• LAINYA

EPISTEMOLOGI-ALQURAN–Radikal biasanya dan, memang, tepatnya berbanding-lawan dengan toleran. Kini, radikalisme dan intoleransi kerap dilawan oleh sebagian kalangan, termasuk oleh sebagian tokoh agama, dengan semangat pluralisme dan sikap toleransi yang malah cenderung relativistik, yaitu klaim-klaim seputar pengetahuan agama di bawah ini yang belakangan masih diresonansikan:

1. Tidak ada kebenaran mutlak.
2. Semua pemahaman dan penafsiran itu bisa bermacam-macam dan relatif.
3. Yang pasti dan mutlak benar itu hanya ada pada Allah.
4. Semua agama itu benar.
5. Agama yang sampai kepada manusia hanyalah berupa penafsiran yang bisa benar dan bisa salah.
6. Semua Islam yang dianut oleh setiap Muslim adalah Islam-nya manusia, bukan Islam-Nya Tuhan.

Baca juga: QS. Al-Ra’d [13]: 1; Semua Pemahaman itu Relatif?, Allah saja Men-Share Kebenaran-Nya (1)
Baca juga: QS. Al-Ra’d [13]: 1; Semua Pemahaman itu Relatif? Allah saja Men-Share Kebenaran-Nya (2)
Baca juga: Radikalisme Positif dalam Beragama: Menjadi Tuhan itu Kewajiban juga Cita-cita

Di kalangan pejuang toleransi, pendirian yang bertentangan dengan salah satu dari enam perkataan di atas ini dicurigai sebagai kecenderungan radikal atau bahkan dihukumi sebagai paham radikal dalam beragama. Belakangan, ada juga dari kalangan ulama yang dengan tegas melarang orang merasa benar, “Karena, ketika kita sudah merasa benar, kita sudah tidak benar!”, lalu membawa nama Nabi Muhammad SAW sebagai mukmin yang, menurutnya, tidak merasa benar, yakni tidak yakin dirinya sudah benar.

Untuk menyakinkan perkataan 1, 2 dan 4, misalnya, sebagian kalangan toleran bahkan membawakan ayat-ayat seperti:

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Katakanlah bahwa kebenaran itu [berasal] dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi bagian dari orang-orang yang ragu (QS. Al-Baqarah [2]: 147; lihat juga Al Imran [3]: 60).

Pada tempatnya, alih-alih mendukung doktrin toleransi dan pendirian anti-radikalisme mereka, ayat ini justru membantah doktrin dan merusak pendirian mereka itu sendiri (selengkapnya klik DI SINI).

Pertama: Kalangan toleran, anti-intoleransi dan anti-radikalisme ini perlu kiranya berhenti sejenak: apakah mereka sendiri sudah yakin secara pasti bahwa perkataan dan larangan tegasnya itu benar sepenuhnya ataukah tidak? Apakah kebenaran perkataan di atas itu juga kebenaran di sisi Tuhan mereka?

Jika mereka sudah yakin demikian, maka bisa dipastikan ada kebenaran mutlak pada diri mereka sebagai manusia sehingga, dengan begitu, keyakinan pasti-benar mereka ini menyanggah semua perkataannya sendiri di atas.

Namun, jika mereka sendiri tidak yakin-pasti dan masih ada keraguan atas kebenaran perkataannya sendiri, maka sebijaknya mereka diam atau fokus berusaha meyakinkan semua perkataannya itu pada diri mereka sendiri sebelum mengurusi keyakinan orang lain, apalagi mengeluarkan fatwa larangan dan menilai “benar dan tidak benar” orang lain.

Tentu saja, perkataan seperti itu dibuat, umumnya dan pada dasarnya, dengan maksud mulia dan niat baik seperti: membina kerukunan dan moderasi, mengikis kecenderungan intoleransi serta radikalisme dalam beragama. Tetapi juga aspek subjektif (niat baik dan mulia) ini perlu dibangun konsisten di atas aspek objektif, yaitu pengetahuan yang benar.

Kedua: jelas, ada sebagian orang yang percaya dirinya pasti benar lalu cenderung radikal, ekstrem, intoleran hingga bahkan bertindak teroris. Fakta ini tentu saja tidak cukup dijadikan alasan untuk membuat generalisasi bahwa semua orang yang merasa dirinya benar dan paling benar pasti punya kecenderungan radikal dan intoleran.

Justru sebaliknya, ada sekian banyak orang yang merasa keyakinan dirinya pasti benar sepenuhnya tanpa bersikap radikal, jadi intoleran, apalagi jadi teroris. Mereka ini mampu menjaga keseimbangan dan keadilan dalam beriman, dalam berkeyakinan, dalam bersikap dan berperilaku sehingga tidak berlebihan dan radikal, entah bersifat fundamentalis ataupun relativis.

Ketiga: orang yang mengatakan satu dari enam perkataan di atas itu sebenarnya orang yang juga paling radikal dan intoleran; memukul rata setiap dan semua pihak yang mengaku dirinya pasti benar. Keradikalan dan intoleransi mereka terungkap dari frasa dan kata-kata: “tidak ada sama sekali”, “semua”, “semua”, “hanya”, “hanya” dan “hanyalah”.

Baca Juga :  Etika Berpikir, Meneliti dan Beriman dalam Alquran (1): Kesadaran "Tidak Tahu" dan Tahu Diri

Keradikalan dan intoleransi juga dapat dideteksi denyutnya pada polarisasi (bifurkasi) yang mengidentikkan semua bentuk perbedaan (deferensi) dengan semata-mata kontradiksi, yakni saling menentang dan tidak bisa kompromi. Pendirian radikal dan sikap intoleran hanya membuka pilihan on-off: iya atau tidak sama sekali, atau dalam bahasa gertak G.W. Bush, bersama aku atau jadi musuhku.

Pada poin selanjutnya akan dicatat bahwa setiap kontradiksi memang pasti berbeda, tetapi tidak semua/setiap perbedaan itu kontradiksi.

Keempat: Ironisnya, ayat QS. Al-Baqarah [2]: 147 di atas justru dijadikan argumen oleh sebagian mereka untuk meniadakan kemungkinan manusia menjangkau kebenaran Tuhan. Dengan menggunakan ayat ini, mereka hendak memasti-benarkan (baca: memutlakkan) kebenaran klaim dan pemahamannya sendiri bahwa kebenaran hakiki dan absolut itu hanya ada pada Allah.

Mengatakan bahwa kebenaran hakiki dan absolut itu hanya ada pada Tuhan sudah mengasumsikan bahwa penuturnya sudah tahu kebenaran Tuhan itu. Jika dia sudah punya cara mengetahui kebenaran hakiki yang ada pada Tuhan, maka ini bukti bahwa kebenaran hakiki Tuhan itu bisa diketahui manusia, minimal oleh penutur yang toleran tadi.

Namun, tanpa ayat di atas (QS. Al-Baqarah [2]: 147), tampaknya sulit bagi mereka memastikan cara mereka mengetahui kebenaran yang ada pada Tuhan itu. Mereka tidak sadar bahwa, paling tidak, pemahaman mereka ini sendiri atas ayat ini adalah kebenaran hakiki yang, setidaknya dalam pemahaman mereka ini, pasti benar dan tidak salah. Kalau pemahaman atas ayat ini juga tidak pasti benar dan masih bisa salah, maka tidak patut berargumen dengan ayat ini, karena ayat ini juga masih belum tuntas dipahaminya atau masih bisa salah dipahami!

Kelima: Dalam epistemologi agama (Islam), tidak sedikit adanya kebenaran-kebenaran Islam dan Tuhan yang bisa diketahui secara absolut oleh semua Muslim. Di antaranya, manusia itu bukan pencipta dirinya sendiri adalah kebenaran absolut; Tuhan itu satu adalah kebenaran absolut; Muhammad putra Abdullah itu hamba dan utusan Allah adalah kebenaran absolut; tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad adalah kebenaran absolut.

Alquran ini bukan karangan Nabi adalah kebenaran absolut; Alquran ini wahyu berasal-asli dari Allah adalah kebenaran absolut; Alquran ini buku petunjuk adalah kebenaran absolut; Isa putra Maryam itu bukan Tuhan adalah kebenaran absolut; Isa putra Maryam itu nabi dan hamba Allah adalah kebenaran absolut; kehidupan setelah kematian itu pasti terjadi adalah kebenaran absolut; pengadilan Tuhan itu pasti terjadi adalah kebenaran absolut; orang tahu dan orang tidak-tahu itu tidak sama adalah kebenaran absolut; orang adil dan tidak-adil itu tidak sama adalah kebenaran absolut.

Janji Allah memasukkan orang taat ke dalam surga adalah kepastian absolut. Salat lima waktu itu wajib adalah hukum absolut; puasa di bulan Ramadhan itu wajib adalah kebenaran absolut; naik haji untuk kali pertama itu wajib adalah kebenaran absolut; minuman keras itu haram diminum adalah kebenaran absolut; memakan babi itu haram adalah kebenaran absolut; harammnya riba itu adalah hukum absolut; korupsi itu haram adalah hukum absolut.

Keenam: Tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak perbedaan dalam upaya memahami kebenaran absolut juga dalam mengamalkannya, misalnya, keberasalan Alquran ini dari Allah dan wajibnya salat lima waktu. Banyaknya perbedaan ijtihad dan penafsiran di kalangan ulama seputar detail dua ajaran Islam ini tidak lantas merusak kesepakatan prinsipal mereka tentang wajibnya salat lima waktu itu sendiri dan berasalnya Alquran dari Allah.

Jadi, betapapun banyak dan tajamnya perbedaan penafsiran/pengamalan di kalangan ulama, masih dapat dijumpai kesepakatan prinsipal mereka dalam sekian banyak kebenaran ajaran Islam. Tentunya dan agar juga dicatat tebal bahwa, di samping kebenaran-kebenaran absolut, dalam Alquran juga banyak ayat yang tidak absolut pemahaman manusia atas ayat-ayat tersebut.

SETIAP SESUATU YANG MELAMPAUI BATASNYA AKAN MENJADI SEBALIKNYA–Kaidah Falsafi

Ketujuh: berbeda pendapat bukan berarti saling bertentangan (kontradiktif). Setiap yang saling bertentangan (antara ada dan tiada, antara benar dan tidak-benar) pasti berbeda, tetapi tidak setiap yang berbeda itu saling bertentangan. Dalam Logika, relasi antara berbeda dan bertentangan adalah subseksi, yakni relasi keseluruhan dengan bagiannya.

Baca Juga :  QS. Al-Takwir [81]: 5; Profil Manusia Buas, Mayat tapi Hidup

Dua hal yang saling bertentangan (kontradiktif) tidak mungkin sama-sama benar atau sama-sama salah; pasti salah satunya benar dan yang lainnya salah. Misalnya, “Isa adalah Tuhan” dan “Isa bukan Tuhan” adalah dua ajaran kontradiktif yang mustahil sama-sama benar juga mustahil sama-sama salah. Demikian juga dua ajaran seperti: “Muhammad adalah nabi” dan “Muhammad bukan nabi”, “Alquran adalah karangan Muhammad” dan “Alquran bukan karangan Muhammad”, “Islam sudah sempurna” dan “Islam belum sempurna”.

Namun, dua-tiga-empat hal yang berbeda satu sama lain bisa sama-sama benar, yakni kebenaran yang satu namun derajat, tingkatan dan intensitasnya berbeda-beda, seperti cahaya matahari yang satu namun diterima oleh penduduk bumi dengan tingkat penerangan yang berbeda-beda.

Allah itu esa (QS. Al-Ikhlas [112]: 1) adalah kebenaran mutlak, kendati pemahaman manusia berbeda-beda tingkat kedangkalan dan kedalamannya. Maka, doktrin Tauhid ini, pada pokok dan prinsipnya, adalah kebenaran mutlak dalam Alquran. Ia hanya akan bertentangan dengan doktrin yang menyatakan: Allah itu tidak esa, yakni Allah itu lebih dari satu. Di sini tidak ada dua kebenaran dan sama-sama benar atau sama-sama salah, tetapi salah satunya pasti benar dan lainnya pasti salah.

Kedelapan: Sadar atau tidak, manusia cenderung menginginkan kebenaran pasti dan mutlak; setiap orang tidak menyukai kebenaran setengah-setengah, dan tidak ada orang yang merasa puas dengan kebenaran yang tidak pasti, yang masih penyisakan pertanyaan di pikiran dan mengganjal di hati. Kegigihan dan gairah orang toleran yang menandingi militansi dan kengototan orang radikal merupakan ekspresi dari kecenderungan kedua belah pihak ini pada kebenaran yang bukan setengah-setangah.

Demikian pula, tidak ada yang salah bila seseorang merasa dirinya paling benar. Mengaku diri sendiri pasti benar sepenuhnya adalah wajar dan manusiawi.

Demikian sebaliknya, mengkritik orang yang mengaku dirinya pasti benar atau mengatakan kepadanya, “kamu salah!”, tanpa menghilangkan keinginan pada kebenaran mutlak, adalah juga manusiawi dan wajar selama dilakukan dengan cara-cara bijak dan bertanggung jawab, yaitu logis, adil dan objektif. (selengkapnya, klik Etika Kritik).

Yang tidak wajar, tidak manusiawi dan tidak bijak itu ialah berpikir relativis dan skeptisis hingga menegasikan kebenaran mutlak. Sama tidak bijaknya berpikir absolut hingga menegasikan kebenaran relatif. Kedua pola pikir dan pola sikap ini keterlaluan (ifrath dan tafrith), sama-sama radikal, sama-sama intoleran.

Kesembilan: tidak semua sikap militan, fanatik dan radikal itu buruk dan ancaman. Ada fanatisme dan radikalisme yang mulia; yaitu bersikeras menuntut dan membela kebenaran dan keadilan, juga militan dalam menentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dengan ketulusan, kejujuran, keterbukaan dan tanggung jawab. “Katakanlah bawakan bukti nyata jika kamu orang yang benar!” (QS. Al-Naml [27]: 64).

Kesepuluh: Di surah Al-Baqarah [2]: 111, ayat penuntutan bukti nyata ini berkaitan dengan klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani:

وَقَالُوۡا لَنۡ يَّدۡخُلَ الۡجَـنَّةَ اِلَّا مَنۡ كَانَ هُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰى‌ؕ تِلۡكَ اَمَانِيُّهُمۡ‌ؕ قُلۡ هَاتُوۡا بُرۡهَانَکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِيۡنَ
Dan mereka berkata, ‘Tidak akan selama-lamanya masuk surga kecuali orang Yahudi atau orang Nasrani.’ Katakanlah [hai Muhammad], ‘Bawakanlah Katakanlah bawakan bukti nyata jika kamu orang yang benar!’”

Kendati Nabi SAW manusia paling sempurna ilmu, iman dan amalnya, namun dalam konteks dialog dengan pihak yang berbeda keyakinan, ia tidak merespon perkataan dan keyakinan absolut orang-orang non-Muslim itu dengan cara mereka, misalnya dengan mengatakan, “Kamu itulah yang justru tidak akan masuk surga.”

Baca Juga :  QS. Al-Ahzab [33]: Ayat 36-40; Ketika Pernikahan Jadi Tugas yang Penuh Resiko Dicemooh Publik

Dalam ayat ini, Nabi SAW secara logis, adil dan bijak menempatkan dirinya, dalam konteks dialog, sejajar dengan mereka, yaitu menempatkan pendapat mereka mungkin benar lalu menuntut mereka agar memastikan kebenaran pendapat mereka dengan bukti nyata yang sama-sama bisa dipahami secara objektif.

Kelogisan, keadilan, kebijaksanaan dan keobjektifan Nabi SAW tadi dalam menyikapi orang-orang yang menolak ajarannya juga diperagakan dalam ayat di bawah ini:

وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Dan sungguh kami atau kalian benar-benar berada di atas petunjuk atau berada dalam kesesatan yang nyata (QS. Saba’ [34]: 24).

Kesebelas: jika 6 perkataan di atas itu tidak dikaitkan dengan agama dan Tuhan, tetapi diganti dengan Pancasila, misalnya, tentu hasilnya dan rasanya jadi beda:
1. Tidak ada kebenaran mutlak dalam Pancasila.
2. Semua pemahaman dan penafsiran atas Pancasila itu bisa bermacam-macam dan relatif.
3. Yang pasti dan mutlak benar itu hanya ada pada para perumus Pancasila.
4. Semua klaim ideologis atas Pancasila itu benar.
5. Pancasila yang sampai kepada generasi hari ini hanyalah berupa penafsiran yang bisa benar dan bisa salah.
6. Semua klaim Pancasila yang dianut oleh setiap warga Indonesia adalah Pancasila-nya orang Indonesia hari ini, bukan Pancasila yang dahulu digagas.

Jika salah satu dari perkataan ini dipertahankan, maka tidak ada yang tersisa dari Pancasila kecuali sekadar berkas dokumen sejarah, kata-kata “Saya Pancasila” menjadi sulit dicerna apalagi diamalkan. Jika diterima sebagai ideologi atau weltanschauung atau falsafah negara, maka Pancasila semestinya disadari, diyakini dan diamalkan dengan sepenuh pikiran dan hati, yakni kepercayaan pasti pada kebenaran setiap butir-butirnya, tanpa sedikitpun ragu dan ragu-ragu.

Kedua Belas: masih bijak kiranya meluangkan diri untuk segera membandingkan enam perkataan di atas itu dengan lawan-lawannya di bawah ini lalu amati mana yang kira-kira cenderung radikal dan cenderung toleran dalam beragama:

1. Kebenaran mutlak itu ada (walaupun dalam hitungan jari seperti contoh-contoh di atas itu).
2. Tidak semua (yakni, sebagian) pemahaman dan penafsiran itu bermacam-macam dan relatif.
3. Tidak semua (yakni, sebagian) yang pasti dan mutlak benar itu tidak hanya ada pada Allah.
4. Tidak semua agama itu benar (yakni sebagian agama itu benar).
5. Tidak semua (yakni, sebagian) agama yang sampai kepada manusia itu hanya berupa penafsiran yang bisa benar dan bisa salah.
6. Tidak semua (yakni, sebagian) Islam yang dianut oleh setiap Muslim adalah Islam-nya manusia, bukan Islam-Nya Tuhan.

Ketiga Belas: dengan demikian, tidak bijak bila radikalisme direspon dengan toleranisme yang juga radikal sehingga publik dipolarisasi hanya dalam dua pilihan on-off: berpaham radikal atau berpaham toleran, berislam Tuhan atau berislam manusia.

Dengan menekankan “sebagian”, maka ada pilihan ketiga sebagai titik moderasi dan keseimbangan yang merangkul, sampai batas-batas tertentu, kedua pola pikir yang sama-sama radikal saling memukul itu sehingga ada Islam Tuhan yang sekaligus Islam manusia. Ini tampaknya sebangun dengan dua sila pertama Pancasila: ketuhanan dan kemanusiaan. Artinya, ketuhanan bangsa Indonesia adalah berkemanusiaan, dan kemanusiaan bangsa Indonesia adalah berketuhanan.

Keempat Belas: ada toleransi positif juga ada toleransi negatif, seperti juga ada radikalisme positif, ada radikalisme negatif. Merangkul toleransi dan radikalisme yaitu mengakomodasi toleransi positif dan radikalisme positif sekaligus membuang toleransi dan intoleransi negatif.

Dalam akomodasi dan pemaduan ini, tidak sedikit adanya pemahaman agama yang absolut, dan begitu banyak pemahaman agama yang relatif. Azas bhinneka tunggal ika ini hanya terbina dengan jiwa tanggung jawab: adil dalam berpengetahuan dan bijak dalam berbuat, terbuka dialog, berbenah diri dan menjadi lebih dan lebih sempurna lagi sesuai sabda Nabi SAW, “Ambillah hikmah (kebenaran), sekalipun dari mulut orang munafik.”

Share Page

Close