• LAINYA

[arabic-font]الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ[/arabic-font]

Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.”

(QS. Al-Fatihah [1]: 3)

Hadis

  • Diriwayatkan oleh Ibn Abu Hatim dari Al-Dhahhak bahwa ia berkata, “Al-Rahmān ‘Yang Maha Pengasih’ kepada seluruh makhluk, dan Al-Rahīm ‘Yang Maha Penyayang’ kepada orang-orang beriman secara khusus” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 1, hlm. 40).
  • Diriwayatkan oleh Nadhar bin Suwaid dari Abu Bashir bahwa Abu Abdillah (Imam Ja’far Al-Shadiq] tetang firman-Nya “Yang Maha Pengasih’ berkata,”Yakni, kepada seluruh ciptaannya, “Yang Maha Penyayang”, yakni kepada orang-orang beriman saja ….” (Tafsīr Al-Qummiy, jld. 1, hlm. 28).
  • Imam Hasan Al-‘Askari berkata, ““Yang Maha Pengasih” yakni Yang memperlakukan lembut makhluk-Nya dengan memberi rezeki, tidak memutuskan bahan-bahan rezeki-Nya dari mereka kendati ketaatan mereka kepada-Nya terputus; “Yang Maha Penyayang” yakni menyayangi orang-orang beriman dengan meringankan ketaatan mereka kepada-Nya dan menyayangi hamba-Nya yang kafir dengan bertoleransi dengan mereka dalam mengajak mereka agar sesuai dengan [ajaran]-Nya ….” Imam Hasan melanjutkan, “Bagian dari rahmat (kepengasihan)-Nya ialah tatkala Dia menghilangkan kekuatan untuk tegak dan makan dari anak kecil, Dia menjadikan kekuatan itu pada ibunya dan membuat hatinya lembut agar ia aktif mengasuh dan memeliharanya. Jika hati seorang ibu keras, Dia mewajibkan pengasuhan anak kecil itu atas semua orang-orang beriman. Dan manakala Dia menghilangkan kekuatan mengasuh anak dari sebagian binatang, Dia menjadikan kekuatan itu pada anak-anak [binatang] hingga bisa bangkit sejak dilahirkan dan bergerak menuju rezeki yang telah ditetapkan kadar untuk mereka” (Al-Tafsīr Al-Mansūb ilā Al-Imām Al-Hasan Al-‘Askariy a.s., hlm. 34).

Tadabur

  • Ayat ini diapit oleh dua ayat: sebelum dan setelahnya. Ayat sebelumnya, yakni “Pujian hanyalah milik Allah, Tuhan alam-alam”, berkenaan dengan awal urusan Allah SWT, yaitu khaliqiyyah ‘penciptaan’ dan rububiyyah ‘kepengaturan’, sementara ayat setelahnya berkaitan dengan akhir urusan-Nya, yaitu “Penguasa hari pembalasan.
  • Rahmaniyyah ‘kepengasihan’ adalah rahmat perdana Allah SWT yang, tanpa pandang bulu, meliput seluruh makhluk dan realitas, mulai dari memberi ada (wujud) dan rezeki hingga pengutusan nabi (lih. QS. Al-Syu‘ara’ [26]: 43; QS. Yasin [36]: 52), termasuk bahkan bantuan kepada orang-orang sesat (lih. QS. Maryam [19]: 75).
  • Sementara itu, Rahimiyyah ‘kepenyayangan’ Allah SWT yaitu rahmat yang dicurakan kepada orang yang berupaya mendapat petunjuk, sebagaimana disinggung dalam hadis ketiga. Oleh karena itu, manifestasi dan wujud konkretnya tampak bagi orang-orang beriman (lih. QS. Al-Ahzab [33]: 43; hadis ke-1 dan ke-2). Dengan kata lain, setiap orang yang menetapkan dirinya konsisten bergerak menuju Allah, pasti diliput oleh kepenyayangan-Nya. Maka, dengan kepenyayangan Dialah kita kembali kepada-Nya.
  • Dengan demikian, kita berasal dari Allah yang Maha Pengatur, yaitu dengan kepengasihan-Nya kita menjadi ada. Dan kepada Allah Penguasa hari agama kita kembali, yaitu dengan kepenyayangan-Nya kita kembali kepada-Nya. Jadi, mudah dipahami betapa pujian dan syukur hanyalah milik, berasal dari dan berakhir kepada Allah, Pengatur alam-alam. Dia menciptakan kita dan memasukkan kita ke alam-alam dengan rahmat-Nya yang mahaluas, dan Dia senantiasa memberikan fasilitas dan kemudahan. Allah juga mengembalikan kita dengan kepenyayangan-Nya menuju kehidupan kedua, alam akhirat dan hari kebangkitan berjumpa dengan-Nya.
  • Rahmat Allah SWT dalam ayat yang begitu singkat-padat (dwikata) ini merupakan makna yang beririsan dekat dengan kandungan makna dalam ayat “Inna li-Allah wa inna ilayhi raji‘un”: sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kita kepada-Nya kembali (QS. Al-Baqarah [2]: 156).
  • Tatkala kita mengingat Allah SWT dengan nama Al-Rahman dan Al-Rahim, kita hanya menyadari kecil pengaruh dan konsekuensi dzikir ini, seolah-olah Allah dipersepsi sebagai yang maha pengasih dan maha penyayang untuk mengampuni beberapa dosa dan menutupi kekurangan kita. Padahal, dengan pengertian di atas, dzikir dengan nama Allah ini merupakan deskripsi dan kesadaran akan kepengaturan-Nya atas seluruh alam dan makhluk.
  • Setiap muslim pasti membaca ayat dan dua nama Allah SWT ini dalam setiap shalat. Salah satu aspek pendidikan shalat, atas dasar ayat ini, ialah mengingatkan setiap muslim untuk melihat kebesaran Allah di balik kebesaran alam dan, dengan begitu, ia menjadi kian besar dengan besarnya kesadaran, pikiran, dan jiwanya.
  • Keyakinan kita pada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, juga keimanan kita pada Nabi SAW sebagai manusia paling sempurna yang sayang kepada seluruh manusia dan cinta kepada orang-orang beriman, tentu tidak ada alasan lagi kita tidak sayang sesama dan cinta seiman. Sebagian muslim sebegitu ekstrem dan berlebihan tampil inklusif sebagai humanis hingga melupakan identitas dirinya juga sebagai manusia muslim dan memandang diriya bersama semua orang dan, dari semua sisi, sama dengan semua orang. Ada orang muslim yang juga keterlaluan menampilkan dirinya semata-mata muslim dan eksklusif hingga melupakan identitas dirinya sebagai manusia dan meremehkan nilai-nilai kemanusiaan.
  • Setiap muslim percaya sepenuhnya pada Allah SWT, Nabi SAW dan agamanya sebagai rahmat untuk segenap umat manusia dari berbagai ras dan warna kulit. Kepercayaan ini tidak berarti orang muslim jadi toleran sedemikian rupa hingga menegasikan hukum dan sikap tegas Islam dalam menegakkan keadilan dan nilai kemanusiaan lainnya atau menyangkal cara Islam memberantas maksiat, kezaliman, penindasan dan gejala-gejala buruk sosial budaya lainnya. Dalam ayat Qishash, misalnya, Islam menetapkan hukum yang tampaknya terkesan sebagai kekerasan terhadap orang yang terhukum, tetapi justru dalam Qishash terdapat rahmat Allah untuk kemaslahatan umum, yaitu kehidupan untuk umat manusia.
  • Tidak semestinya kita membatasi diri sebegitu sempitnya hingga kita berpikir dan bersikap tidak bisa memiliki semua kesempurnaan dan nilai keutamaan; tidak semestinya kita kehilangan kemuliaan lain manakala memperoleh satu kemuliaan. Dalam hadis yang sudah sangat populer tentang falsafah keberadaan nabi dan alasan Allah mengutus nabi, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Wahyu, kenabian dan agama (Islam) adalah perangkat eksternal bagi manusia untuk menghidupkan dan menyempurnakan nilai-nilai kemanusiaan yang telah tertanam secara internal dalam diri setiap manusia.[ph]

Share Page

Close