• LAINYA

TASAWUF-POLITIK–Beragama tidak cukup dengan gairah dan emosi. Sekedar semangat dan gelora di dada membela agama dan ideologi tidaklah cukup. Itu perlu, tetapi tidak cukup. Harus ada yang lain, yaitu tahu dan paham. Beriman juga perlu pengetahuan dan pemahaman. Dalam sabda nabi SAW kepada Sayyidina Ali, “Hai Ali, jika engkau melihat orang-orang bagaimana mereka mendekatkan diri dengan berbuat baik, dekatkan dirimu dengan berbagai akal.”

Demikian pula beribadah. Tidak sebanding nilai ibadah dengan berpikir dan menggunakan akal untuk memahami dan mendalami rahasia teks suci serta alam semesta. Sabda Nabi SAW, “Berpikir sesaat lebih utama dari ibadah satu tahun.”

Di antara ahli ibadah adalah kalangan sufi sehingga sufi identik dengan ahli ibadah. Dahulu, praktik tasawuf dan beragama dengan cara sufi dilakukan dengan berperilaku asketis, hidup zuhud, memutus hubungan dengan urusan dunia dengan maksud bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada Allah.

Dalam akal dan pengetahuan sufi seperti ini, hidup melarat dan masabodoh terhadapi dunia itu kesempurnaan beragama yang disukai Allah dan, sebaliknya, hidup enak di dunia tidak disukai Allah. Sufi seperti ini digambarkan oleh Allamah Iqbal demikian: jika dia diisra-mikrajkan bersama Nabi SAW ke Sidratul Muntaha, dia ingin tinggal di di sana dan dia akan menolak ajakan Nabi untuk bersama-sama kembali ke dunia.

“KAROMAH PENGUASA ADALAH KESUNGGUHANNYA MENEGAKKAN KEADILAN.”

Sebaliknya dari sufi adalah perilaku umumnya para penguasa. Mereka ini lebih suka hidup senang hingga lupa Tuhan dan kehidupan setelah kematian. Mereka tidak mengerti bahwa kekuasaan hanyalah alat, bukan tujuan; alat untuk menegakkan keadilan, mengangkat martabat orang-orang lemah, jadi negarawan dan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Penguasa jenis ini adalah pemimpin dan pejabat publik yang ingin segera dan selalu hidup enak dan tidak mau menderita untuk diri sendiri apalagi untuk orang lain.

Baca Juga :  Kalau segala sesuatu ada sebabnya, lantas siapa sebab-nya Tuhan?

Dua pengalaman hidup salah kaprah dan serba ekstrem dari sufi dan penguasa ini terungkap dalam dialog antara, lagi-lagi, Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan dua bersaudara putra Ziyad al-Haritsi asal Iraq: Ala’ dan Ashim.

Berawal dari sepulangnya dari perang Jamal, Sayyidina Ali bin Abi Thalib memasuki kota Bashrah. Seseorang bernama Ala’ bin Ziyad Haritsi mengadukan keadaan saudaranya, Ashim, kepada sang khalifah. “Wahai Amirul Mukminin! Aku mengadukan saudaraku yang bernama Ashim.”

Ali balik bertanya, “Memang ada apa dengan dia?”

Ala’ melanjutkan, “Dia telah meninggalkan dunia; dia mengenakan pakaian yang sudah lama, menyendiri dan meninggalkan semua orang.”

Mendengar demikian, sahabat agung Nabi itu meminta agar Ashim dihadapkan kepadanya.

Ketika Ashim telah hadir, Sayyidina Ali berkata, “Hai musuh kecil dirimu sendiri! Setan telah merampas akal sehatmu. Mengapa engkau tinggalkan istri dan anakmu?! Apakah engkau mengira Allah SWT tidak senang jika engkau menikmati rezeki halal yang Dia berikan kepadamu?! Di hadapan Allah sungguh engkau lebih rendah dari ini.”

Ashim menjawab, “Wahai Amirul Mukminin! Bukankah aku ini sama seperti dirimu?! Engkau menjalani hidup dengan susah: mengenakan pakaian yang jelek, tidak makan makanan yang enak .… Aku hanya ingin menirumu dan menjalani hidup yang engkau jalani.”

Pemimpin dunia Islam itu menjelaskan, “Celakalah kamu! Aku tidak seperti dirimu. Allah telah mewajibkan para pemimpin keadilan agar menjadikan lapisan lemah masyarakat sebagai pola hidup mereka sehingga orang miskin tidak terpuruk dengan kemiskinannya.” (Nahj Al-Balaghah, pidato. 209).

Sebelumnya, di masa Nabi SAW, ada sekelompok sahabat yang berikrar janji setia untuk tidak berhubungan intim dengan istri-istri mereka, menghabiskan siang mereka dengan berpuasa dan malam mereka dengan salat serta ibadah. Mendengar itu, Nabi SAW mengumpulkan mereka dan berkata, “Aku menikah dan, di waktu malam, aku tidur. Barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka dia bukan bagian dari aku.”

Baca Juga :  Profil Pemimpin Ideal dalam Tasawuf Politik Platon dan Khomeini (3): Ulama sama dengan Nabi

Saat seorang sahabat, Utsman bin Madz’un, ditinggal wafat oleh anaknya, ia begitu terpukul hingga hidup menyendiri dan fokus beribadah hingga tidak menyentuh istrinya. Nabi SAW bersabda, “Hai Utsman! Allah SWT tidak mengutusku untuk hidup meninggalkan dunia. Akan tetapi, aku diutus dengan agama lurus yang mudah dan memudahkan. Aku berpuasa dan salat. Dan aku juga menyentuh [istri]. Orang yang cinta dengan sunnahku hendaklah menjalankan sunnahku. Dan salah satu sunnahku adalah menikah.”

KEWALIAN SUFI TIDAK DIUKUR DENGAN KAROMAH, TETAPI DENGAN CINTANYA PADA MAKHLUK TUHAN. MENEGAKKAN KEADILAN ADALAH CINTA TERBAIK UNTUK MANUSIA–MAKHLUK TERBAIK TUHAN.

Demikian pula nabi mengingatkan istri-istri agar tidak memperpanjang salat mereka hingga mengurangi kesempatan suami mendekati dan menyentuh mereka.

Dalam Islam, dunia itu tidak mulia juga tidak buruk. Ia seperti pisau yang bisa baik juga bisa buruk, tergantung bagaimana digunakan. Dunia diciptakan hanya sebagai alat dan persinggahan untuk menunjang perjalanan kita menjumpai tujuan hidup kita, yaitu Allah SWT. Dunia menjadi buruk dan kendala besar bila dijadikan sebagai tujuan hidup sehingga hidup kita hanya terhenti separoh perjalanan, tanpa mencapai tujuan.

Menjadi sufi sama pentingnya menjadi pemimpin. Masing-masaing sufi dan penguasa perlu pengetahuan dan akal sehat agar menempatkan dunia sebagai sarana mencapai tujuan hidup. Seperti kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, manusia yang memimpin dengan nilai-nilai sufi dalam rangka ujuan utama (menjumpai Allah) akan memberikan berkah sosial dan politik kepada masyarakat luas.

Masih dari Sayyidina Ali, “Orang yang memantapkan dirinya jadi pemimpin sepatutnya memulai dari mendidik dirinya sebelum mendidik orang lain.”

Share Page

Close