• LAINYA

TAFSIR-SUFI-SOSIAL–Hidup berasaskan tauhid dan keesaan Tuhan yaitu berpikir, berkeinginan, mengambil keputusan dan melakukan tindakan dalam rangka menuju Allah, “Dan kepada-Nyalah bergerak”, mendekatkan diri dengan Allah, “Qurbatan illa-Allah”, berjumpa dengan Allah “Liqa’u-Allah”.

Dengan kesadaran dan niat inilah semua hidup, aktivitas dan tindakan seseorang menjadi bernilai tauhid. Tauhid dan ketuhanan yang maha esa bukan hanya dalam berpikir dan berkeyakinan, tetapi juga dalam berkehendak dan berbuat.

Dengan nama Allah Yang Mahakasih Maha Pengasih. Katakanlah, Dialah Allah Yang Esa (Al-Ikhlas [112]: 1)

STUDI KEBAHASAAN 
Berkenaan dengan fungsi sintaksis kata “Allah”, ada beberapa kemungkinan: pertama, kata ganti huwa (dia) menunjuk kepada esensi (dzat) Allah SWT atau, dalam istilah teknis, dikenal dengan Identitas Gaib (huwiyyah gaybiyyah). Maka, kata Allah di sini berposisi sebagai predikat pertama, sedangkan ahad (esa) sebagai predikat kedua. Atas dasar ini pula ayat ini diterjemahkan sebagaimana di atas (Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hlm. 858; I’rab Al-Qur’an wa Bayanuh, jld. 10, hlm. 61; Adab Al-Shalat, hlm. 306).

Kemungkinan kedua, kata Allah berposisi sebagai subjek kedua dan, dengan demikian, kata ganti huwa merupakan kata ganti pemisah (dhamir fashl) atau kata ganti status (dhamir sya’n) yang tidak memiliki makna apa pun, tetapi ia menunjuk kalimat yang datang setelahnya dan, secara sintaksis, ia berposisi sebagai subjek dari kalimat sempurna “Allah adalah Esa” yang merupakan predikat. Atas dasar ini, ayat di atas diterjemahkan menjadi “Katakanlah Allah adalah esa” (Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hlm. 858; I’rab Al-Qur’an wa Bayanuh, jld. 10, hlm. 61; Tafsir Al-Mizan, jld. 20, hlm. 388).

Kemungkinan ketiga mirip dengan kemungkinan pertama, dimana kata ganti huwa (dia) berposisi sebagai subjek dan Allah sebagai predikat, sementara ahad (esa) sebagai badal ‘pengganti’ dari Allah. Atas dasar ini, terjemahan ayat di atas menjadi: “Katakanlah dia adalah Tuhan yaitu Esa”.
Sebagian ahli bahasa menerangkan perbedaan antara ahad (esa) dan wahid (satu), sekalipun kedua-duanya berasal dari satu akar kata, yakni wahdah. Pembedaan ini amat berguna dalam studi ketuhanan, Kalam dan tauhid.

Kata ahad dalam bahasa Arab digunakan untuk menegasikan setiap bilangan yang menyertainya, adapun wahid merupakan nama dan sifat yang, pada dasarnya, menjadi permulaan bilangan. Ahad tidak termasuk kategori bilangan, sementara wahid bagian dari bilangan, yaitu awal bilangan. Dalam tradisi bahasa Arab, kata ahad digunakan dalam ungkapan-ungkapan negatif, sementara wahid dipakai dalam ungkapan-ungkapan afirmatif (Lisan Al-Arab, jld. 3, hlm. 448).

LATAR BELAKANG SURAT
Diriwayatkan oleh para imam hadis, termasuk Imam Bukhari dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya (hadis no. 20272), bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Nabi SAW, “Hai Muhammad! Sebutkan nasab Tuhanmu (dalam riwayat lain, sebutkan sifat-sifat Tuhanmu) kepada kami!” Maka Allah SWT menurunkan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Dialah Allah adalah Esa. Allah Tempat-bergantung. Dia tidak melahirkan juga Dia tidak dilahirkan. Dan tidak ada satu pun setara dengan-Nya.’”

HADIS 
Rasulullah SAW bersabda, “Akal dibagi kepada tiga bagian; barangsiapa yang menghimpun ketiga bagian itu sempurnalah akalnya, dan orang yang tidak menghimpun itu tidaklah berakal: pengetahuan sahih tentang Allah, ketaatan yang baik pada-Nya, dan kesabaran yang mulia dalam urusan-Nya” (Nawādir Al-Akhbār, hlm. 12).

Baca Juga :  Muhkam dan Mutasyabih (1): Definisi, Perbedaan dan Hikmah Keberadaannya

Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib ra. berkata, “[Dia] esa tanpa kembali ke bilangan …. Setiap apa saja selain Dia yang disebut satu adalah sedikit” (Kitab Al-Tawhīd, hlm. 90).

TADABUR
Satu
Sebagian mufasir menyatakan bahwa basmallah dalam setiap surat merupakan bagian dari surat tersebut sehingga ia memiliki hubungan khas dengan makna dan kandungan surat (Ādāb Al-Shalāh, hlm. 242).

Berkenaan dengan makna basmalah di permulaan surat Al-Ikhlas ini, mereka mengatakan bahwa penjelasan relasi-relasi Allah yang Mahaada, dan penguraian rahasia-rahasia tauhid tidak dapat diungkap dengan keakuan (anāniyyah) dan dengan ekspresi yang terkait dengan diri sendiri.

Maka, selama manusia penempuh jalan spiritual menuju Mahaada (Al-Haqq) tidak keluar dari hijab dirinya, dia tidak akan mencapai maqam Kehendak Mutlak (al-masyi’ah al-muthlaqah) dan tingkatan Curahan Yang-Disucikan (al-faydh al-muqaddas), yakni belum menyerahkan totalitas dirinya kepada kehendak Tuhan dan tidak lenyap (fana’) dalam Identitas Absolut (huwiyyah muthlaqah), sehingga semasih tersisa seberapa pun dari keinginan dalam dirinya, dia tidak akan menjangkau rahasia-rahasia tauhid (Adab Al-Shalah, hlm. 305).

Kedua
Dalam studi kebahasaan dan budaya bahasa orang Arab, kata ahad (esa) digunakan secara mandiri (tidak berposisi genetif sebagai mudhāf ataupun mudhāf ilayh) dan dalam kalimat negatif, sementara kata wāhid (satu) digunakan dalam kalimat afirmatif. Namun, di ayat ini, kata ahad digunakan pada Allah SWT justru secara afirmatif. Mengapa?

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa ahad adalah yang esa yang keesaannya bukan berupa bilangan dimana, jika berupa bilangan, maka Tuhan adalah esa yang selanjutnya akan ada dua, tiga, empat dan seterusnya. Misalnya, matahari hanya satu, namun tidak disebut esa (ahad), karena adanya matahari kedua, ketiga dan seterusnya tidaklah mustahil.

Sementara Allah adalah esa yaitu Dia satu tunggal yang tidak dapat diasumsikan ada selain-Nya, entah itu kedua, ketiga, dst. Tidak ada tuhan kedua, bahkan mustahil ada tuhan selain Allah. Kesatuan yang esa inilah yang diungkapkan dalam ayat ini dengan kata ahad, dan kata ini hanya berlaku pada Tuhan sebagai deskripsi afirmatif. Dengan pengertian ini, maka penggunaan kata ahad dibenarkan pada Allah, dan memang hanya bisa digunakan secara afirmatif pada Allah.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Rum [30]: ayat 41 (Bagian Kedua)

Memang, dalam QS. Ghafir [40]: 16, “Milik siapakah kerajaan (kekuasaan) hari ini? Milik Allah-lah yang Satu nan Maha Perkasa”, kata wahid (satu) digunakan pada Allah, tetapi juga tampak jelas kata ini dilengkapi dengan kata qahhar, yakni maha perkasa, maha menggungguli, maha menaklukkan, meluluhlantakkan dan melenyapkan apa pun selainnya. Jadi, dua kata wahid qahhar (satu yang maha perkasa) ini sepadan dengan satu kata ahad (esa).

Ketiga
“Katakanlah, Dialah Allah yang Esa.” Ayat ini juga dimulai dengan perintah “Katakanlah”. Artinya, ketika kita menyadari dan memahami keesaan Allah, sungguh kita telah mencapai hakikat yang begitu berharga sehingga katakanlah hakikat ini kepada orang lain.

Dengan kata lain, nyatakanlah kepada semua orang, “Tuhanku, kami sungguh sendiri dalam kesendirian. Kami tidak mengenal siapapun selain Engkau, dan kami tidak menginginkan kecuali Engkau yang kami kenal.”

Keempat
Dalam ayat ini terdapat tiga nama atau sifat Allah SWT: dia, Allah dan esa. ‘Dia’ menunjuk esensi atau diri Tuhan yang diungkapkan dengan kata ganti orang ketiga (dhamīr ghā’ib). Barangkali dari sisi inilah esensi Tuhan tidak dapat dijangkau oleh daya pengetahuan manusia. Pada diri Tuhan tidak ada aspek multiplisitas dan ke-banyak-an. Demikian pula bahkan di tingkat nama dan sifat-Nya.

Kelima
Lalu ayat ini menyinggung nama Allah yang merupakan paripurna dan penghimpun segenap nama dan sifat. Dari satu sisi, Tuhan adalah esensi satu-satunya dan, dari sisi lain, Dia mencakup segenap kesempurnaan nir-batas. Oleh karena itu, kata Allah disusul langsung oleh kata esa (ahad). Ini menunjukkan bahwa Asensi Absolut dan nir-batas itu tidak lebih dari satu dan esa.

Keenam
Poin ini sangat penting dan berdampak positif, dimana di alam semesta ini kita hanya semata-mata memiliki pencipta tunggal, esa, sempurna nir-batas dan menghimpun segenap kesempurnaan. Sebagian orang justru memahami bahwa tidak ada realitas yang tak terbatas, sempurna dan mencakup segenap kesempurnaan, sehingga sebagian yang lain menganggap Tuhan itu banyak dalam dirinya.

Ketujuh
Dalam budaya Alquran, tiga kata: dia, Allah dan esa, menemukan maknanya secara utuh dan padu. Artinya, esensi Tuhan adalah identik dengan nama dan sifat Tuhan itu sendiri, dan dalam keidentikan inilah Dia Esa dan Satu.

Kedelapan
Keyakinan pada Allah sebagai Tuhan yang Esa adalah Tauhid, terumuskan dalam kalimat tauhid, La ilaha Illa Allah, Tidak ada tuhan kecuali Allah.

Baca Juga :  QS. Al-Fatihah [1]: 1; Bismillah Sumber Motivasi, Visi Kerja, Moral Tanggung Jawab

Tauhid dan mengesakan Allah itu hierarkis, bertingkat-tingkat: tauhid dalam realitas Allah (fi al-dzat), tauhid dalam sifat-sifat Allah (fi al-shifat), tauhid dalam tindakan Allah (fi al-af’al/ al-khaliqiyyah), tauhid dalam ibadah (fi al-uluhiyyah/al-‘ibadah), tauhid dalam ketuanan Allah (fi al-rububiyyah), tauhid dalam takut dan harap (fi khawf wa al-raja’), tauhid dalam cinta, tauhid dalam Ada (wahdat al-wujud) (fi al-hubb wa al-‘isyq) (lih. M.T Misbah Yazdi, Ma’arif al-Qur’an).

Kesembilan
Kemahaesaan Allah berarti juga kepercayaan bahwa Allah bukan sekedar Dia satu-satunya pencipta alam semesta, tetapi Dia juga satu-satunya akhir dan tujuan penciptaan manusia dan alam semesta.

Ketuhanan yang Maha Esa yaitu keyakinan bahwa alam ini bukan hanya berawal dari Sumber dan Asal yang satu, tetapi juga akan berakhir dan berjumpa dengan Sumber dan Asal yang sama.

Ketuhanan yang Maha Esa yaitu keyakinan bahwa Tuhan adalah satu sebagai awal dan akhir alam semesta; Tuhan adalah awal sekaligus akhir, Tuhan adalah sumber sekaligus tujuan hidup manusia; kita datang dan menuju dari dan ke Satu Realitas, yaitu Allah.

Keindentikan dan keesaan Allah sebagai awal sekaligus akhir dan asal sekaligus tujuan terangkum dalam ayat, Inna lillahi wa inna ilayihi raji’un”. Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali (Al-Baqarah [2]: 156).

Kesepuluh 
Hidup berasaskan tauhid dan keesaan Tuhan yaitu berpikir, berkeinginan, mengambil keputusan dan melakukan tindakan dalam rangka menuju Allah, “Dan kepada-Nyalah bergerak”, mendekatkan diri dengan Allah, “Qurbatan illa-Allah”, berjumpa dengan Allah “liqa’u-Allah”. Dengan kesadaran dan niat inilah semua hidup, aktivitas dan Tindakan seseorang menjadi bernilai tauhid. Tauhid dan ketuhanan yang maha esa bukan hanya dalam berpikir dan berkeyakinan, tetapi juga dalam berkehendak dan berbuat.

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah [2]: 45-46).

Kesebelas
Tentu saja, jika pengertian mengenai tiga ini: dia, Allah dan esa, kita pahami sutuhnya sebagai esensi tunggal, esa, nirbatas, absolut, penghimpun dan sempurna, tentu tidak ada alasan dan peluang apa pun dalam diri kita untuk putus asa, bangga diri, pelit, takut dan sombong. Kita perlu waspada, jangan sampai setiap hari kita berulang kali mengatakan, “Allahu Akbar”, tetapi tuhan yang kita pahami dalam pikiran kita malah tidak besar.

Share Page

Close