• LAINYA

FILSAFAT-ETIKA–Iman adalah bagian terpenting dari kehidupan orang beragama. Iman merupakan ikatan batin pada kebenaran-kebenaran yang bersifat mutlak dan realitas-realitas yang bersifat gaib. Selain keberadaan Tuhan yang Esa, akhirat atau kehidupan setelah kematian adalah realitas yang bersifat gaib dan ditanamkan oleh agama/wahyu sebagai kebenaran mutlak.

Dalam Islam, doktrin tauhid (keberadaan Tuhan yang Esa) dan doktrin kehidupan setelah kematian adalah jawaban atas dua pertanyaan fundamental manusia: dari mana aku berasal dan akan ke mana aku; apa asal hidupku dan apa akhir hidupku? Dua doktrin ini dikapsulkan dalam satu ayat singkat: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (kita milik Allah dan kepada-Nya pula kita kembali). Allah adalah sebab asal-keberadaan dan Dia pula tujuan keberadaan.

Dalam Islam, seseorang itu muslim bila ia juga percaya pada kehidupan setelah kematian. Dia belum berislam selama ragu dan tidak percaya pada kehidupan abadi itu, entah di surga atau di neraka. Lalu, pernahkah menguji atau diuji keimanan kita akan surga? Dan sudah mempersiapkan diri untuk menguji dan diuji?

Siapa yang tidak ingin surga, entah di dunia ini atau di alam sana. Bicara surga berarti bicara masa depan, bicara nasib dan harapan hidup, bicara akhir hidup ini, bicara alasan untuk tetap hidup di dunia meski harus menjalani derita.

Bagi Muslim, tanpa surga sama saja kehilangan alasan untuk bertahan hidup, bekerja gigih dan berjuang mati-matian. Tanpa surga, hidupnya hanya basa-basi, kebahagiaan dan penderitaannya juga basa-basi, bukan hakiki atau, dalam bahasa Alquran, la’ibun wa lahwun (permainan dan senda-gurau).

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِ ۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا ۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu” (QS. Al-Hadid [57]: 20).

Seperti di awal surat Al-Mulk, hidup ini pengujian (bala’); jika tidak menguji diri sendiri secara suka rela, pasti akan diuji oleh pihak luar (orang atau alam) secara terpaksa dan sangat mungkin spontan, tak terduga-duga. Jika tidak siap-siap, kemungkinan besar gagal menghadapi ujian.

Ujian hanya terlaksana dan dialami tatkala seseorang berada dalam masalah, yakni kondisi tak normal, situasi tak wajar, keadaan kondisi terdesak, tertekan, menghadapi pilihan, keputusan dan sikap yang serbasulit.

Saat, misalnya, keuangan kita normal dan baik-baik saja hingga kita mampu dan mudah berbagi dengan orang yang kesulitan, tentu perbuatan mulia ini berbeda nilainya dengan saat kondisi keuangan kita sama-sama sulit.

Pada kondisi kedua inilah pilihan hidup keuangan kita diuji: apakah masih mau berbagi atau tidak? Apakah masih percaya dan memilih imbalan “kredit” dari Allah atau lebih percaya pada uang “kontan” yang terbatas itu di rekening kita?

Ketertekanan dan sulitnya pilihan itu bisa terkait dengan harta milik, kehormatan diri dan keluarga atau, yang paling penting, menyangkut jiwa antara hidup atau mati: mana yang harus dikorbankan dan mana yang harus dipertahankan?

Baca Juga :  Sejarah Negeri Palestina dan Israel dalam Alquran

Dahulu, generasi pertama umat Islam seringkali diuji dan tertekan untuk menentukan pilihan antara hidup dan mati, yaitu tatkala berada dalam situasi diserang, dikepung dan berperang dengan musuh: apakah akan ikut berperang dan berkorban ataukah tetap berada di rumah bersama keluarga.

Peperangan Nabi SAW bersama sahabat berbeda-beda tingkat tantangan dan pengujian untuk tetap beriman dan bersabar. Salah satu pengujian paling dahsyat dan paling menentukan eksistensi Islam dan Muslimin ialah perang Ahzab. Alquran menggambarkan detail keadaan batin Muslimin di peraang itu berikut ini:

اِذْ جَاۤءُوْكُمْ مِّنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ اَسْفَلَ مِنْكُمْ وَاِذْ زَاغَتِ الْاَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوْبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّوْنَ بِاللّٰهِ الظُّنُوْنَا۠ ۗهُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُوْنَ وَزُلْزِلُوْا زِلْزَالًا شَدِيْدًا
“(Yaitu) ketika mereka (musuh) datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika penglihatan(mu) terpana dan hatimu menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu berprasangka yang bukan-bukan terhadap Allah. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sekeras-kerasnya” (QS. Al-Ahzab [33]: 10-11).

Demikian pula keadaan Muslimin di perang Ahzab diungkapkan sebelumnya dalam surat Al-Baqarah:

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَّثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۗ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاۤءُ وَالضَّرَّاۤءُ وَزُلْزِلُوْا حَتّٰى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ مَتٰى نَصْرُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ نَصْرَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ
“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” (QS. Al-Baqarah [2]: 214).

Deskripsi dari dua ayat di atas menerangkan surga hanya diperoleh dengan kesabaran untuk teguh beriman pada janji Allah dan adanya surga serta kebahagiaan hakiki setelah kematian. Kata Sayyidina Ali ra., “Tidak ada harga senilai dirimu kecuali surga. Maka janganlah engkau jual dirimu kecuali dengan surga.”

Ini bukan sekedar kata-kata seorang pemimpin dunia Islam dahulu yang diucapkan lantas diperdengarkan, tetapi itu bagian dari pengalaman hidupnya dalam beriman dan percaya Tuhan. Ayat di Al-Baqarah tadi bagaimana menerangkan Sayyidina Ali sudah mentransaksikan dirinya dengan nilai tertinggi dari surga, yaitu keridhaan dan kecintaan Allah; dia menjual diri dan hidupnya di dunia untuk mendapatkan cinta Allah.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ رَءُوْفٌۢ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk meraih keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (Al-Baqarah [2]: 207).

Para mufasir menyebutkan ayat ini turun mengenai Sayyidina Ali yang mengorbankan nyawanya dengan berbaring di tempat tidur Nabi SAW, menggantikan posisi beliau yang berhijrah meninggalkan Mekkah menuju Madinah di malam yang telah direncanakan oleh pasukan elite Quraisy untuk membunuh beliau di tempat tidur itu.

Ujian iman ini tampak berat dan sukar karena, di antaranya, surga yang dijanjikan dan neraka yang diancamkan itu adalah hal-hal gaib, tidak tampak, masih belum nyata, sementara umumnya orang cenderung percaya pada yang konkret, sudah ada di depan mata dan hadir sesegera mungkin, yakni ingin kontan.

Di ayat Al-Baqarah di atas itu, Allah menjawab penantian Nabi SAW dan para sahabat dengan kata-kata, “dekat”. Artinya, dalam situasi begitu gentingnya, Allah masih menguji iman kaum Muslimin agar percaya pada janji Allah pasti datang, karena kata ‘dekat’ tidak memberikan penjelasan waktu yang definitif. Orang yang tidak sabar akan bertanya, “lalu dekat itu sampai kapan?”

Baca Juga :  Ontologi Manusia (1): Menjelajah Manusia

Dalam ujian ada ketidaktahuan. Semua pengalaman itu menjadi ujian karena Nabi dan para sahabat di perang Ahzab itu adalah manusia-manusia yang tidak tahu kapan pertolongan Allah akan datang. Kata “dekat” tidak menjelaskan secara konkret, tepat dan pastinya. Bagi orang yang rapuh imannya dan rendah kesabarannya akan memahami kata “dekat” ini bahkan dengan makna sebaliknya: jauh, sehingga terasa berat menunggu tibanya pertolongan.

Karena itu, orang beriman diuji agar sempurna imannya sehingga dia mudah bersabar dan bertakawal. Bertawakal yakni berusaha keras dengan sabar dan keyakinan pada tujuannya sekaligus mempercayakan hasil usaha kepada Allah. Tawakal yaitu manusia berencana dan berusaha, Allah menentukan hasil usaha.

فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Kemudian, apabila engkau telah menetapkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang yang bertawakal” (QS. Al Imran [3]: 159).

Dalam tawakal ada semacam ketidaktahuan. Tawakal hanya akan berarti bila seseorang tidak tahu apa yang persisnya akan terjadi. Seperti juga dalam kesabaran, dari satu sisi, ada ketidaktahuan.
Orang yang sudah tahu apa yang akan terjadi tidak akan terdorong untuk lantas bersabar dan bertawakal. Dengan pengetahuan dan sudah tahu, semua jadi tuntas dan selesai.

وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَۙ وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ࣖࣖ
“Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang bersujud (salat), Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu” (QS. Al-Hijr [15]: 97-99).

Ayat ini menerangkan keadaan Nabi SAW yang diuji oleh perlakuan buruk masyarakat, namun beliau terus berusaha konsisten fokus pada Allah dengan tetap bersabar dalam beribadah (berusaha dan berjuang) hingga memperoleh pengetahuan dan keyakinan.

Tawakal tidak sempurna tanpa kesabaran. Dua sifat ini bagaikan dua sayap burung kesuksesan dan kebahagiaan. Bila kesabaran dimulai dari kesungguh-sungguhan yang aktif dalam merancang tekad, berencana dan berusaha sampai datangnya hasil, tawakal juga dimulai bersama dengan dan sepanjang kesabaran.

Orang yang sabar dan bertawakal mempunyai pengetahuan dan keyakinan akan janji pasti Allah di masa depan, pada saat yang sama dia tidak tahu pasti, minimalnya, waktu dan kapan persisnya janji itu terjadi nyata.

Maka, hidup ini ada aspek misteriusnya dan, tentu saja, menghadirkan banyak juga kejutannya. Salah satu kejutan dan surprise besar yang membangkitkan kebahagiaan ialah tercapainya hasil yang didatangkan Allah di luar kalkulasinya, dalam ketidakpastian pengetahuannya tentang waktu tercapainya hasil yang dinantikan dari Allah.

Karena itu, Allah menyebut pertolongan yang dijanjikannya sudah “dekat” untuk Nabi SAW dan kaum Muslimin di perang Ahzab itu merupakan nikmat ‘karunia’ yang patut selalu diingat oleh setiap orang beriman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ جَاۤءَتْكُمْ جُنُوْدٌ فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحًا وَّجُنُوْدًا لَّمْ تَرَوْهَا ۗوَكَانَ اللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرًاۚ
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak terlihat olehmu. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Ahzab [33]: 9).

Baca Juga :  Pandemi dan Argumen Ateis atas Ketiadaan Tuhan (1): Rumusan Argumen

Salah satu medan ringan pembuktian atas kesabaran dan tawakal adalah berdoa. Kembali ke surat Al-Baqarah, ayat 214, di sana Nabi bersama sahabat di perang Ahzab meminta (berdoa) dengan perkataan, “Kapan pertolongan Allah itu [akan tiba]?”, atau dalam Bahasa keadaan kita sekarang, “Kapan keadaan ini Kembali normal, Ya Allah?”

Doa ini juga doa-doa lain yang ditumpahkan di hadapan Allah merupakan ungkapan dari ketidaktahuan dan ketidakberdayaan diri sendiri sekaligus ekspesi dari pengetahuan/keyakinan kita pada kekuasaan, kebijaksanaan dan kecintaan Allah. Karena itu, syarat berdoa adalah iman, sabar dan tawakal.

Ketiadaan atau lemah dalam berpengetahuan, dalam ketidaktahuan, dalam bersabar dan bertawakal akan berpengaruh pada nilai kesungguhan doa-doa kita. Orang yang tidak sabar saja akan menganggap janji pengabulan doa dari Allah tidak lagi dekat, tetapi jauh hingga bisa jadi akan putus asa dari Allah atau, sebaliknya, terlalu percaya diri dengan kekuasaan dan kemampuannya hingga melupakan kebaikan Tuhan Yang Mahakuasa di balik segenap keberhasilannya.

Maka, bukan hanya kesabaran dan tawakal, tahu dan tidak-tahu juga seperti dua sayap yang diperlukan untuk meningkatkan kesabaran dan tawakal. Tingkat kesabaran dan tawakal amat bergantung pada tingkat dan kualitas pengetahuannya.

Semakin tahu-yakin, semakin kokoh sifat kesabaran dan tawakal pada Allah sehingga akan bekerja dan menjalani hidup dengan serius dan semangat.

Lalu, bagaimana bila telah mencapai keyakinan sepenuhnya?

Orang yang berhasil mencapai keyakinan tertinggi, yakni haqqul yaqin, yakin senyata-nyatanya, maka baginya tidak ada lagi kesabaran, tidak ada pula tawakal. Dia sudah tahu realitas yang akan terjadi dan fakta yang sesungguhnya. Dalam keadaan ini, yang dialami hanyalah ridha, senang dan puas pada ketentuan, qadha dan qadar Allah. Seperti yang dikatakan Siti Zainab, cucunda Nabi SAW, “Aku tidak melihat kecuali keindahan.”

Dalam keridhaan pada takdir Allah yang Mahapeduli, Mahakasih dan Maha Bijaksana itu ada kedamaian dan ketenangan. Maka, tidak ada rasa takut, tidak ada rasa sedih. Inilah surga manusia sempurna, sempurna pengetahuannya, sifatnya, amal-usahanya dan imannya.

بَلٰى مَنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهٗٓ اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ ࣖ
“Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih” (QS. Al-Baqarah [2]: 112).

Keridhaan dan kedamaian jiwa manusia sempurna ini terungkap dalam kecintaannya beribadah, yakni menjadi budak Allah dan menghambakan diri hanya demi dan di hadapan Allah. menjadi budak dan menghambakan-diri ditandai dengan ketiadaan kehendak diri sendiri, kekosongan keinginan sendiri. Ketiadaan dan kekosongan kehendak inilah yang diisi oleh kehendak Allah.

Manusia budak-Allah ini hanya akan hidup dalam kebahagiaan kepasrahan-diri, terserah Allah, tergantung kehendak Allah. Keinginan dan pilihannya adalah pilihan Allah. Kepasrahan-diri ini itulah lapisan batin dari islam, ibadah dan menjadi abd-Allah (hamba Allah). Maka, perintah berserah-diri juga berlaku pada orang yang sudah beriman agar masuk ke dalam kepasrahan-diri sepenuh-penuhnya dan menjadi semata-mata budak Allah. Dengan kepasrahan ini dia mencapai derajat tertinggi Islam.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً
“Wahai orang-orang beriman! Masuklah ke dalam kepasrahan-diri secara keseluruhan” (QS. Al-Baqarah [2]: 208).

Share Page

Close