• LAINYA

FILSAFAT-HUKUM–Berdasarkan kaidah hukum agama, tidak ada satu fenomena manusiawi, yakni tindakan bebas manusia, kecuali ada hukumnya. Tidur bahkan diamnya Anda itu ada hukumnya. Maka, setiap tindakan ada kalkulasi hukum dan peraturan Tuhan dan, dalam tata hukum Islam, kalkulasi itu tidak keluar dari lima jenis hukum: wajib, haram, sunah, makruh dan mubah.

Seperti berpikir, berniat dan bicara, berfilsafat dan belajar atau mengajar filsafat adalah tindakan bebas yang, tentu saja, lebih serius dari tidur dan melamun. Jika hukum belajar (mencari ilmu), menurut agama (Islam), itu wajib, apakah lantas bisa disimpulkan bahwa belajar filsafat itu juga termasuk kewajiban belajar?

Faktanya, banyak fuqaha (ahli hukum Islam) yang, bukan hanya memubahkan, bahkan mengharamkan filsafat dan mempelajari filsafat. Di antara nama yang paling keras mengharamkan adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Shalah dan Imam Suyuthi. Sebalum mereka semua, Imam Ghazali bahkan mengkafirkan filosof Muslim.

Namun perlu dicatat, tidak seperti tiga nama sebelumnya, Imam Ghazali membantah filsafat setelah dia mempelajari ilmu rasional itu sebagai usahanya memastikan dirinya paham sebelum mengkritik. “Orang yang berbicara tanpa pemahaman telah keluar dari kemanusiaan.” Dengan kata-kata ini, Ibnu Sina yang dikafirkan Imam Ghazali itu hanya menghukum bukan lagi manusia (binatang) orang yang mengkritik tanpa mempelajari untuk memahami apa yang dikritiknya. Coba saja rasa-rasakan, mana yang lebih ekstrem: menghukum kafir atau menghukum binatang.

Tentu, “banyak” bukan berarti semuanya. Ada juga di kalangan fuqaha yang membolehkan belajar dan mengajarkan Filsafat. Salah satunya ialah Abul Walid Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi al-Andalusi bergelar Imam Qadhi, masyhur dengan nama Ibnu Rusyd atau, di Barat dikenal dengan, Averroes (1126-1198). Kendati lebih populer dengan kesarjanaan filsafatnya sebagai tokoh utama filsafat Peripatetisme (Aristotelian) di dunia barat Islam, namun ia juga diakui sebagai faqih, ahli hukum Islam.

Baca Juga :  Ibnu Taimiyah dan Ibnu Athaillah: Dialog Santun dan Klarifikasi antara Faqih dan Sufi

Siapa yang tidak kenal dengan filosof polimath Spanyol dan ahli hukum bermazhab Maliki ini. Posisi Ibnu Rusyd sebagai hakim agung di Andalusia dan karya fiqih textbook komparatifnya, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, sudah cukup mengokohkan kompetensi dirinya sebagai salah satu elite penguasa bidang hukum agama.

Pada hemat Ibnu Rusyd, berfilsafat tidak hanya boleh, bahkan wajib hukumnya; wajib belajar dan mempelajari filsafat. Ini ia nyatakan dalam rangka merespon fatwa dan isu haramnya filsafat dalam salah satu karya kecil sekaligus penting, Fashl al-Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal.

Tepatnya di halaman 89 cetakan Beirut, 1971, ia membawakan argumen dengan metode standar yang digunakan oleh kalangan fuqaha. Artinya, berdasarkan sumber utama hukum Islam yang juga diacu oleh para fuqaha pengharam Filsafat, yakni Alquran, Ibnu Rusyd justru menyimpulkan sebaliknya: filsafat itu wajib adanya dan wajib dipelajari.

Berdasarkan banyak ayat, filsafat tidak bertentangan dengan syariat (agama), filsafat justru shahibah ‘teman’ dan ukh radhi’ah ‘saudara susuan’ agama. Maka, mempelajari filsafat tidak kurang wajibnya dari belajar akidah dan hukum agama.

Menurut Ibnu Rusyd, filsafat tidak lain adalah memikirkan alam dan makhluk; semakin sempurna pengetahuan muslim tentang makhluk, semakin sempurna pengetahuannya tentang Pencipta, karena makhluk (ciptaan) sendiri mencerminkan Pencipta.

Di sisi lain, syariat (agama Islam) telah mengulang-ulang seruannya melalui sumbernya yang paling autentik dan palingkredibel, yakni Alquran, kepada manusia agar memikirkan makhluk, merenungkan fenomena alam, dari yang kecil hingga yang besar, dari yang lahir hingga yang batin:

فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الأبْصَارِ

“Maka pelajarilah, whai orang-orang yang memiliki pandangan!” (QS. Al-Hasyr [59]: 2).

اَوَلَمْ يَنْظُرُوْا فِيْ مَلَكُوْتِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍ

Baca Juga :  Fiqih Perang dan Damai dalam Syariat Islam, Karya Haidar Hubbullah

“Tidakkah mereka memikirkan kerajaan lelangit dan bumi serta segala sesuatu yang Allah ciptakan” (QS. Al-A’raf [7]: 185).

اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْۗ وَاِلَى السَّمَاۤءِ كَيْفَ رُفِعَتْۗ 

“Tidakkah mereka memikirkan unta bagaimana diciptakan, dan langit baghaimana ditinggikan?!” (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 17-18).

Tidak hanya dorongan kuat ayat-ayat dengan narasi normatif, Alquran juga menunjukkan tokoh dan pola berpikir dan berfilsafat, seperti deskripsi Alquran (QS. Al-An’am [6]: 75-79) tentang upaya panjang Nabi Ibarahim menemukan Tuhan melalui pemikiran serta pengujian filosofisnya atas berbagai fenomena alam.

وَكَذٰلِكَ نُرِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ

“Dan begitulah kerajaan langit dan bumi Abraham; Dan demikianlah Kami tunjukkan kepada Ibrahim kerajaan lelangit dan bumi dan agar dia menjadi termasuk orang-orang yang yakin” (QS. Al-An’am [6]: 75).

Berdasarkan ayat-ayat di atas dan ayat-ayat serta hadis-hadis serupa, Ibnu Rusyd lantas menyimpulkan bahwa filsafat adalah bagian dari pelaksanaan kewajiban agama mencari kebenaran dan mempelajari ilmu. Karena wajib hukumnya, maka memulai belajar filsafat dan membaca buku filsafat dengan niat mulia, yaitu mengenal lebih baik lagi asal dan tujuan hidup, yakni Tuhan, adalah ibadah dan berpahala.

Apakah hukum wajibnya berfilsafat ini berlaku pada setiap orang, pada kita semua? Apakah, dengan begitu, pahala berfilsafat lebih besar di atas ziarah, umrah sunnah, shalat dan puasa mustahab? nantikan penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya.

Share Page

Close