• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Imam Ali ibn Abi Thalib ra. berkata, “Berapa banyak orang yang [diberi kesempatan hingga] terlena dengan kebaikan, terpedaya oleh penutupan (pengampunan) dosa, dan terkecoh oleh sanjungannya; dan Allah tidak menguji seorang pun dengan kesempatan seperti itu” (Nahj Al-Balâghah, Kata Mutiara no. 116 dan no. 260). Kata-kata ini sebangun dengan kandungan ayat di bawah ini:

[arabic-font]يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ [/arabic-font]

“Wahai manusia, apa yang telah menipumu terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.”

(QS. Al-Infithar [82]: ayat 6)

Betapa banyak orang terjebak oleh kenikmatan yang diperoleh, terperdaya oleh dosa yang ditutupi oleh Allah, dan terkecoh oleh pujian. Justru dengan cara itulah Allah SWT menguji siapapun dengan kesempatan yang Dia berikan. Yakni, pemberian kesempatan lebih banyak dari Allah kepada semua manusia merupakan cobaan dan ujian yang paling berat bagi mereka.

Tadabur

  • Ketika ada pertanyaan disampaikan, tadabur tidak hanya merenungkan pada poin pertanyaan, justeru juga difikirkan tentang apa jawabannya. Dan jawaban atas pertanyaan di ayat ini adalah kemurahan Tuhan. Mungkin padanan yang paling tepat untuk kata al-karîm dalam bahasa Indonesia adalah maha pemurah.
  • Baca juga: QS. Al-Dhuha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
    Baca juga: Tafsir Kemerdekaan (1): QS. Al-Baqarah [2]: 279, Tidak Menjajah Juga Tidak Mau Dijajah
     

  • Salah satu persoalan paling mendasar bagi kebanyakan orang ialah bersikap santun dan hormat kepada orang yang tidak dikenal. Justru kita tidak atau kurang berterima kasih kepada mereka yang justru dekat dengan kita dan lebih menghargai kita, atau kita malah menganggap penghargaan mereka kepada kita sebagai kewajiban. Dalam anggapan seperti ini, kita boleh jadi bukan hanya tidak bersukur, tetapi juga bisa bermuka kecut hanya karena kekhilafan sepele. Barangkali contoh terbaik di sini adalah kedua orang tua. Umumnya, kita akan berterima kasih dan berhormat kepada orang yang membantu menyelesaikan satu urusan kantor yang tidak memberikan keuntungan sedikit pun dari kita. Jelas, bantuannya tidak seberapa bila dibandingkan dengan kedua orang tua kita; mereka membesarkan kita susah payah, bertahun-tahun berbaik hati demi memenuhi segenap kebutuhan kita tanpa pamrih, malam-malam bergadang demi kita bisa tidur enak, masa muda mereka dihabiskan demi mempertahankan kemuliaan hidup keluarga kita. Lantas, sekali saja keinginan kita tidak terpenuhi, begitu cepat kita kecewa, bermuka masam, atau berkata tak pantas kepada mereka. Kita lalai berterima kasih kepada orang tua, karena kita memandang apa yang telah selama ini mereka perbuat untuk kita tak lebih dari sebagai tugas dan kewajiban mereka. Begitu pula kita dengan Allah SWT. Apa pun yang kita miliki berasal dari kemahamurahan-Nya, bahkan kemampuan kita memprotes juga berasal dari-Nya.
  • Sejenak saja kita pantas meluang waktu untuk menghitung karunia Allah SWT seperti: mata, telinga, tangan, kaki, lidah, gigi, tenggorokan, jari, …., ayah, ibu, sahabat, fasilitas hidup, udara, musim, tanah, tumbuhan, …. cinta, kasih, rasa, hati lapang dan lain-lainnya. Lalu, dibadnding dengan semua ini, seberapa besar ingatan kita tertuju kepada Allah?, sebesar apa fokus niat dan ketulusan kita kepada-Nya?, seberapa agenda dan pola hidup kita sesuai dengan kehendak dan ajaran-Nya? Betapa kita tidak berterima kasih kepada-Nya dalam setiap kesulitan dan ujian kehidupan kita.
  • Baca juga: QS. Al-Infithar [82]: Ayat 6; Manusia, Makhluk Bodoh Yang Lemah Tapi Tak Tahu Diri
    Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

  • Maka, perlu kita berulang-ulang mengintrogasi diri sendiri: pantaskah kita sombong dan merasa memiliki hak di hadapan Allah?! Bila kita tidak berterma kasih dan sombong terhadap orang yang berjasa, kenapa kita justru lalai tidak berterima kasih atas jasa paling besar dari Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Bijaksana?! Apakah ini bukan bukti bahwa kita lupa akan hakikat diri kita?! Bukankah ini bukti bahwa kita salah pada diri sendiri? Bukankah ini bukti bahwa sesunguhnya kita sudah tidak sadar diri?
  • Dalam ayat ini, Allah SWT melontarkan pertanyaan mendasar: apakah yang menyebabkan manusia terperdaya di hadapan Tuhan yang Maha Pemurah?! Ayat ini sungguh memperingatkan secara serius bahwa kalian sedang terperdaya oleh dunia (QS. Al ‘Imran [3]: 185), terperdaya oleh setan (QS. Al-Nisa’ [4]: 120), terperdaya oleh manusia-manusia zalim (QS. Fathir [35]: 40), terperdaya oleh berbagai usaha dan prestasi orang kafir (QS. Al ‘Imran [3]: 196). Padahal manusia sombong akan mudah termakan oleh tipu daya mereka. Keterpedayaan merupakan kesalahan perhitungan manusia, dan Allah SWT mengingatkan manusia atas kelemahan nalar dan pikirannya. Pada dasarnya, mengabaikan Allah dapat dinilai sebagai sikap irasional, meskipun pada umumnya manusia pendosa masih mengaku bahwa dirinya berakal sehat.
  • Kita harus waspada terhadap kondisi-kondisi yang, di dalamnya, kita menganggap diri kita sudah sangat cerdas dan selamat dari keterperdayaan. Dalam logika Al-Quran, jauh dari Allah SWT, tidak berterima kasih, apalagi melanggar hukum-Nya, merupakan kedangkalan berpikir dan kesalahan menghitung dan menimbang.
  • Dalam beberapa ayat setelahnya, secara rinci Allah SWT menyebutkan nikmat-nikmat-Nya. Dia juga menunjukkan satu jalan paling utama agar tidak sombong dan tidak terperdaya oleh dunia, yaitu mengingat Allah dan merenungi nikmat-nikmat-Nya. Ini sebagaimana juga ketika seorang selalu mengingat berbagai bencana dan kesulitan lain seperti: mengunjungi orang-orang sakit, berempati pada kesusahan orang lain, semua ini merupakan cara-cara mengingat kenikmatan-kenikmatan dirinya sendiri.
  • Ayat ini merupakan salah satu ayat yang berbicara langsung kepada setiap manusia. Bila kita ingin tahu pada kesempatan apa saja Al-Quran berbicara kepada semua manusia, satu per satu, maka ini akan kita temukan pada ayat ini dan lambat laun akan kita jumpai ayat-ayat yang lain. Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa kita sendiri dan, pada saat yang sama, orang lain merupakan pihak-pihak yang diajak bicara langsung tentang satu hal yang sama. Poin ini, selain sangat penting bagi para da’i, juga sebagai bahan dakwah dan pembelajaran mengenai pola penyampaian materi, khususnya tentang pentingnya menentukan masyarakat yang hendak diajak dan diseru.
  • Suatu saat, Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. pernah membaca ayat ini dan, dalam pidatonya (pidato no. 223 dalam Nahj Al-Balâghah), beliau menjelaskan kandungannya. Berikut tadabur dan renungan beliau dari ayat ini: “Tidak ada alasan bagi orang berdosa yang terperdaya sebagai pihak yang diajak bicara langsung oleh ayat “Wahai Manusia, apakah yang telah mempedayamu sehingga sombong terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah”. Jelas, dia memaksakan diri untuk tetap dalam kebodohannya, sehingga yang menjadi pilihan kebahagiaannya adalah dunia yang fana ini daripada surga abadi.”
  • Adalah argumentasi keliru bila dikatakan bahwa kemurahan Allah telah memperdayaiku, karena kemurahan Allah berdampak pada taat dan bersyukur, bukan malah bermaksiat dan mengkufuri nikmat. Juga keliru bila dikatakan bahwa setan telah mempedayaiku, karena dalam Al-Quran disebutkan setan sebagai musuh yang nyata tidak boleh untuk diikuti. Demikian pula keliru bila dikatakan kebodohanku memperdayaiku, karena selama ini para nabi diutus untuk mengajarkan hukum dan hidayah kepada manusia. Maka, tidak ada alasan apa pun yang dapat dijadikan pembelaan atas keterpedayaan diri sendiri.[ms]

Share Page

Close