• LAINYA

TAFSIR-FILSAFAT–Dalam definisi paling standar dan populer, manusia itu sama dengan kera, anjing, ular, macan, dan binatang lainnya, sekaligus beda dan istimewa karena potensi akalnya. Ada keunikan lain pada diri manusia dibandingkan binatang.

Perlu segera dicatat agar tidak meninstakan bangsa binatang, bahwa binatang buas dalam habitatnya tetap buas pada kodratnya, demikian binatang jinak dalam habitatnya dia akan tetap jinak juga dengan kodratnya. Akan halnya manusia, dengan penyalahgunaan akal dan penyimpangan potensi nalarnya, bisa jadi buas lebih dari macan bisa juga jadi jinak lebih dari keledai. Hingga kini, tidak ada yang tersinggung sejak manusia dideskripsikan sebagai serigala pemangsa satu sama lain (Homo homini lupus).

Terkait binatang buas, Alquran membicarakannya bahkan di kehidupan setelah kematian. Sebagai kitab petunjuk, maka perlu digali hubungannya dengan manusia.

وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ

“Di saat binatang-binatang buas dikumpulkan” (QS. Al-Takwir [81]: 5).

Apa makna ayat ini? Apa nilai penting yang membuat binatang buas disebut dalam ayat? Apa hubungan binatang buas dengan kiamat? Dan, apa hubungannya dengan manusia?

Sejauh telaah, setidaknya, ada tiga penjelasan para mufasir atas ayat dan pertanyaan-pertanyaan ini.:

Tafsir Pertama:

Maksud dari binatang buas ialah sebagaimana makna literalnya. Dalam habitat naturalnya, binatang-binatang buas biasa hidup terpisah, yakni cenderung hidup eksklusif dan tidak bergabung dengan binatang buas lain. Namun tatkala hari kiamat tiba, mereka dilanda ketakutan sehingga berkumpul dengan sejenisnya. Karena itu, seperti empat ayat sebelumnya, ayat ini merupakan salah satu tanda kegentingan hari kiamat.

Atas dasar tafsir ini, maka Hari Kiamat adalah hari yang sangat dahsyat hingga binatang buas pun berada di puncak ketakutan dan kepanikan hingga binatang buas saja kehilangan watak kebuasannya. Di hari itu, manusia juga akan dicekam oleh ketakutan dan kepanikan yang luar biasa sehingga kehilangan kebiasaan dan kenormalannya.

Baca Juga :  QS. Ghafir [40]: 39; Harga Dunia dan Makna Hidup

Tafsir Kedua:

Binatang buas dalam ayat adalah sebagaimana makna literalnya, namun berkumpulnya mereka terjadi bukan sebelum atau di saat Hari Kiamat tiba, tetapi setelah Kiamat terjadi; alam semesta dan isinya telah hancur, dan pada saat manusia dibangkitkan kembali.

Atas dasar ini, ayat di atas mengungkapkan bahwa binatang buas pun akan mengalami kebangkitan dan hidup kembali di akhirat untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakan di dunia. Tafsiran ini didukung oleh ayat 38 dari surah Al-An’am:

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.

Atas dasar ayat ini, maka sebagai makhluk yang tidak memiliki pengetahuan (sempurna), binatang pun akan dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya di dunia, apalagi kita sebagai manusia yang dikaruniai akal, pengetahuan sempurna, fitrah yang cenderung kepada kesucian dan kebenaran, nabi pembawa wahyu dan petunjuk, sudah barang tentu hisab dan tanggung jawab kita lebih berat. Karena itu, sudah semestinya setiap orang berhati-hati dan waspada terhadap setiap ucapan, tulisan dan tindakannya.

Tafsir Ketiga:

Binatang buas dalam ayat di atas yaitu diri kita sendiri, kita ini yang di dunia tampak berwujud layaknya manusia, tetapi batin dan karakter kita justru binatang buas. Ini tidak mustahil, bahkan dibuktikan kemungkinannya dalam filsafat Kebijaksanaan Utama (al-hikmah al-muta’aliyah), bahwa setiap orang bergerak secara bertahap (tasykik): bermula dari materi layaknya benda mati, lalu tumbuh layaknya tumbuhan, lalu berakivitas dengan kehendak layaknya binatang, lalu hidup dengan akal layaknya manusia hingga berkarakter serupa dengan Tuhan.

WUJUD MANUSIA, TETAPI HATINYA HATI BINATANG. ITULAH MAYAT YANG HIDUPAli bin Abi Thalib

Dalam proses gerak dan transformasi jiwa, semua orang cenderung menyempurna, namun ada yang berhasil menyempurna secara aktual di dunia menjadi manusia hakiki, ada juga bahkan kebanyakan orang gagal mencapai tahap/derajat manusia hingga di akhirat—alam dibukakannya rahasia, tersingkapnya hakikat dan bentuk asli segala sesuatu, mereka dibangkitkan kembali hidup sebagai kera, anjing, ular,…. Mereka ini, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam ayat lain, akan ditempatkan di dalam neraka:

Baca Juga :  Al-Quran, Filsafat Ijtihad dan Pemahaman Kontekstual (Bagian Terakhir)

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (kebenaran), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar; mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih rendah lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai (QS. Al-A’raf [7]: 179).

Atas dasar tafsir ini, di atas merupakan petunjuk untuk kita mengenal diri sendiri: apakah kita sudah mencapai derajat kemanusiaan dan menjadi manusia selayaknya sehingga pantas dihargai senilai surga? Ataukah kita masih berada di tingkatan binatang? Atau malah kita sendiri tidak tahu berada di tingkatan dan posisi mana sehingga kita gagal, setidaknya, menyadari seberapa jarak diri kita dengan derajat minimal dari kesempurnaan, yaitu menjadi manusia?

Ayat ini menghidupkan kesadaran kita agar segera fokus terhadap hakikat dan wajah asli kita di akhirat sebagai pilihan yang sudah kita jatuhkan sejak kita berada di dunia ini: manusia yang berkarakter binatang buas ataukah manusia yang berakhlak Ilahi.[AB-AFH]

Share Page

Close