• LAINYA

TOKOH–Dalam tradisi keilmuan Islam, faqih dikenal sebagai ulama yang menguasai hukum-hukum dzahir Islam, sementara sufi ulama yang fokus pada lapisan batinnya. Dalam sejarahnya, hubungan antara faqih dan sufi, sekilas, seperti air dan api. Kesan ini bagi sebagian sufi dan faqih.

Ada faqih yang anti tasawuf hingga mengkafirkan sufi. Ada juga sufi yang tak peduli dan menyelekan fiqih hingga menghalalkan yang haram. Tapi kebanyakan sufi taat fiqih, juga sebaliknya: banyak faqih yang mengamalkan tawasuf dan jadi sufi.

Kendati banyak ketegangan di antara sufi dan faqih, tapi tidak banyak dijumpai perdebatan yang terekam dalam literatur. Beruntung ada sedikit laporan perdebatan cukup detail yang diperankan, tidak tanggung-tanggung, oleh dua ulama representatif faqih dan sufi: Ibnu Taimiyah dan Ibnu Athaillah Al-Sakandari.

Yang pertama adalah faqih ternama yang lahir pada 660 H di kota Harran, Suriah (w. 728 H), dan yang kedua adalah sufi besar yang lahir pada kisaran 658 H di kota Iskandariah (Alexandria), Mesir (w. 709 H). Kedua-duanya sangat produktif menulis karya, kendati bila dilihat dari karya mereka, tampaknya Ibnu Taimiyah lebih gigih dan keras daripada Ibnu Athaillah yang lembut dan santun. Namun, dalam dialog mereka di bawah ini, kesan itu pudar.

DIALOG DAN KRARIFIKASI ADALAH TRADISI ULAMA

Debat ini banyak dicatat dalam berbagai karya, meski sebagian meragukan otentisitasnya. Setidaknya, kontroversi Ibnu Taimiyah dan Ibnu Athaillah itu dicatat oleh penulis biografi serta kamus biografi, Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir dalam Ushul al-Wushul. Bagaimana ceritanya? Berikut ini:

Ibnu Taimiyah 7 kali dipenjara oleh penguasa. Salah satunya, ia dijebloskan oleh sultan di Aleksandria. Ketika sultan di sana memberi ampunan, Ibnu Taimiyah keluar dari tahanan dan kembali ke Cairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al-Ahzar untuk salat Maghrib yang diimami oleh Ibnu Athaillah.

Selepas shalat, Ibnu Athaillah terkejut menemukan Ibnu Taimiyah sedang berdoa di belakangnya. Sambil tersenyum, syaikh sufi itu menyambut ramah kedatangan syaikh faqih ini seraya berkata, “Assalamualaikum, ya Syaikhul Islam!” Selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamunya yang kesohor dan dikenal keras mengkritik praktek-praktek menyimpang sebagian sufi.

Ibn Athaillah: Biasanya saya salat di masjid Imam Husein dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut Anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku, wahai sang faqih, apakah Anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?

Ibn Taymiyah: Aku tahu, Anda tidak bermaksud buruk terhadapku. Tapi perbedaan pandangan di antara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apa pun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan siapapun yang berbuat buruk terhadapku.

Ibnu Athaillah: Apa yang Anda ketahui tentang aku, wahai Syaikh Ibnu Taimiyah?

Ibnu Taimiyah: Setahuku, Anda adalah orang saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Tidak ada orang sebagaimana Anda, baik di Mesir maupun Suriah yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Tapi, bagaimanapun juga, kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang Anda ketahui tentang saya? Apakah Anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran (praktek) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah (istighatsah)?

ULAMA YANG TAK BERHATI BERSIH ADALAH AHLI FIQIH BASA-BASI WANITA–Ibnu Arabi

Ibnu Athaillah: Tentu saja, sahabatku, Anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat, dan bahwa Rasulullah SAW adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.

Ibnu Taimiyah: Mengenai hal ini, saya berpegang pada sunnah Rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi, “Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat”. Dalam Alquran juga disebutkan, “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji” (QS. Al Isra [17]: 79). Maksud dari “tempat terpuji” adalah syafaat.

Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya, “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan! Ampuni dosa-dosa ibundaku, Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusan-Mu, dan para nabi sebelumku, karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.

Inilah syafaat yang dimiliki Rasulullah SAW. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah merupakan suatu bentuk kemusyrikan. Rasulullah SAW sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.

Baca Juga :  Realitas Manusia dalam Kebijaksanaan Luhur (4): Kesatuan Struktur Manusia

Ibnu Athaillah: Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah SAW kepada sepupunya, Ibnu Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui hubungan darahnya dengan Rasul, melainkan dengan ilmu pengetahuan.

Sedangkan mengenai pemahaman Anda tentang istighasah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang Anda pandang sebagai perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada Anda, ”Apakah ada muslim yang beriman pada Allah dan rasul-Nya lalu dia berpendapat bahwa ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkan-Nya berkenaan dengan dirinya sendiri?”

”Apakah ada mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk selain dari Allah?

Di samping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai teks yang tak bisa dimaknai sebatas bunyi harfiahnya. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya dari Allah.

Ini sebagaimana jika Anda mengatakan, “Makanan ini memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera Anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan itu?

Sedangkan pernyataan Anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain Diri-Nya untuk mendapat pertolongan, pernahkah Anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah?!

Ayat Alquran yang Anda rujuk berkenaan dengan kaum musyrik dan mereka yang memohon kepada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi muslim yang meminta pertolongan Rasul adalah dalam rangka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan derajat (hak) Rasul yang diterimanya dari Allah dan memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada Rasul-Nya.

Sementara itu, jika Anda berpendapat bahwa istighasah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.

(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).

Ibnu Athaillah melanjutkan: Saya kenal betul dengan segala keterbukaan dan gambaran mengenai mazhab fiqih yang didirikan oleh guru utama Anda, Imam Ahmad [bin Hanbal], dan saya tahu betapa luasnya pandangan fiqih serta kokohnya prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan yang Anda pegang, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang Anda pikul selaku seorang ahli fiqih.

Namun, saya menyadari bahwa Anda juga dituntut mengggali di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung di balik harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus jasad fisik untuk menjangkau hakikat terdalam.

Kini Anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan Anda terhadap karya Ibn Arabi, Fushush Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh Islam).

Ketika Syaikh al-Islam Al-Izz ibn Abdul Salam memahami apa yang sebenarnya diucapkan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya di balik ungkapan simboliknya, ia segera memohon ampun kepada Allah SWT atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibnu Arabi sebagai Imam Islam.

Sedangkan mengenai pernyataan Al-Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu Anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh pembicaranya sendiri.

Lalu, Ibnu Athaillah bertanya: Apa pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?

Ibnu Taimiyah: Dalam salah satu hadisnya, Rasul SAW bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali-lah gerbangnya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat Nabi yang paling sempurna, semoga Allah membalas kebaikannya! Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah Alquran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.

Ibnu Athaillah: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad SAW, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka ditemukan?

Baca Juga :  Injil Usia 1.500 Tahun Ditemukan, Afirmasi Berita-berita Al-Quran

Ibnu Taimiyah: Berdasarkan fatwa ini, saya memerangi mereka di pegunungan Suriah selama lebih dari 10 tahun.

Ibnu Athaillah: Dan Imam Ahmad, semoga Allah meridainya, mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis-gadis penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan. Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut.

Konsekuensinya, para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?

ANDA HARUS MENEMBUS MAKNA LITERAL UNTUK MENJANGKAU HAKIKAT TERDALAM.

Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi juga tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang membebaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Saya harap Anda telah memahami hal ini.

Ibnu Taimiyah: Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi, ada yang menyatakan bahwa ketika Rasulullah SAW memberitakan khabar gembira kepada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka.

Maka, Jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada Rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu. Selanjutnya Jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum fakir-miskin.

Ibnu Athaillah: Tidak semua sufi mengenakan jubah dan berpakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan! Apakah Anda tidak setuju dengan penampilan saya ini?

Ibnu Taymiyah: Tetapi Anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.

Ibnu Athaillah: Ghazali adalah seorang imam syariat juga tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli hukum agama.

Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang Anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan hukum agama, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya Al-Risalah.

Di dalamnya, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan jalan spiritual.

Kelompok di atas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan dirinya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasul-Nya. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, bersih dan bahagia. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.

Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian Anda terhadap Ibnu Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesalehannya.

Anda tentunya mengerti bahwa Ibnu Arabi menulis dengan gaya simbolik, sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolik yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.

Ibnu Taimiyah: Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk Anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya menyimpang dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk meluruskan mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kita yang saleh dan terdahulu: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.

Baca Juga :  Realitas Manusia dalam Kebijaksanaan Luhur (5): Individualitas dan Identitas

Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu dengan-Nya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh anda, teranglah itu perilaku ateis dan kafir.

Ibnu Athaillah: Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud Al-Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi Anda tentang hukum Islam, wahai pengikut Hanbali! Tetapi meskipun Ibnu Arabi seorang Zhahiri (meahami hukum Islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna batin guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).

Meskipun demikian, tidak seluruh pengikut mengartikan sama apa-apa yang tersembunyi. Agar Anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan Anda mengenai Ibnu Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung Alquran dan Sunnah, sama seperti Hujjatul Islam Ghazali, yang memulai perdebatan seputar perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.

Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah Anda setuju, wahai faqih? Atau Anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.

Sejalan dengan ucapan itu, Ghazali berpendapat bahwa cara tercepat mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan fisik. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang, melainkan dengan menyimpan dalam jiwa, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.

Sesungguhnya ahli hukumlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun menyangkal pandangannya. Bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulum al-Din nyaris setara dengan Alquran. Dalam pandangan Ibnu Arabi dan Ibnu Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.

Karena apalah arti duduk berdirinya Anda dalam sholat sementara hati Anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hamba-Nya dalam Alquran, ”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya”; dan Dia mengutuk dalam firman-Nya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam salatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu Arabi saat mengatakan, “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.

Seorang muslim tidak akan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Alquran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian, Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.

Seseorang yang tulus akan menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhi-Nya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibnu Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).

Ibnu Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkan Anda karena telah menjadi salah satu dari mereka!

Pernahkan Anda membaca pernyataan Ibn Arabi, ”Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari argumen logis, melainkan tercurah dari lubuk hati.” Adakah pernyataan yang seindah ini?!

Ibnu Taimiyah: Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.” Referensi selengkapnya klik di sini!

Share Page

Close