• LAINYA

[arabic-font]إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ[/arabic-font]

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan.”

(QS. Al-Fatihah [1]: 5)

Hadis

  • Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”, yakni hanya kepadamu kami bertauhid, takut dan mengharap, wahai Tuhan kami, tidak selain-Mu; “dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan”, yakni dalam ketaatan kepada-Mu dan dalam seluruh urusan kami” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 1, hlm. 73).
  • Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Abu Thalhah, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam peperangan. Tatkala beliau berhadapan dengan musuh, kami mendengar beliau berkata, “Wahai Penguasa Hari Pembalasan, hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan.” Abu Thalhah melanjutkan, “Aku sungguh melihat orang-orang (musuh) tewas dihempaskan oleh para malaikat dari depan dan belakang mereka.” (ibid., jld. 1, hlm. 74).
  • Imam Hasan Al-Askari berkata tentang ayat “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan”, “Sesungguhnya Allah SWT berkata agar kalian, wahai sekalian makhluk yang diberi karunia, mengatakan, ““Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”, kepada-Mu wahai pemberi nikmat kepada kami, dan kami taat kepada-Mu setulus-tulusnya dengan kehinaan, kerendahan, tanpa riya (agar dilihat orang lain) juga tanpa sum’ah (agar didengar orang lain); “… dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan”, yakni dari-Mu kami meminta bantuan untuk taat kepada-Mu agar kami menunaikan ketaatan sebagaimana Engkau perintahkan, menjaga diri dari dunia kami sebagaimana Engkau melarangnya, dan melindungi diri dengan perlindungan-Mu dari setan terkutuk, dari segenap golongan sesat jin dan manusia dan dari orang-orang pengganggu serta zalim.”
  • Diriwayatkan pula bahwa Imam Hasan bin Ali Al-Mujtaba mengatakan, “Amirul Mukminin berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan”, yakni dalam taat dan ibadah kepada-Mu, dalam menolak kejahatan musuh-musush-Mu dan mengembalikan tipu muslihat mereka, serta dalam keteguhan atas apa yang telah Engkau perintahkan” (Al-Tafsîr Al-Mansûb ilâ Al-Imâm Al-Hasan Al-‘Askariy a.s., hlm. 39-41).
  • Diriwayatkan dari Muhammad bin Muslim, ia berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ja’far Al-Shadiq) berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memberi karunia kepadaku dengan pembuka Al-Quran (surah Al-Fatihah) dari gudang kekayaan surga. Di dalamnya terdapat … “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”, yakni ikhlas untuk beribadah, “dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan”, yakni sarana terbaik yang dengannya hamba-hamba meminta dicukupi kebutuhan mereka ….’” (Tafsīr Al-‘Ayyāsyī, jld. 1, hlm. 22).
Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Fatihah [1]: ayat 1

Studi Kata dan Kalimat

  • Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah SWT disebutkan dengan nama-nama gaib, yakni yang ditunjuk dengan kata ganti orang ketiga ‘dia’, sementara dalam ayat ini, Allah dikenalkan dengan kata ganti orang kedua ‘engkau’ sebagai lawan bicara yang senyatanya hadir, bukan gaib. Mengapa? Dan mengapa pula ayat ini dimulai dengan nomina objek (maf’ul)? Kenapa dua kata kerja di dalamnya dinyatakan dengan subjek plural, yakni ‘kami’, bukan dengan subjek singular, yakni ‘aku’? Kenapa kalimat kedua (hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan) berstruktur sama dengan kalimat kedua (hanya kepada Engkaulah kami menyembah) tidak dinyatakan, misalnya, “hanya kepada Engkaulah kami menyembah, maka bantulah kami!”? Allamah Thabathaba’i menjawab semua pertanyaan ini.
  • Yang terpenting dalam ibadah ialah seseorang tidak lagi melihat dirinya. Oleh karena itu, ibadah dan kehambaan bisa menyatu dengan syirik ‘menyekutukan Allah’ (QS. Ghafir [40]: 60), tetapi tidak akan bertemu satu dengan istikbar ‘merasa diri besar’ (QS. Al-Kahfi [18]: 110). Demikian pula dalam hadis disebutkan bahwa tidak akan masuk surga orang yang menyimpan sebenih kesombongan dalam hatinya (Sahih Muslim, hadis no. 91; Al-Kafi, jld. 2, hlm. 310). Atas dasar ini, ayat “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan” merupakan ungkapan paling sempurna dalam menyatakan kehambaan di hadapan Allah SWT.
  • Ayat itu ungkapan paling sempurna dalam menyatakan kehambaan, karena konsekuensi mendasar kehambaan ialah melihat dirinya hadir di hadapan Allah; bukan hatinya melayang ke tempat lain. Maka itu, dengan ayat surah Al-Fatihah ini beralih ke keadaan hadir Allah SWT dari keadaan gaib Allah dalam ayat-ayat sebelumnya.
  • Ayat ini dimulai dengan kata ganti orang kedua ‘Engkau’ yang berposisi sebagai nomina objek (maf’ul), bukan dengan ‘aku’ bukan juga dengan kata kerja berkata ganti orang pertama ‘aku’. Dengan kata lain, dalam ayat ini, Allah diungkapkan dengan kata ganti orang kedua ‘Engkau’ yang berposisi sebagai nomina objek dan disebutkan di awal (sebelum kata kerja). Sebaliknya, kata-kata yang menunjuk Allah di ayat sebelumnya berposisi sebagai nomina yang disebutkan tidak di awal ayat.
  • Kata kerja bersubjek plural ‘kami’ juga mencakup subjek singular ‘aku’ sehingga aku lenyap dalam pluralitas kami.
  • Kendari demikian, dalam kalimat “hanya kepada Engkaulah kami menyembah” masih ada semacam klaim yang terkait dengan ‘aku’. Karena itu, kalimat ini disempurnakan dengan kalimat “hanya kepada Engkaulah kami memohon bantuan” dalam struktur dan konstruksi gramatikal yang sama. Dengan demikian, makna ayat ini menegaskan bahwa “hanya” berkat bantuan dan pertolongan “Engkau” juga kerja dan usaha dapat terlaksana.
  • Jadi, ayat dengan konstruksi dan strukturnya hanya menyatakan satu makna, yaitu kehambaan mutlak; sedemikan murninya kehambaan seseorang hingga tak tersisa lagi sebetik keakuan pada dirinya dan dalam setiap usahanya (Allamah Thabathaba’i, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur’ān, jld. 1. Hlm. 24-27).[ph] Bersambung ⇒

Share Page

Close