• LAINYA

[arabic-font]وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يَهۡتَدُونَ [/arabic-font]

“Dan tatkala dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah Allah turunkan!’ Mereka berkata, ‘Justru kami mengikuti apa yang membuat puas bapak-bapak kami.’ Apakah seandainya bahkan bapak-bapak mereka itu tidak berakal (memahami) sesuatu dan tidak mendapat petunjuk?!”

(QS. Al-Baqarah [2]: 170)

Hadis

  • Ibn Abbas berkata, “Rasulullah SAW menyeru kaum Yahudi agar masuk Islam; membuat mereka senang pada Islam dan memperingatkan mereka akan azab dan balasan Allah. Namun, Rafi’ ibn Kharijah dan Malik ibn ‘Awf berkata kepada beliau, “ Justru kami, hai Muhammad, mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari bapak-bapak kami; merekalah orang-orang yang lebih tahu dan lebih baik dari kami.” Maka, terkait dengan hal ini, Allah menurunkan ayat, “Dan tatkala dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah Allah turunkan!’ Mereka berkata, ‘Justru kami mengikuti apa yang membuat puas bapak-bapak kami.’ …” sampai akhir ayat (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 2, hlm. 128).
  • Dalam sebuah riwayat yang panjang tentang kedudukan dan fungsi akal, sebagaimana dicatat secara secara marfu’ oleh Hisyam ibn Al-Hakam, Abu Al-Hasan Musa ibn Ja’far [Al-Kadzim] a.s. berkata, ‘Hai Hisyam! Allah tidak mengutus para nabi dan rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya kecuali agar mereka berpikir tentang Allah. Maka, hamba yang paling baik penerimaannya adalah hamba yang paling baik pengetahuannya, dan hamba yang paling tahu akan perkara Allah adalah hamba yang paling baik akalnya, lalu hamba yang paling sempurna akalnya dialah hamba yang paling tinggi derajatnya di dunia dan di akhirat.’” (Abu Ya’qub Al-Kulaini, Ushūl Al-Kāfī, jld. 1, hlm. 16).
  • Riwayat lain dari Imam Ja’far Al-Shadiq a.s. menyebutkan bahwa Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. berkata, “Orang yang belajar agama dari mulut orang-orang akan digelincirkan jatuh oleh orang-orang itu, namun orang yang belajar agama dari Kitab (Al-Quran) dan Sunnah tidak akan binasa sekalipun gunung-gunung hancur.” (Rawdhat Al-Wā‘izdīn wa Bashīrat Al-Mutta‘izdīn, jld. 1 , hlm. 22).
Baca Juga :  Ilmu: Pembentukan dan Kriterianya dalam Tradisi Barat dan Islam

Tadabur

  • Ajaran dan hukum apa pun yang berasal dari Allah niscaya sesuai dengan akal manusia. Adiens utama Al-Quran adalah akal, dan gerbang pertama memperoleh hidayah dan petunjuk adalah berpikir dan menggunakan akal.
  • Islam tidak mengakui seseorang beragama secara taklid (ikut-ikutan). Para mujtahid dan mufti pun, di awal kumpulan buku fatwa mereka, tidak membolehkan taklid dalam ushuluddin (masalah-masalah prinsipal agama). Beragama dengan taklid, sebagaimana diingatkan oleh Imam Ali ibn Abi Thalib a.s., akan rapuh dan tidak bertahan kokoh. Sayang sekali, tidak sulit dijumpai di tengah masyrakat Muslim yang, sebagaimana dalam analisis sosiologis Muhammad Baqir Al-Shadr, merasa telah beriman namun tidak memahami kandungan imannya dan tak mampu menjelaskan serta membuktikan kebenaran prinsip-prinsip agama.
  • Fanatisme kesukuan dan golongan merupakan salah satu faktor yang berpotensi kuat menolak kebenaran.
  • Tradisi dan keyakinan orang tua dan leluhur berpengaruh kuat pada masa depan anak-anak dan generasi mendatang.
  • Jika terdapat pengaruh buruk dan dampak negatif pada tradisi dan keyakinan mereka, sudah sepatutnya mengantisipasi dan menghindari keburukan pengaruh serta dampak tersebut.
  • Orang tua dan leluhur berhak dihormati dan dimuliakan, namun kebenaran lebih utama untuk dihormati dan dimuliakan. Maka itu, jika leluhur dan nenek moyang kita berpendirian tidak berdasarkan akal, kebenaran dan hidayah, mereka tidak layak diikuti dan diteladani, sekalipun pola pikir dan hidup mereka disebut sebagai tradisi dan norma. Islam tidak mengakui penjelasan dan pembenaran apa pun untuk ajaran khurafat dan kebiasaan keliru, kendati dilakukan dan dipertahankan secara turun temurun dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
  • Kalimat dalam ayat, “Apakah seandainya bahkan bapak-bapak mereka itu tidak berpikir (memahami) sesuatu?!” merupakan pertanyaan retorik yang mengkritik cara mereka mengikuti orang tua dan leluhur mereka tanpa kriteria kebenaran. Yakni, jika leluhur kita adalah orang-orang yang berpikir dan memahami sesuatu berdasarkan pengetahuan dan penelitian, ajaran mereka patut diikuti, diteladani dan dipertahankan. Dalam pidato ke-31 dari Nahj Al-Balāghah, Imam Ali a.s. mengatakan, “Ketahuilah, hai anakku, yang paling aku inginkan dari wasiatku yang engkau amalkan ialah bertakwa pada Allah, berfokus pada apa yang telah Allah wajibkan ke atasmu, mengamalkan apa yang telah dijalankan sebelumnya oleh bapak-bapak leluhur dan orang-orang yang shaleh dari keluargamu.”
  • Pada ghalibnya, manusia merasa nyaman dan puas dengan keyakinan leluhur dan ajaran nenek moyangnya sehingga tidak mudah meninggalkannya kecuali ia orang yang berpikir jernih, kritis, dan menimbang pemahaman serta keyakinannya dengan ajaran agama dan Al-Quran yang berasal dari kebijaksanaan dan pengetahuan Allah SWT. Dalam rangka ini pula ayat ini menggali akar-akar psikologis dan sosiologis pemikiran dan keyakinan.
  • Pembinaan akal dan nalar merupakan salah satu bidang terpenting dalam pendidikan yang kurang mendapatkan perhatian. Pada umumnya, pendidikan dilaksanakan sebatas pembinaan moral, pembinaan ibadah dan pembinaan sosial. Padahal, dapat dipastikan bahwa pendidikan akal dan pengembangan intelektual, dari banyak aspek, justru lebih fundamental dan lebih berpengaruh dibandingkan bidang pendidikan dan pembinaan lainnya.
  • Banyak masalah dunia Islam sekarang yang bermunculan akibat dari lemahnya rasionalitas dan intelektualitas umatnya. Bertaklid dan mengikuti orang lain tanpa dasar argumen dan salah satu kriteria utama pendidikan akal merupakan tantangan serius yang semestinya ditangani oleh para penyelenggara pendidikan masyarakat sehingga mereka, dalam jangka pendek, menyusun perencanaan dan langkah-langkah strategis dalam upaya mengatasinya.
  • Dapat diamati bagaimana seluruh kata kerja dalam ayat ini berbentuk plural. Bentuk ini menampilkan suatu fenomena sosiologis yang, dalam analisis sosiologis, patut dipertimbangkan dan dimanfaatkan dalam menganalisis dan menilai gejala sosial terkait dengan pendirian, keputusan dan keberpihakan.[ph]

Share Page

Close