang dilakukan zionis Israel atas bangsa Palestina lebih dari 70 tahun hingga hari ini. Narasi Holocaust, karena itu, tidak dipertahankan dan diadaptasikan selain untuk kepentingan Israel di sana.[AFH]

Share Page

Close