• LAINYA

FILSAFAT-PANCASILA—Pidato berapi-api disambut gegap-gempita dan gemuruh semangat hadirin. Di hari terakhir sidang BPUPK, 1 Juni 1945, yang kelak jadi konsep bakal perumusan Pancasila, Bung Karno menggebrak peserta sidang dengan menantang: apakah kita mau merdeka? Artinya, apakah kita berani jadi tuan dan berhenti jadi budak?

Rumusan terakhir pertanyaan ini masih relevan untuk generasi Pancasila sekarang. Tidak begitu lama juga tidak sekali bangsa ini sejak era Reformasi yang merayakan kebebasan masih saja disebut-sebut “betul-betul ada keturunan budak.” Tidak sedikit yang lantas tersinggung dan geram oleh kritik putri proklamator, Megawati Soekarno Putri, ini hingga mereka mengecam dan mengancam.

Suatu bangsa bisa saja berhasil merdeka dari penjajahan, tetapi mereka menjalani kemerdekaannya malah dengan membudak, bergantung, tidak berdiri di atas kaki sendiri, tidak benar-benar jadi tuan yang sepenuhnya bisa menentukan nasib serta masa depan hidupnya secara mandiri dan bermartabat di atas tumpah darahnya sendiri.

Di sidang yang menghimpun putra-putra terbaik bangsa itu di bawah genangan situasi serbakacau dan genting di dalam dan di luar negeri, menjadi merdeka dan memutuskan untuk sekedar mau merdeka, menyudahi nasib tidak jadi budak dan diperbudak bangsa lain terasa sangat hati-hati saking benar-benar berat dan alot hingga mendesak Soekarno untuk menggebrak dan menantang.

Soekarno meyakinkan bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas yang menyeberangkan kita ke negeri yang siap dibangun dan dimakmurkan dengan keadilan. Untuk jadi merdeka dan berhenti jadi budak, cita-cita dan retorika saja tidak cukup, tapi juga perlu “ASAL MAU DAN BERANI” saja.

Soekarno selanjutnya mengingatkan generasi penerus, khususnya kita sekarang, bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini lebih sukar dan lebih berat. Artinya, kemauan dan keberanian kita sekarang harus lebih solid dan lebih tegas lagi untuk terus merdeka, tetap jadi tuan, berdiri di atas kaki sendiri dan sekali merdeka tetap merdeka, di dalam negeri sendiri juga di hadapan dunia.

Kemerdekaan ini bukan hanya harga mati bagi bangsa Indonesia, tetapi juga hak mutlak sekaligus kewajiban universal bagi setiap bangsa. Maka mengabaikan apalagi merusak kemerdekaan adalah pelanggaran ganda sosial-politik: pelanggaran hak mutlak dan pelanggaran kewajiban universal.

Sebelum tertuang dalam pembukaan UUD 1945, di manakah kemerdekaan bisa ditemukan di sepanjang Pancasila? Di sila manakah dari Pancasila nilai kemerdekaan manusia dan bangsa bisa ditemukan? Bagaimana Pancasila menyatakan, menyuarakan dan mengajarkan kemerdekaan? Mengapa sejak awal kali Pancasila dikonsepkan hingga dilegal-formalkan tidak memuat diksi “kemerdekaan”?

Jika kemerdekaan sudah dipastikan ada dalam Pancasila, baru logis untuk menggali lebih lanjut: kemerdekaan yang seperti apa yang dimaksudkan oleh Pancasila? Karena, bisa saja bangsa ini sudah merdeka secara formal, tetapi secara ideologis dan mental, dalam berpikir dan berkebudayaan, masih belum merdeka, masih tidak berhenti jadi budak.

Dalam Pancasila, memang tidak ada satu kata pun yang mengandung makna kemerdekaan. Ini benar secara eksplisit, tekstual dan literal. Berbeda dengan adil dan bijak, dua kata yang terulang dua kali. Bahkan, bukan hanya tidak ada kata kemerdekaan dan kata-kata sinonimnya, juga tidak ada konsep kemerdekaan secara eksplisit dinyatakan dalam Pancasila.

Baca Juga :  Filsafat Pancasila dan Pancasilais; antara Realitas, Realistis dan Utopis

Namun, tidak ada secara eksplisit dan literal bukan berarti tidak ada sama sekali. Biasanya, makna implisit kemerdekaan dirujuk ke Sila Kedua atau Sila Keempat. Tetapi sejak Sila Pertama, yakni ketuhanan, kemerdekaan sudah terteguhkan; tanpa ketuhanan tidak ada kemerdekaan, dan tanpa kemerdekaan tidak ada ketuhanan. Di mana ada salah satunya, di situ ada lainnya.

Ini artinya, sebagaimana awal kelahiran bangsa ini sebagai entitas sosial-politik dari Sabang sampai Merauke adalah sejak memproklamasikan kemerdekaannya atas nama bangsa Indonesia, Pancasila mengafirmasi awal kelahiran dan kemerdekaan ini sejak dibuka, pertama-tama, dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam rumusan filosofisnya, bertuhan maka merdeka, dan merdeka maka berkeadilan. Dalam Pancasila, budaya keadilan manusia Indonesia adalah keadilan yang dibangun dalam kerangka kemerdekaan dan ketuanan di atas asas ketuhanan. Falsafah ini idak asing dan idak benar-benar baru sejak Bung Karno mengdiktumkan dalam doktrin “ketuhanan yang berkebudayaan”.

Sila pertama tidak menyatakan kemerdekaan bangsa secara literal dan langsung bukan karena ragu-ragu atau kurang bulat, tetapi justru sila pertama berfungsi sebagai premis mutlak bagi kemerdekaan kemanusiaan. Indonesia merdeka berdasarkan kesadaran akan azas Ketuhanan yang Mahaesa.

Tanpa kesadaran dan azas ini, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak tegak utuh dan kokoh. Atas dasar premis ini pula kemerdekaan Indonesia menjadi khas dan unik bagi kepribadian bangsa ini. Tidak berlebihan bila juga dinyatakan bahwa kemerdekaan yang diraih atas dasar semata-mata kesadaran diri sebagai manusia cinta diri, cinta sesama dan cinta tanah air bukanlah kemerdekaan keindonesiaan.

Kemerdekaan khas keindonesiaan adalah kemerdekaan yang juga pertama-tama diperjuangkan dan diraih atas dasar kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, budak Tuhan Yang Maha Esa. Azas teologis ini ditegaskan secara eksplisit dalam pembukaan UUD ’45, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Lalu, bagaimana menjelaskan relasi keniscayaan antara kemerdekaan manusia dan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa? Bagaimana memastikan kemerdekaan ada dalam ketuhanan (keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa)? Jawabannya bergantung pada bagaimana memahami sekedar dua kata kunci sila itu: ketuhanan dan keesaan, lalu meninjau relasi di antara keduanya.

Ketuhanan adalah keyakinan akan keberadaan Tuhan sebagai asal keberadaan. Dia adalah pemberi keberadaan manusia dan alam semesta. Ketuhanan sekaligus merupakan keyakinan akan keberadaan Tuhan sebagai pemilik, pengelola, pengatur dan pemelihara manusia dan alam semesta. Sebagai pencipta, pemilik dan pemelihara, Tuhan adalah Tuan dan manusia hanyalah hamba dan sepenuhnya budak Tuhan.

Keesaan yaitu keyakinan bahwa tidak ada yang layak diper-Tuan-kan selain Tuhan. Keesaan memastikan bahwa setiap manusia hanya membudak kepada Tuhan. Sebaliknya, keesaan ini menolak membudakkan diri sendiri juga memperbudak orang lain kepada selain Tuhan.

Baca Juga :  Manuskrip Alquran dari Emas dan Perak di Iran, Siap Catatkan Rekor Guinness

Maka, ketuhanan yang mahaesa menegaskan bahwa setiap orang dan bangsa hanyalah budak-budak Tuhan dan, dengan demikian, setiap orang dan bangsa adalah sama-sama tuan bagi diri mereka sendiri di hadapan satu sama lain selain Tuhan.

Ketuhanan yang Maha Esa adalah keyakinan akan kesetaraan dan keadilan primitif kedudukan semua manusia dan bangsa: semua hanyalah budak Tuhan dan, sekaligus, semua adalah tuan yang dipertuankan oleh Tuhan agar setiap orang dan bangsa menentukan kehendak, hidup dan masa depannya.

Keesaan Tuhan adalah keyakinan bahwa Dia satu-satunya yang berhak mengatur dan menjadi Tuan Agung di atas semua manusia, dan Dia satu-satunya yang kepada-Nya bangsa Indonesia tunduk dan hanya di hadapan-Nya menjadi budak, tidak kepada dan di bawah siapa saja selain Dia.

Menjadi tuan bagi diri sendiri serta tidak jadi budak-nya orang lain hanya diraih dengan menjadi budak hanya di hadapan Tuhan. Menjadi tuan pasti merdeka, menjadi budaknya makhluk pasti tidak merdeka.

Atas dasar membudak hanya kepada Tuhan yang mahaesa dalam penciptaan dan pengurusan alam semesta, maka manusia Indonesia meraih hakikat dirinya sebagai tuan yang, tentu saja, merdeka di tanah airnya dan di muka bumi.

Bangsa Indonesia melawan dan mengusir penjajah untuk menyatakan penolakan terhadap kebudakan diri sendiri sekaligus agenda dan praktik pembudakan yang dipaksakan oleh bangsa lain atas dirinya, maka mereka berjuang untuk meraih kemerdekaan dan ketuanan dirinya atas dasar (premis) keimanan religius segenap elemen dan identitas bangsa bahwa Indonesia hanya tunduk membudak kepada dan diperbudak oleh Tuhan yang Mahaesa. Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dasar dan premis keimanan religius sila pertama ini senafas dengan keimanan insani di Sila Kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemerdekaan yang dikehendaki, dicita-citakan, diperjuangkan, dipertahankan dan diikrarkan di hadapan dunia ialah kemerdekaan yang berketuhanan dan berperikemanusiaan.

Ketuhanan itu ada dalam kemanusiaan dan kemanusiaan dalam ketuhanan. Ke-Tuan-an Tuhan berada dalam kebudakan manusia, dan ketuanan manusia dalam memper-Tuan-kan Tuhan. Konsep ketuhanan ini akan melahirkan keadilan dan keberadaban manusia, selanjutnya kemanusiaan akan mengimplementasikan ketuhanan dalam membudak hanya kepada Tuhan, jadi merdeka, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan siapa saja selain Tuhan.

Berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia Indonesia pasti yakin pada ketuhanan yang mahaesa untuk meneguhkan kemerdekaan dan ketuanan diri sendiri dalam menentukan hidup serta masa depannya.

Berdasarkan ke-Tuan-an Tuhan yang Mahaesa pula manusia Indonesia hanya akan adil dan beradab bila dia tidak mau lagi jadi budak atau diperbudak oleh orang lain, di dalam maupun di luar, langsung atau tidak langsung, secara diam-diam atau terang-terangan.

Semua tindak kriminal, korupsi, kolusi, nepotisme, kebijakan, peradilan, modus, kemufakatan, kongsi dan kontrak politik yang tidak adil dan tidak beradab adalah pembudakan, sama dengan ketidakadilan dan ketidak beradaban rakyat yang membudakkan dan melacurkan diri dengan diam, pasrah, sudi dan masabodoh diperlakukan tidak adil dan tidak beradab. Betapa luar biasanya dosa pengkhianatan orang yang mencoba berpikir bagaimana membela aktor-aktor pembudakan dan pembodohan bangsanya sendiri.

Baca Juga :  Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an: Neraca dalam Tafsir Alquran, Karya Thabathaba'i

Bertolak dari dokrin “ketuhanan berkebudayaan” dari Bung Karno serta mengingat-ingat peringatan “ada keturunan budak” dari putrinya, maka kemerdekaan dan ketuanan bangsa Indonesia tidak akan bermakna tanpa ketuhanan. Juga sebaliknya, ketuhanan, ke-Tuan-an dan keesaan Tuhan tidak bermakna sama sekali tanpa kemerdekaan bangsa, ketuanannya dan kebukanbudakannya. Maka, kemerdekaan sudah ada sejak awal kali mulai membaca Pancasila. Sama seperti air dan minyak, berjiwa budak dan inferioritas tidak akan senyawa, bahkan bertolak belakang, dengan Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan Sila Pertama, model kemerdekaan yang dimaksudkan Pancasila juga jelas. Kemerdekaan bangsa ini bukan sembarang kemerdekaan, bukan asal merdeka, bukan kemerdekaan pemberian atau hasil meminta-minta, tetapi kemerdekaan yang didasarkan pada kesadaran akan Tuhan Yang Maha Tuan dan Maha Esa, sehingga kesadaran religius ini mengokohkan kemauan dan keberanian diri sendiri untuk menolak serta melawan segala bentuk penjajahan, perbudakan dan pembudakan diri sendiri.

Dalam tradisi keagamaan, salah satu falsafah Tuhan mengutus orang-orang pilihan sebagai utusan-Nya kepada manusia ialah memanusiakan manusia, yakni mempertuankan dan memerdekakaan setiap orang: “Sungguh Kami telah mengutus dalam setiap bangsa seorang rasul agar sembahlah Allah dan jauhilah taghut” (QS. Al-Nahl [16]: 36).

Menyembah dan patuh-tunduk pada Tuhan hanya akan sempurna dengan juga menolak tunduk-patuh pada taghut, yaitu apa saja dan siapa saja yang mengambil posisi Tuhan. Maka, bukan hanya setan dan hawa nafsu, manusia yang memperbudak orang lain dan senang membiarkan lalu melihat orang lain jadi budak di hadapannya adalah taghut.

Nabi dan wahyu didatangkan agar manusia hidup merdeka dan jadi tuan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, nabi dan wahyu diturunkan agar mengenal dirinya sebagai hamba Tuhan dan tidak menjadi budak bagi siapa saja selain Dia.

TUHANKU, CUKUPLAH BAGIKU KEMULIAAN AKU MENJADI HAMBA BAGI-MU
DAN CUKUPLAH BAGIKU KEBANGGAAN ENGKAU ADALAH TUHAN BAGIKU.
–Ali bin Abi Thalib

Menjadi hamba Tuhan sepenuhnya yaitu hanya tunduk di hadapan Tuhan. Maka sebaliknya, hamba Tuhan tidak akan tunduk di bawah kekuasaan dan kehendak selain kekuasaan dan kehendak yang diizinkan oleh Tuhan. Begitulah setiap orang jadi tuan, penentu hidup dan masa depan diri sendiri.

Dia hamba sepenuhnya di hadapan Tuhan, maka dia tuan bagi dirinya dan hidupnya, sekaligus merdeka dan berposisi adil dan setara di hadapan siapa saja selain Tuhan. Kemerdekaan dan keadilan hakiki hanya diperoleh dari hanya menghamba kepada Tuhan dan tidak jadi budak siapa pun kecuali diizinkan oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.

Share Page

Close