• LAINYA

 [arabic-font]إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ[/arabic-font]

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan.”

QS. Al-Fatihah [1]: 5)

Tadabur

  • Telah dikemukakan sebelumnya (lihat Bagian Pertama), beribadah dan menghamba diri yaitu menyerahkan segenap wujudnya kepada Allah, melenyapkan seluruh keinginannya dalam kehendak Allah, menjadikan penghambaan diri sebagai puncak cita-cita hidupnya yang mengungguli semua harapannya dan menjadi pusat penantiannya. Ibadah dan kehambaan diri merupakan dasar pertimbangan dan keputusan seorang muslim. Ini jelas bertolak belakang dengan mengantungkan gereget jiwa, hasrat dan pikirannya pada uang, barang, nafsu, jabatan, dan popularitas.
  • Kita tidak hanya mengatakan, “Kepada Engkaulah kami menyembah”, tetapi kita secara tegas dan terbatas mengatakan, “Hanya dan hanya kepada Engkaulah kami menyembah.” Kita beriman pada Allah SWT, tetapi juga kita sesuka hati menempatkan uang, harta, nafsu, gelar, dan jabatan sebagai tujuan hidup. Kita tak lagi malu pada diri sendiri telah menyejajarkan hal-hal kecil itu dengan Allah. Penyejajaran ini satu bentuk perilaku syirik (lih. QS. Yusuf [12]: 106). Tidak aneh bila kita beribadah dan menyembah Allah dalam keadaan syirik dan merasa diri besar (lih. Ghafir [40]: 60).
  • Ibadah dan penghambaan diri sebagai tujuan utama bukan berarti mencampakkan hal-hal duniawi dan menjauhkan diri dari kehidupannya. Manusia sudah dikodtratkan Allah hidup di dunia sebagai ladang untuk beramal dan menuai hasilnya di akhirat. Harta, nafsu, gelar, jabatan dan semua hal duniawi bernilai sejauh menunjang kehidupan akhirat, yakni sebagai alat penghasil kebahagiaan akhirat, bukan alat penghasil dunia semata apalagi menjadi tujuan hidup. Maka itu, bekerja dan memakmurkan kehidupan dunia sangat dianjurkan sebagai bentuk jihad di jalan Allah, yakni di jalan kesempurnaan akhirat.
  • Jika hal-hal duniawi itu hanya bernilai sebagai alat dan sarana, di manapun dan kapanpun kita dihadapkan pada dua pilihan: antara Allah dan dunia, dengan mudah kita memilih yang pertama dan meninggalkan yang kedua. Keberatan dan kebingungan kita dalam memilih salah satunya merupakan tanda lemahnya iman atau, dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 143, disebut sebagai tanda kemunafikan.
  • Dalam ayat disebutkan, “dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan.” Dalam ibadah dan menyembah Allah akan dengan mudah dimengerti Allah sebagai tujuan dan dunia sebagai sarana. Tetapi menempatkan dunia sebagai sarana bukankah menganggapnya sebagai bantuan? Apakah memanfaatkan dunia juga berarti memohon bantuan kepada selain Allah, yakni kepada dunia? Tidakkah ini bertentangan dengan ayat? Dalam budaya al-Quran, sebagaimana di awal QS. Al-Fatihah [1]: 2, semua alam dan makhluk adalah milik Allah dan, karena itu, segala puji hanyalah milik-Nya, berasal dan kembali kepada-Nya. Maka pada semua entitas, alam dan makhluk terdapat tanda nyata kebesaran Allah. Keberadaan segala sesuatu berikut efek dan fungsi kegunaan mereka bergantung sepenuhnya pada kekuasaan dan kehendak Allah [QS. Al-Jatsiyah [45]: 13). Maka, keberadaan dan keberlangsungan dunia beserta efek dan fungsinya sebagai alat dan sarana untuk tujuan luhur manusia juga bergantung pada dan bersumber dari Allah. Oleh karena itu, membatasi permohonan bantuan dari Allah yaitu menegaskan keimanan kita pada Allah sebagai sumber karunia, bantuan dan pertolongan (lihat kisah Nabi Ibrahim dan kesembuhan dirinya dalam QS. Al-Syu’ara’ [26]: 79 – 80).
  • Kebanyakan kita begitu tanggap dan peka terhadap syirik dalam ibadah hingga sebagian muslim menuduh syirik muslim lain hanya sekedar ia bertabaruk, berziarah dan membacakan doa dan salawat kepada Nabi SAW. Tetapi mereka itu justru tidak peduli degan syirik dalam meminta bantuan. Tunduk pada kekuasaan zalim dan jahat adalah syirik dalam ibadah. Demikian pula, meminta bantuan kepada rezim despotik dan penindas adalah juga syirik dalam memohon bantuan. Bahkan, meminta bantuan kepada orang saleh dengan kesadaran “pertama adalah Allah, barulah yang kedua bapak” juga syirik dalam isti’anah (meminta bantuan). Cara seperti ini bukan pola beragama Islam; ini bertentangan dengan nilai tauhid. Orang beriman adalah muslim yang percaya pada Allah sebagai Yang Pertama dan Yang Terakhir (QS. Al-Hadid [57]: 3). Jika kita memberi bantuan dan menyelesaikan urusan orang lain, itu karena Allah membuat kita berbuat demikian untuk orang itu. Jika Allah tidak menghendaki, api pun tidak akan panas dan tidak lagi membakar (QS. Al-Anbiya’ [17]: 69). Sebaliknya, sekaya apa pun kita, jika di luar kehendak Allah, tidak ada artinya untuk kebaikan kita. Betapa banyak orang kaya tetap saja hidupnya hampa, tidak bahagia dan tersiksa oleh berbagai pikiran dan masalah.
  • Karena semua dari dan karena Allah SWT, tidak sepatutnya kita merasa baik apalagi ujub dan sombong dengan berbuat baik kepada orang lain. Demkian atas dasar keimanan itu pula, tidak sepatutnya kita takut berlebihan hingga putus asa dari pertolongan Allah dalam menghadapi masalah. “…. dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan” merupakan kalimat tauhid yang membangun diri agar tetap seimbang dan sadar-diri; tidak merasa diri sudah sempurna sehingga tidak berusaha menjadi lebih baik lagi; juga tidak merasa diri hancur hingga putus asa dan jalan di tempat (lih. QS. Al-Hadid [57]: 22 – 23).[ab]

Share Page

Close