• LAINYA

ETIKA—Tidak jarang sebagian muslimah ragu untuk memutuskan menyelesaikan sisa hidupnya dengan berbusana muslimah, mengenakan hijab syar’i. Semua menyadari wajibnya berbusana muslimah, sekali lagi, berhijab syar’i bagi setiap muslimah. Dalam keadaan bimbang atau belum mantap, kadang-kadang muncul alasan, misalnya, “menunggu panggilan Allah”, atau “Allah masih belum menghendaki”.

Terlepas dari alasan lain, alasan ini saja sesungguhnya pengakuan dan kesadaran bahwa tidak berhijab syar’i itu salah, menyalahi hukum Alquran. Namun, alih-alih komit pada kesalahan diri sendiri dan memperbaikinya, malah melemparkan kesalahan kepada Allah. Dengan alasan itu seolah ia hendak mengatakan, yang membuat aku begini adalah Allah.

Ia, dengan alasan seperti ini, seperti tidak mensyukuri dirinya ditakdirkan Allah sebagai manusia, makhluk terbaik karena akalnya hingga tahu kebenaran dan karena kehendaknya hingga memilih, memutuskan dan berbuat yang berbaik. Jika urusan berhijab saja dipulangkan kepada Allah, maka ayat kewajiban berhijab dan semua ayat perintah-larangan jadi tidak berlaku pada manusia, seolah-olah Allah sedang mewajibkan ke atas Diri-Nya sendiri.

Sebelum tulisan ini berakhir akan tampak bahwa alasan seperti ini sesungguhnya, kalau bukan sekedar kata-kata di mulut atau lintasan sesaat dalam pikiran, justru penolakan atas takdir, ketetapan dan kehendak terbaik Allah untuk manusia.

KEHENDAK ADALAH ESENSI MANUSIA.

Alasan yang mirip sama juga sangat bisa dialami oleh kebanyakan orang. Bukan hanya soal berhijab, bisa juga alasan itu terbetik di pikiran, terlintas dalam hati, sebagai pembelaan dan pembenaran diri atas kemalasan untuk segera bertaubat, segera berhenti dari kebiasaan buruk, tidak lagi menunda-nunda menunaikan zakat, naik haji dan kewajiban lainnya. Ada juga yang menggunakan alasan “menunggu panggilan Allah” dalam menghadapi situasi memilih antara masuk Islam atau tidak.

Konon, kasus terakhir ini dialami bahkan oleh ilmuwan sehebat George Jordac (1931-2014) penulis yang disegani di dunia Arab, tepatnya setelah ia menerbitkan satu buku 5 jilid di bawah judul, Al-Imam Ali wa Shawt al-‘Adalah al-Insaniyyah (Imam Ali dan Suara Keadilan Manusia). Bagi umat Islam, buku ini lebih menarik lagi karena dikarang oleh seorang penulis dari umat Kristen, tetapi ia begitu fasih dan mendalam menggali lapisan-lapisan sosok sahabat terbaik Nabi SAW, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.

Dengan menulis buku itu, Jordac sesungguhnya telah menempatkan dirinya sebagai salah satu komentator buku yang mengkompilasi pidato-pidato, surat-surat, kata-kata kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib ra., penghimpunan pertama yang digagas oleh Syarif Radhi, ulama besar abad IV, dan dijuduli dengan nama Nahj Al-Balaghah.

Bukan hanya lebih menarik, buku ini dan status penulisnya sebagai penganut Kristen sekaligus mengundang sedikit banyak kebingungan kebanyakan orang Islam. Boleh jadi, di antara kaum Muslimin bertanya-tanya: Jordac yang sudah menulis nilai-nilai keadilan manusia di cermin ajaran Islam dan salah satu figur besarnya, Ali bin Abi Thalib ra., tentu dia lebih dekat dan jelas melihat kebenaran Islam. Lantas, kenapa dia tidak menjadi muslim?!

Jordac hanyalah satu kasus. Pertanyaan dan kebingungan ini boleh jadi ulangan dari pertanyaan yang sama jauh sebelum kelahiran dirinya dan karyanya itu. Ada banyak orang yang pakar, sarjana-sarjana islamolog yang pekerjaan profesional mereka meneliti dan meneliti Islam, Nabi Muhammad, dan kitab suci Alquran dengan keberhasilan mereka menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang mengagumkan dan menguatkan kebenaran Islam.

Baca Juga :  QS. Al ‘Imran [3]: 139; Merasa Diri Lemah, Kecil dan Rendah, Tanda tidak Beriman

Sekali lagi, kenapa pakar-pakar itu, yang telah menyatakan kekaguman dan pengakuan atas kebenaran Islam, Nabi dan Alquran, tidak juga menjadi muslim dan beriman pada Islam?

KARENA AKAL DAN KEHENDAK BEBAS, ADA SUKSES DAN GAGAL, ADA UJIAN DAN TANGGUNG JAWAB, ADA SURGA DAN ADA NERAKA.

Jawaban Jordac hampir sama dengan alasan muslimah yang masih ragu berhijab syar’i itu, mirip dengan alasan orang kaya muslim yang masih menunda naik haji, yaitu “belum ada panggilan Allah; Yang Di-Atas belum menghendaki!”

Ini terungkap dalam dialog antara Jordac sendiri dan seorang mufti sufi di Negeri Mullah, Iran, sekaligus sufi bernama Ayatollah Bahjat. Sebagai muslim sangat mengagumi buku Nahj Al-Balaghah, sufi-mufti itu mengungkapkan kekagumannya terhadap karya Jordac itu. Dalam suatu pertemuan, ia bertanya kepada Jordac, “Berapa kali Anda mengkhatamkan Nahj Al-Balaghah?”

Kekaguman itu dapat dirasakan lebih kuat lagi tatkala Jordac menjawab, “Saya sudah khatam membaca Nahj Al-Balaghah sebanyak 200 kali.” Luar biasa! Tidak setiap orang Muslim berhasil membaca habis buku itu, bahkan sekali saja. Pada titik ini, pertanyaan di muka kembali muncul dan, kali ini, diungkapkan oleh sang mufti, “Kalau begitu, kenapa Anda tidak menjadi muslim?!”

“Menjadi muslim bukan di tangan saya,” begitu Jordac menjawab.

Benarkah perubahan diri itu bukan di tangan diri sendiri? Benarkah keputusan orang menjadi baik atau buruk di luar kehendak dan kuasa dirinya? Lebih luas lagi, benarkah mengubah kehidupan berbangsa dan bernegara hanya berada di tangan Allah dan sama sekali bukan tanggung jawab warga dan elemen bangsa? Dapatkah kuasa dan hak manusia menentukan nasibnya dipandang sebagai penghargaan karuniawi yang diberikan Allah kepadanya?

Tampak sepintas pandangan demikianlah faktanya. Menjadi orang yang beriman itu tidak di tangan dirinya sendiri, yakni tidak berada dalam kekuasaan dirinya, bukan pilihan dan kemauan subjektif dirinya. Beriman dan menjadi muslim hanya akan terjadi pada seseorang setelah menunggu kedatangan intervensi pihak lain, yaitu Allah SWT.

Karena itu, sebagian orang, atas dasar ini, menyimpulkan bahwa seorang muslim tidak benar berdakwah, bertabligh, dan mengajak non-muslim agar menjadi muslim, berusaha memuslimkan orang yang tidak seiman-Islam dengannya. Kesimpulan ini bisa diperluas hingga dijadikan argumen untuk tidak beramar makruf dan bernahi munkar, yakni melegalkan sikap acuh dan masa bodoh terhadap gejala buruk dalam masyarakat.

Boleh jadi, ada teks-teks agama yang bisa dibawakan untuk mendukung kesimpulan tadi. Di antaranya, keinginan Nabi agar orang-orang yang dicintainya menjadi beriman dan muslim, lalu Allah SWT mengingatkan:

Sesungguhnya kamu tidak memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki (QS. Al-Qashash [28]: 56).

Tampak jelas bahwa mendapat petunjuk dan menjadi muslim adalah kehendak Allah kepada siapa saja Dia akan memberikan hidayah dan iman kepada orang-orang yang Dia kehendaki.

Dapat disimpulkan bahwa, mengenai menjadi muslim dan beriman pada Islam, ayat ini mengafirmasi intervensi kehendak Allah pada keimanan orang dan menegasikan intervensi nabi atau pihak lain dari berimannya orang itu. Tetapi perlu dicatat tebal selanjutnya bahwa ayat ini juga tidak menegasikan intervensi kehendak orang itu sendiri untuk menjadi beriman-muslim atau tidak.

Baca Juga :  Toleran dan Intoleran: Dua Praktik Beragama yang Sama-sama Radikal

Ayat ini jelas sekali menegasikan intervensi pihak lain, termasuk kehendak semulia nabi, dari perubahan hati orang lain untuk menjadi muslim dan menjadi muslim yang taat. Tetapi ayat yang sama juga, sekali lagi, tidak menafikan intervensi kehendak orang itu sendiri sebagai salah satu sebab perubahan hati dan pilihan dirinya sendiri.

وَقُلِ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
“Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir'” (QS. Al-Kahfi [18]: 29).

Allah mentakdirkan setiap orang sebagai makhluk berkehendak. Kita berkehendak adalah takdir Allah. Dan kehendak ini landasan kebebasan; berkehendak berarti bebas. Maka, mentakdirkan kita berkehendak sama artinya mentakdirkan kita hidup dan berbuat bebas sesuai kehendak, dari mulai berbusana hingga keputusan bertaubat dan menunda taubat. Karena ada kebebasan, maka selanjutnya ada tanggung jawab.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra’ [17]: 36).

Melihat dan mendengarkan saja, dua perbuatan paling enteng, ada pertanggungjawaban, karena memang didasarkan pada kehendak bebas kita. Keputusan hati juga demikian.

Lalu, bagaimana dengan mengubah iman? Sama saja, Allah mentakdirkan kita untuk, dengan kehendak dan kebebasan kita sendiri, tetap beriman atau mengubah iman. Tentu, sesuai keadilan dan kebijaksanaan Allah, setiap kebebasan ada pertanggung jawaban.

Iman bertempat di hati, bukan di kepala, bukan pula di akal pikiran. Beriman dan menetapkan diri menjadi muslim adalah ketetapan hati seseorang. Tidak seperti kandungan akal, yakni pengetahuan, yang bersifat objektif, kandungan hati sangat personal dan subjektif sehingga tidak ada yang bisa menjangkau dan membaca hati seseorang kecuali orang ini sendiri dan pencipta hatinya, yakni Allah. Selanjutnya, perubahan dan keputusan hati pun tidak terjadi karena kekuatan orang lain, bahkan nabi sekalipun. Itu semua berada di tangan orang itu dan penciptanya.

Maka, menjadi muslim adalah ketetapan dan kehendak Allah SWT, yakni takdir Allah, pada seseorang. Di sini muncul isu Kalam Klasik, bagaimana Tuhan dan manusia sama-sama menentukan suatu kejadian seperti perubahan seseorang menjadi muslim dan beriman? Apakah kehendak manusia membatasi dan menyita “ruang” kehendak Tuhan?

TAKDIR ALLAH TELAH MENETAPKAN KEHENDAK BEBAS MANUSIA SEBAGAI SALAH SATU “SEBAB” TERJADINYA PERBUATAN BEBAS DIRINYA SENDIRI.

Secara singkat, dua kehendak ini: kehendak Tuhan dan kehendak manusia, tidak sejajar, tidak berada sebagai dua kekuatan kehendak yang saling berhadapan. Dua kehendak ini berada sejulur dan sebangun; yang satu searah yang lain.

Dalam kejadian apa pun, pasti ada kehendak atau takdir Tuhan. “katakanlah bahwa seluruhnya adalah dari Allah” (QS. Al-Nisa’ [5]: 78). Namun agar digarisbawahi selanjutnya bahwa kehendak Tuhan Yang Maha Bijaksana tidak sama berlaku pada setiap kejadian.

Seperti kita, manusia, tidak sama memperlakukan segala sesuatu. Sebagai manusia berakal sehat, kita akan memperlakukan segala sesuatu sesuai kapasitasnya masing-masing. Pada kasus kecil saja, misalnya, cara kita jadi berbeda dalam mengubah posisi batu sebagai benda mati dan posisi anak remaja sebagai makhluk hidup, akil baligh dan bertanggung jawab.

Baca Juga :  QS. Al-Isra' [17]: 1; Menjadi Budak, Jabatan Tertinggi Manusia Sempurna

Demikian pula Allah dalam memberlakukan takdir dan kehendak-Nya pada segala sesuatu, Dia tidak melakukan dengan cara yang sama. Kehendak Allah dalam kejadian suatu peristiwa alami akan berbeda dengan kehendak-Nya dalam kejadian suatu peristiwa non-alami, yakni perbuatan yang berasal dari makhluk hidup yang berkehendak bebas.

Takdir Allah adalah menciptakan manusia bukan robot alumunium dan boneka mainan. Maka, takdir Allah dalam peristiwa (perbuatan bebas) ini yaitu Dia menghendaki terjadinya suatu perbuatan bebas dengan kehendak bebas pelakunya (manusia).

Beriman atau mengubah iman (dari luar Islam ke Islam atau sebaliknya) adalah perbuatan bebas seseorang yang bergantung sepenuhnya pada kehendak dan takdir Allah. Takdir Ilahi ini menyatakan bahwa perbuatan bebas (beriman dan mengubah iman) itu hanya akan terjadi bila melibatkan kehendak orang itu.

Takdir Allah Yang Maha Bijaksana telah menetapkan kehendak bebas manusia sebagai salah satu sebab terjadinya keputusan dan perbuatan bebasnya dirinya sendiri. Atas dasar ini, maka mengembalikan keputusan kita, apalagi keputusan buruk kita, kepada Allah hanyalah basa-basi di mulut atau serius sedang menolak takdir terbaik Allah ini untuk kita.

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan kalian tidak menginginkan kecuali Allah menginginkan. Sesungguhnya Allah Mahatahu dan Mahabijak” (QS. Al-Insan [76]: 30).

Maka, menjadi muslim atau menjadi kafir adalah pilihan dan ketetapan dari kehendak bebas manusia, dan demikian inilah takdir dan kehendak Allah dalam cara seseorang menjadi muslim dan menentukan imannya. Begitu pula berhijab syar’i dan naik haji. Adalah takdir dan kehendak mutlak Allah bahwa manusia melakukan perbuatan bebasnya atas dasar kehendak dirinya sendiri. Sebaliknya, mengulang alasan di awal tulisan sama artinya menolak takdir dan ketetapan Allah ini.

Karena itu, ayat pertama di atas pada dasarnya bukan hanya tidak mendukung kesimpulan itu, tetapi justru menegaskan bahwa menjadi muslim dan menjadi muslim yang saleh merupakan kehendak dan takdir Allah bahwa perbuatan bebas itu (menjadi muslim dan saleh) hanya terjadi beserta kehendak orang yang ingin menjadi muslim dan ingin saleh. Selama hati orang itu tidak menginginkan menjadi menjadi muslim/saleh, maka dia tidak akan menjadi muslim/saleh.

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bangsa sampai mereka mengubah keadaan pada diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra’d [13]: 11).

Menuntaskan pertanyaan-pertanyan di atas, maka berhijab syar’i, bersilaturahmi, menyantuni yatim, naik haji, mengeluarkan zakat, tidak bertransaksi riba, tidak menunda-nunda taubat, dan menjadi muslim adalah perintah Allah yang ditetapkan dengan takdir-Nya agar dilaksanakan berdasarkan karunia ilahi dalam diri setiap orang, yaitu kehendak bebas.

Lebih serius lagi, membangun kehidupan berbangsa dan bernegara di atas nilai kebenaran dan keadilan adalah kewajiban besar agama yang menguatkan kewajiban moral sekaligus tanggung jawab dan cita-cita setiap warga negara. Begitulah perubahan diri dan masyarakat manusiawi yang ditakdirkan Allah.

Share Page

Close