• LAINYA

Keniscayaan-keniscayaan pernikahan sebelum ini juga dapat dijumpai dalam teks-teks suci agama (Islam). Artinya, semua nilai-penting pernikahan yang digali secara rasional juga dikonfirmasi oleh agama.

C. Keniscayaan Keagamaan

Secara umum, kepedulian besar Islam terhadap pernikahan dan berkeluarga tampak dalam dua modus: negatif dan afirmatif. Kepedulian negatif yaitu antisipasi dan langkah-langkah preventif berupa larangan Islam terhadap kendala-kendala yang menghambat jalan menuju pernikahan dan berkeluarga. Sementara kepedulian afirmatif adalah langkah-langkah persuasif dan konstruktif Islam berupa anjuran bahkan perintah yang mendorong terlaksananya pernikahan dan pembentukan keluarga.

Kepedulian negatif dan langkah-langkah antisipatif Islam, setidaknya, ada tiga bentuk: larangan ruhbaniyyah, larangan membujang, larangan takut miskin dan takut tanggung jawab.

 

C.1. Larangan Ruhbaniyyah

Salah satu yang dilarang dalam Islam ialah ruhbaniyyah, yaitu hidup asketis dan serbazuhud sehingga bukan hanya tidak peduli pada kepentingan sosial, bahkan membatasi lingkup hidupnya hanya sekedar kehidupan pribadi di ruang privat dalam rangka mefokuskan dirinya dalam hubungan dirinya dengan Allah.

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

Mereka mengada-ngada ruhbaniyyah, padahal Kami tidak menetapkannya kepada mereka, [yang Kami tetapkan] ialah mencari keridaan Allah” (QS. Al-Hadid [57]: 27).

Bila rubaniyyah ini dianut dan dipertahankan, maka pernikahan dan berkeluarga menjadi tergerus nilainya. Karena hidup bergaya ruhbaniy itu dianggap sebagai kesempurnaan, maka semakin hidup ruhbaniy sesungguhnya semakin sempurna juga hidupnya, dan salah satu bentuk hidup ruhbaniy adalah tidak menikah sebagaimana dipraktikkan di tengah kalangan rahib Nasrani dahulu.

Sebaliknya, Islam melarang hidup ruhbaniy, dan larangan ini sekaligus berkonsekuensi langsung pada penekanan Islam atas pembentukan kehidupan sosial serta hubungan antar-sesama. Sebagai manusia sempurna, para nabi menikah sebagai bagian dari pola hidup sosial:

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ اَزْوَاجًا وَّذُرِّيَّةً

Sungguh Kami benar-benar telah mengutus para rasul sebelum engkau (Nabi Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan” (QS. Al-Ra’d [13]: 38).

Selain ayat, begitu banyak hadis yang menerangkan nikah sebagai sunnah nabi teragung, Muhammad bin Abdillah SAW.[1]

 

C.2. Larangan Membujang

Lelaki dan perempuan di dunia tidak keluar dari dua status: menikah atau tidak menikah (membujang). Untuk melepas status membujang (azb), seseorang cukup dengan menikah. Dan dalam memperkokoh status pertama dan mendorong pernikahan, Islam mendesak agar muslim dan muslimah berusaha menanggalkan status membujang.

Banyak hadis yang membandingkan dua status ini, di antaranya, “Dua rakaat salat orang yang menikah adalah lebih utama di sisi Allah dari tujuh puluh rakaat salat orang yang tidak menikah.”[2]

Larangan hidup membujang dikuatkan secara tidak langsung oleh perintah Tuhan kepada orang-orang mampu agar menikahkan orang bujang.

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ

Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan” (QS. Al-Nur [24]: 32).

Bila dibandingkan dengan kendala pertama, yakni hidup ruhbaniy, maka dengan hidup bersosial dan memilih tidak membujang tatkala berkesempatan menikah, seseorang akan berada dalam jangkauan bakti sosial keluarga sendiri, keluarga pasangan dan, secara umum, kepedulian masyarakat. Dalam hal ini, Islam menegaskan doktrin kewajiban dan anjuran bakti sosial seperti: berzakat dan bersedekah, yang dampak positifnya juga bisa dinikmati oleh orang menikah.

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ

Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya” (Al-Thalaq [65]: 7).

 

C.3. Larangan Takut Miskin dan Lepas Tanggung Jawab

Selain mendorong kuat pernikahan, Alquran juga mengingatkan agar pernikahan dimulai dan dijalani tanpa beban psikologis seperti: rasa takut miskin atau tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi dengan keyakinan dan optimism. Dalam lanjutan ayat ke-32 dari surat al-Nur di atas, Allah SWT meyakinkan dan memberi jaminan kecukupan:

اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

““Jika mereka miskin, Allah akan memberi mencukupi mereka berupa karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Tidak sedikit orang yang memupus pikiran dan harapan menikah serta membangun keluarga. Karena pertimbangan beban ekonomi, orang jadi takut menikah dan tidak berani memikul tanggung jawab menikah dan berkeluarga. Kini, bebas tanggung jawab itu dijadikan pembenaran pasangan muda atas tren tidak mau punya keturunan atau menikah tanpa anak (childfree).[3]

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ

Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian” (QS. Al-Isra’ [17]: 31).

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada kalian dan kepada mereka” (QS. Al-An’am [6]: 151).

Dari ayat-ayat ini juga dapat dipahami bahwa salah satu faktor orang tidak siap menikah dan membangun keluarga ialah berburuk sangka terhadap Allah. Maka sebaliknya, orang yang percaya dan berbaik sangka serta optimis pada Allah, Tuhan pengurus alam semesta, akan lebih siap menikah dan membangun keluarga. Pada salah satu bentuk kepedulian afirmatif Alquran, akan dijumpai uraian singkat tentang pernikahan sebagai faktor bertambahnya rezeki.

Baca Juga :  Filsafat Nikah dan Keluarga dalam Alquran (2): Keniscayaan Individual dan Sosial

Ketiga larangan Islam dalam upaya membabat kendala-kendala menikah dan berkeluarga di atas, yakni hidup ruhbaniy, membujang, takut miskin atau menghindari tanggung jawab insani, dilipatgandakan nilai-signifikasinya dengan memperkuat kondisi-kondisi lawannya, yaitu hidup bersosial, menikah, tawakal dan bertanggung jawab. Betapa banyak hadis yang menjanjikan pahala untuk berada dalam kondisi-kondisi ini.

Bahkan tidak sedikit hadis yang memastikan pahala besar dan kemuliaan ilahi bagi orang yang menyiapkan kondisi tersebut untuk orang lain seperti: mencarikan jodoh, mengatur usia minimal nikah lelaki dan perempuan, menikahkan anak, mempermudah pernikahan, merukunkan pasangan suami istri, tidak membebankan besaran mahar, meringankan beban keluarga orang lain seperti dalam ayat di akhir larangan membujang di atas (C.2.).

Selanjutnya akan ditinjau kepedulian afirmatif, yakni anjuran dan desakan, Alquran terhadap pernikahan dan berkeluarga.

 

C.4. Hidup Berpasangan

Salah satu asas penciptaan makhluk ialah keberpasangan. Dalam Alquran, Tuhan menciptakan manusia atau hewan bahkan tumbuhan secara berpasang-pasangan (QS. Al-Naba’ [78]: 8; QS. Yasin [36]: 36; QS. Al-Zukhruf [43]: 12). Dalam surat al-Najm [53], ayat 45 dan surat al-Qiyamah [75], ayat 39, Alquran mendefinisikan pasangan pada manusia ialah lelaki dan perempuan.

Sebagaimana sesuatu dalam kapasitasnya sebagai pasangan tidak akan lengkap keberadaan dan hidupnya tanpa sepasang dan dengan pasangannya, lelaki tidak akan lengkap keberadaannya tanpa perempuan, demikian pula sebaliknya. Lelaki dan perempuan saling melengkapi, seperti juga air dan gelas hanya akan berfungsi dan berdampak positif jika dipasangkan dan sepasang hingga saling menyempurnakan.

هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ

Mereka (perempuan) adalah busana bagi kalian, dan kalian adalah busana bagi mereka” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

Dalam ayat ini, lelaki dan perempuan diungkapkan dengan pakaian dan badan yang sepasang sehingga sama-sama saling mengisi dan mengiasi satu sama lain. Kesempurnaan pakaian adalah dipakai dan dikenakan pada badan, demikian pula kesempurnaan badan adalah mengenakan pakaian. Alquran memosisikan suami dan istri secara sama dan adil: mereka sama-sama berposisi sebagai subjek [pemakai] sekaligus objek [dipakai] satu sama lain. Bila dalam relasi kuasa dan politik, posisi objek itu buruk dan hina, posisi ini dalam pernikahan dan medan cinta justru merupakan kebanggaan dan kemuliaan.

Sehelai pakaian yang, sekalipun indah, tidak terpakai adalah pakaian sia-sia, tidak lebih baik nilainya dari pakaian yang gagal dibuat. Demikian pula badan yang tak mengenakan pakaian adalah badan terlantar, tak berperadaban, tidak lebih memalukan kondisinya dari ketelanjangan dan membiarkan aib sendiri terbuka. Hidup terputus dari masyarakat, membujang padahal mampu menikah dan tidak menikah karena takut miskin atau lari dari tanggung jawab adalah aib dan kekurangan. Di uraian selanjutnya akan segera dimengerti mengapa tidak-menikah itu adalah ketidakwajaran.

 

C.5. Memiliki Keturunan dan Meneruskan Generasi Terbaik

Pertanyaannya, apa falsafah dan rahasia di balik realitas berpasang-pasangan ini? Tentu, penciptaan makhluk berpasang-pasangan adalah agar masing-masing bertemu dengan pasangan dan menjadi sepasang. Selain itu, pasangan hanya akan sempurna bila hidup berpasangan dan menyatu dengan pasangannya. Pertemuan dan penyatuan dua pasangan berlangsung dalam suatu ikatan, yaitu pernikahan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (QS. Al-Nisa’ [4]: 1).

Dalam ayat ini di atas, pernikahan dua pasang manusia sebagai suami dan istri bukan hanya pertemuan dan kebersatuan fisik yang berdampak positif bagi mereka berdua seperti: memuaskan kebutuhan biologis, menciptakan suasana psikologis yang kondusif, tetapi juga merupakan misi pelestarian spesies manusia sebagai makhluk terbaik, pengembangan generasi, pembangunan masa depan dan pemakmuran dunia. Karena itu, pernikahan tampak begitu penting karena perannya menentukan kehidupan personal dan sosial, kehidupan jangka pendek dan jangka panjang. Dalam ayat di atas, Allah SWT mengawal masalah keberpasangan dengan bertakwa dan bertakwa dalam bentuk perintah sebagai penekanan.

 

C.6. Memenuhi Kebutuhan Biologis

Pertemuan, kebersatuan dan pernikahan lelaki dan perempuan bermula, pada lazimnya, dari ketertarikan alamiah. Masing-masing lelaki dan perempuan memiliki ketertarikan dengan lawan jenisnya. Ketertarikan itu adalah kebutuhan yang patut dan niscaya dipenuhi. Bentuk dasar ketertarikan dan kebutuhan itu bersifat biologis dan seksual. Karena itu, pertemuan dan pernikahan laki-laki dan perempuan terlaksana dalam rangka memenuhi ketertarikan alamiah dan kebutuhan biologis mereka.

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا لِيَسۡكُنَ إِلَيۡهَاۖ

Dan Dialah yang telaah menciptakan kalian dari satu diri dan menjadikan darinya pasangaannya agar ia merasa tenteram kepadanya” (QS. Al-A’raf [7]: 189).

Ketenteraman dan kenyamanan yang diperoleh pasangan dari pasangan dalam ayat ini adalah umum sehingga juga mencakup ketenteraman dan ketenangan yang diperoleh dari kepuasan biologis.

Tidak seperti dalam ajaran lain yang memandang kotor dan rendah, Islam justru mengakui dan menghormati pemenuhan kebutuhan biologis serta hubungan suami-istri sebagai ikatan yang sakral, ibadah utama dan perbuatan yang berpahala besar.

Baca Juga :  Hukum dan Etika Berdebat (1): Batasan-batasan Debat

Abu Dzar pernah bertanya kepada Nabi, “Apakah berjimak dengan istri itu berpahala?” Beliau bersabda, “Engkau disiksa bila melakukan perbuatan haram, begitu pula engkau diganjar pahala bila melakukan perbuatan halal.”[4]

Islam bahkan menganjurkan agar setiap pasangan berusaha tampil menarik, menawan dan mempesona pasangan, “Seorang istri muslimah sepatutnya memakai wewangian untuk suaminya.”[5]

Dalam Islam, memenuhi kebutuhan biologis pasangan dan memperoleh kepuasan seksual adalah tanggung jawab (kewajiban) sekaligus hak. Nabi SAW mengingatkan para istri, “Janganlah kalian memperpanjang salat kalian sehingga membuat suami kalian tidak menyentuh kalian” (Tuhaf al-Uqul, hadis no. 529). Beliau juga mengingatkan sahabatnya, Utsman bin Mahz’un, agar memenuhi hak dan kebutuhan biologis istrinya.[6]

Selain memperingatkan pelalaian filsafat pernikahan ini dengan ancaman dosa, Islam juga menguraikan hukum-hukum yang mengatur apa saja yang terkait dengan hubungan seksual secara beradab dan sakral, baik sebelum, selama dan setelahnya seperti yang tertuang dalam pesan panjang dan detail Nabi SAW kepada Imam Ali a.s. Ajaran-ajaran doa yang terkait hubungan tersebut melipatkan nilai sakralitas filsafat pernikahan ini.

 

C.7. Menjalin Ikatan Batin

Tidak sebatas kepuasan biologis sebagaimana lazimnya binatang, pernikahan sepasang manusia juga dianjurkan oleh Islam begitu kuat agar terjalin keterikatan dua hati dan jiwa. Tentu saja, kenikmatan dari keterikatan batin dan jalinan hati ini mendahului dan mengungguli kepuasan biologis.

Dari Imam Ali bin Muhammad al-Hadi diriwayatkan, “Sesungguhnya Allah SWT menjadikan hubungan pernikahan sebagai wadah kedamaian hati …. dan menjadikannya sebagai kasih sayang. Sesungguhnya di dalamnya terdapat tanda-tanda [Tuhan] bagi alam semesta.”[7] Hal yang sama juga ditegaskan oleh Imam Ali Al-Ridha.[8]

 

C.8. Memperoleh Ketenangan Jiwa

Dengan terbangunnya keterikatan jiwa dan kedekatan batin, maka selanjutnya akan tercipta kedamaian hati dan kenyamanan ruhani; suami mendapatkan keenangan jiwa di sisi istri, demikian pula sebaliknya. Masing-masing adalah sumber kenyamanan batin dan ketenteraman jiwa. Falsafah ini ditekankan Alquran sebagai tanda keagungan Allah SWT.

هُوَ الذي خَلقَكم من نَفْسٍ وَاحدَة وَجَعَلَ منْهَا زَوْجَهَا ليَسْكنَ إليْهَا

Dialah yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa dan Dia menjadikan darinya pasangannya agar ia tenteram kepadanya” (QS. Al-A’raf [7]: 189).

وَ مِنْ آياتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْواجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْها وَ جَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَ رَحْمَةً إِنَّ في ذلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian dari diri kalian pasangan-pasangan agar kalian tenteram kepada mereka dan Dia menjadikan di antara kalian cinta dan kasih-sayang. Sesungguhnya dalam demikian itu terdapat tanda-tanda [keagungan] bagi oang-orang yang berpikir” (QS. Al-Rum [30]: 21).

Di dua ayat di atas ini, Allah mengungkapkan posisi cinta dan kasih-sayang sebagai dua pilar terciptanya kedamaian dan ketenteraman jiwa. Tidak keliru bila cinta adalah energi dan kekuatan; dengan mencintai, seseorang menjadi berani dan bergairah dan antusias untuk terus terdorong maju dan, dengan dicintai, ia menjadi berani sera angguh dalam menghadapi berbagai tantangan, tidak mundur dan tetap teguh berada dalam medan pengorbanan serta kesetiaan.

Allamah Thabathaba’i menulis, “Masing-masing lelaki dan perempuan diperlengkapi dengan struktur penciptaan tertentu sedemikian rupa sehingga, dalam kerjanya, mereka saling melengkapi, dan reproduksi merupakan efek dari jalinan kesaling-melengkapian mereka. Jadi, setiap lelaki dan perempuan, pada diri masing-masing, adalah kurang (naqish) dan saling membutuhkan sehingga, dengan pertemuan mereka, tercipta suatu kesatuan yang utuh yang mengakibatkan reproduksi generasi.

“Karena aspek kekurangan dan kebutuhan itulah mereka tertarik satu kepada yang lain hingga mereka saling mendekat dan terjalin hubungan di antara mereka. Dalam kerangka jalinan hubungan ini mereka memperoleh ketenteraman jiwa, karena setiap realitas yang kurang akan merindukan kesempurnaan dirinya, dan setiap yang membutuhkan akan cenderung kepada sesuatu yang dibutuhkannya, yaitu sesuatu yang dapat mengurangi dan melenyapkan kebutuhannya.”[9]

Perlu juga dicatat perbedaan antara cinta (mawaddah) dan kasih-sayang (rahmah) di ayat kedua di atas; yang pertama terbangun tatkala suami dan istri berada dalam kondisi normal dan seimbang, sementara yang kedua muncul tatkala mereka berada tidak dalam kondisi normal dan tidak lagi seimbang, yaitu manakala salah satu dari mereka menjumpai kelemahan dan kekurangan pada yang lainnya. Misalnya, saat suami tidak pandai memasak atau saat istri dalam keadaan hamil tua dan bersalin, maka pasangan mereka akan terketuk hatinya sehingga membangkitkan kasih-sayang yang mendorongnya untuk membantu dan meringankan beban memasak dan bersalin.

Dengan demikian, pernikahan dan kelanjutannya, yakni berkeluarga, dalam kata-kata para pujangga sufi Persia seperti: Hallaj dan Hafez Syirazi, adalah seni sepasang insan menuang arak cinta dalam cawan jiwa untuk saling mengisi menyatu hingga sempurna menjadi satu dengan hanya satu syarat: baik arak maupun cawan harus sama-sama bening, murni dan khalish (tulus). Dalam metafor Imam Junaid,  “Warna air itulah warna wadah.”

Kala cawan bersih sebening arak

jadilah serupa hingga saling membentuk.

Seolah hanya arak tanpa cawan

dan seolah hanya cawan tanpa arak.

al-Shahib bin Ibad

Baca Juga :  Melacak Sejarah Penerjemahan Al-Quran, Bahasa Persia di Peringkat Pertama

 

C.9. Penyempurnaan Agama

Pernikahan merupakan sarana memelihara dan menyempurnakan agama, selain tentu saja sangat berpengaruh dalam menciptakan ketertiban sosial. Karena itu, pernikahan adalah pelengkap iman. Dengan pernikahan, banyak dosa dihapuskan dan diganti dengan kebahagiaan. Dalam sabda Nabi SAW, “Barangsiapa menikah, ia telah menuntaskan separoh dari agamanya.”[10]

Penyempurnaan agama melalui pernikahan dan berkeluarga bukan hanya penyempurnaan nilai kualitatif keberagamaan pribadi seorang muslim, tetapi juga meningkatkan nilai kuantitatif, kemayoritasan, kekuatan dan keunggulan muslimin dunia. Keunggulan dan kedigjayaan kuantitaf Islam kian kokoh dengan keunggulan kuantitas umatnya, di antaranya dengan cara menikah dan membangun keluarga.

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan dan dari pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian” (QS. Al-Anfal [8]: 60)

هُوَ الَّذِی أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدی وَدِینِ الْحَقِّ لِیظْهِرَهُ عَلَی الدِّینِ کلِّهِ

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama kebenaran agar Dia memenangkannya di atas semua agama” (QS. Al-Fath [48]: 28)

Kekuatan, kekuatan dan kemenangan yang diwajibkan dan dicita-citakan dalam  dua ayat di atas ini adalah mutlak dan umum sehingga juga mencakup kekuatan dan kemenangan kuantitatif.

 

C.10. Peningkatan Kuantitas Umat

Tidak hanya penting secara kualitatif bagi setiap individu dan masyarakat, nikah dan berkeluarga juga penting secara kuantitatif bahkan di kehidupan setelah kematian. Jumlah umat Islam terus bertambah dan nilai mayoritas muslimin di dunia akan meningkat, di samping faktor eksternal seperti menjadi mualaf, juga melalui faktor internal seperti: pernikahan dan berkeluarga.

Nabi SAW bersabda, “Menikahlah dan perbanyaklah keturunan, karena aku akan berbangga dengan kalian di hadapan umat-umat di Hari Kebangkitan, bahkan  bayi yang tergugurkan akan datang terlambat di ambang pintu surga lalu dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga!’ Dia membalas, ‘Tidak, sampai kedua orangtuaku masuk surga sebelum aku.’”[11]

 

C.11. Menduniakan Tauhid

Konsekuensi langsung dari peningkatan kuantitas muslimin ialah tersiarkan tauhid sebagai nilai universal dan wacana dominan di berbagai kurun dan penjuru. Maka, salah satu tujuan dasar menikah dan membentuk keluarga ialah membudayakan nilai-nilai kemanusiaan dan menduniakan nilai-nilai tauhid sehingga Islam tumbuh dan berkembang sebagai agama universal.

Atas dasar ini, kelangsungan generasi manusia, pada dasarnya, merupakan pendahuluan untuk mencapai tujuan dasar tersebut. Ini diungkapkan dalam hadis Nabi SAW, “Adakah sesuatu yang menahan seorang beriman untuk menikah?! Semoga Allah memberikan kepadanya anak keturunan yang akan membuat bumi ini berat dengan La ilaha illa-Allah.”

 

C.12. Menambah Rezeki

Di samping Alquran memperingatkan agar tidak putus asa, tidak pesimis dan tidak berburuk sangka terhadap Allah, nikah dan berkeluarga merupakan aliran bertambahnya rezeki dan keberuntungan.

اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Jika mereka miskin, Allah akan memberi mencukupi mereka berupa karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Nur [24]: 32).

Dalam tafsir atas ayat ini, Imam Ja’far bin Muhammad al-Shadiq berkata, “Barangsiapa enggan menikah karena takut miskin, maka dia telah berburuk sangka terhadap Allah SWT.”[12]

Selain ayat di atas, banyak hadis terkait dampakm positif pernikahan, di antaranya, “Nikahkanlah perempuan-perempuan janda kalian! Sesungguhnya Allah akan mempercantik akhlak mereka, melapangkan rezeki mereka dan menambahkan kewibawaan mereka.”[13]

Rezeki di sini juga harus dibaca makna secara luas hingga mencakup rezeki di dunia dan di akhirat. Dalam sabda Nabi, “Istri yang salehah bukanlah bagian dari dunia, tetapi dia adalah bagian dari akhirat karena dia telah membuat kamu beribadah lebih leluasa.”[14]

Bersambung

——————————————

[1] Lih. Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis no. 22478; Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, hadis no. 44407. Beberapa hadis terkait bahkan bernada ancaman seperti: “Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa. Akan tetapi, aku berpuasa juga berbuka, aku salat juga tidur dan menikahi perempuan. Maka, siapa saja yang tidak menyukai sunnahku, dia bukanlah dariku” (Shahih al-Bukhari, hadis no. 4675 dan no. 5063. Lihat juga Bihar al-Anwar, jil. 103, hal. 220, hadis no. 23).

[2] Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, hadis no. 44448; Al-Shaduq, Al-Khishal, hlm. 165.

[3] Keputusan menjalani pernikahan tanpa anak dan perilaku LGBT juga bertentangan hampir dengan semua butir filosofis pernikahan di sepanjang tulisan ini.

[4] Al-Harrani, Tuhaf al-‘Uqul, hadis no. 521.

[5] Al-Harrani, Tuhaf al-‘Uqul, hadis no. 510.

[6] Al-Harrani, Tuhaf al-‘Uqul, hadis no. 533.

[7] Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 5, hal. 373.

[8] Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 5, hal. 373.

[9] Muhammad Husain al-Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizan, jld. 16, hlm. 166.

[10] Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, hadis no. 44403; Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 103, hal. 220, hadis no. 22.

[11] Hasan bin Fadhl al-Thabarsi, Makarim al-Akhlaq, jld. 1, hlm. 430.

[12]  Al-Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 3, hal. 385, hadis no. 4353.

[13] Al-Qadhi al-Nu’man, Da’aim al-Islam, jld. 2, hlm. 196, hadis no. 713.

[14] Al-Zamakhsyari, Rabi’ al-Abrar wa Nushush al-Akhbar, jld. 4, hlm. 296.

Share Page

Close