• LAINYA

TASAWUF–Kalimat Tauhid yaitu “La ilaha illa Allah”, tidak ada tuhan kecuali Allah. Kalimat ini identitas utama Islam dan muslim. Tidak ada orang muslim yang tidak percaya dengan kalimat ini. Meski begitu, kemufakatan ini tdaik lantas mengugurkan perselisihan mereka dalam memahami dan menafsirkan kandungannya.

Para sufi, terutama sejak irfan dan tasawuf dirumuskan oleh Ibnu Arabi dan al-Qunawi sebagai disiplin ilmu, mengklaim telah berhasil mencapai pemahaman dan penafsiran terdalam dari kalimat Tauhid di atas rata-rata sarjana muslim dari berbagai bidang pengetahuan. Mereka mengungkapkannya dengan berragam pola bahasa, dari ungkapan kiasan puitis hingga uraian prosais seperti: “Ma fi al-dar ghayruhu dayyar” (tidak ada di rumah selain Dia penguni apa pun) dari Hallaj dan “Ma tsamaa illa Allah (Tiada ada apa pun kecuali Allah) atau “Laysa fi al-wujud illa Huwa” (tiada dalam Ada kecuali Dia) dari Ibnu Arabi. Tafsiran dan ungkapan ini dirumuskan dalam kapsul doktrin Wahdatul Wujud (kesatuan Ada).

Benarkah ada hubungan antara prinsip Tauhid dalam Kalimat Tauhid itu dan Wahdatul Wujud dalam doktrin kaum sufi ini? Bagaimana memahami Wahdatul Wujud dari dalam redaksi Kalimat Tauhid?

Ibnu Arabi apalagi muridnya, Shadruddin al-Qunawi, dan para pengikutnya, terutama Shadrul Muta’allihin atau dikenal dengan Mulla Sadra, pendiri Kebijaksanaan Utama (al-hikmah al-muta’aliyah), berusaha keras mencurahkan pengalaman ilmiah mereka untuk mendudukkan masalah Wahdatul Wujud secara logis serta membuktikannya dengan beragam argumen dan metafora sebagai kebenaran hakiki bahwa apa pun selain Tuhan,  pada dasarnya dan pada dirinya sendiri, sesungguhnya tidak ada; yang sesungguhnya ada dan nyata hanyalah Tuhan, maka selain Tuhan sesungguhnya tidak ada; realitasnya tidak lebih dari tajalli ‘tampakan’ Dia.

Baca Juga :  Ada Quran Village di Jombang Serba Inggris, Intip apa saja Aktivitasnya

Baik Kalimat Tauhid maupun doktrin Wahdatul Wujud sama-sama mengandung dua pernyataan: negatif dan afirmatif. Kedua-duanya memulai dari menegasikan sesuatu dan berakhir dengan mengafirmasi sesuatu. Bedanya, dalam negasi, Kalimat Tauhid menyebut objek negasinya dengan diksi “tuhan”, sementara para sufi dalam ungkapan-ungkapan Wahdatul Wujud mereka menggunakan diksi selain tuhan misalnya: sesuatu, apa pun, selain Dia.

Tanpa mengulang kerumitan atau kecanggihan dan kemegahan premis-premis logis yang digunakan para arif-sufi serta filosof Muslim, penggunaan diksi “tuhan” untuk menyatakan objek negasi dalam Kalimat Tauhid, kiranya, sudah cukup mendekatkan doktrin Wahdatul Wujud dengan kalimat Tauhid melalui suatu kaidah Logika yang tampak awam sekali, yaitu awlawiyyah (kaidah “Apalagi”),

Mari kita pusatkan fokus pada diksi “tuhan” pada Kalimat Tauhid dengan memulai dari pertanyaan apakah: “Apakah tuhan?”. Apa pun makna dan realitas dipahami dari kata tuhan ini tentulah bukan realitas biasa, tetapi realitas yang luar biasa: Adi-Realitas. Setiap orang yang meyakini sesuatu sebagai tuhan pasti mempercayainya sebagai realitas terutama, tersempurna dan teragung.

Atas dasar itu, maka “Tidak ada tuhan kecuali Allah” berarti “Tidak ada realitas terutama kecuali Allah”. Konsekuensinya, bila realitas terutama selain Allah itu saja sudah dinafikan oleh Kalimat Tauhid ini, apalagi realitas yang bukan terutama bi thariq awla (sudah lebih tentu lagi) ternegasikan, lebih patut dan lebih pasti lagi ketiadaannya.

Dengan kata lain, jika Kalimat Tauhid menganggap tuhan itu tidak ada, sudah barang tentu (apalagi) realitas-reralitas selain tuhan, yakni realitas-realitas yang tidak terutama, tidak teragung dan tidak tersempurna, dianggap lebih tidak ada lagi, yakni lebih pantas diyakini ketiadaannya.

Jadi, paruh pertama dari Kalimat Tauhid sesungguhnya tidak hanya menafikan tuhan, tetapi di dalamnya juga menafikan semua realitas selain tuhan (realitas yang bukan terutama, bukan tersempurna dan bukan teragung). Ini artinya menafikan apa pun selain Allah. Tidak berlebihan bila Kalimat Tauhid dapat juga dibaca demikian, “Tidak ada apa pun, entah itu tuhan atau non-tuhan, kecuali Allah”.

Baca Juga :  Ayat Wahdatul Wujud (1): Al-Kahf [18]: 38, “Aku Dialah Allah”

Dengan demikian tampak jelas doktrin Wahdatul Wujud dalam kalimat Tauhid hanya dengan, sekali lagi, kaidah awlawiyyah, kaidah logika “Apalagi”.

Share Page

Close