• LAINYA

FILSAFAT-IBADAH–Ada yang nyata, ada yang gaib. Ada yang konkret, ada yang abstrak. Ada yang lahir, ada yang batin. Oleh Alquran diingatkan bahwa di balik kenyataan dan lahiriah segala sesuatu di dunia ini, ada rahasia batiniahnya.

Realitas diri kita ini saja juga bukan hanya badan dan fisik yang berangsur-angsur menua hingga musnah dengan kematian. Diri kita terdiri dari lahiriah dan batiniah, yaitu badan dan ruh. Perbuatan kita juga ada lahiriah dan batiniahnya.

Dalam Islam, seluruh hidup dan perbuatan seorang muslim harus membentuk ibadah, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah hanya untuk Allah, Tuan alam-alam” (QS. Al-An’am [6]: 162).

Di antara kebiasaan mulia ulama, terutama para arif-sufi, ialah menulis karya tentang rahasia-rahasia ibadah, mengungkap lapisan-lapisan batin di balik gerakan fisik dan bacaan lahiriah ibadah. Salah satu ibadah multidimensi adalah haji.

Dimensi haji begitu kompleks, berlapis-lapis. Ini seperti puasa dan yang mengandung dimensi jasmani, ruhani, individual dan sosial. Salat Jumat, misalnya, justru lebih menonjolkan dimensi sosial di samping dimensi spiritualnya.

Haji, seperti salat Jumat tadi, adalah salah satu ibadah multi-dimensi. Barangkali tidak ada ibadah seperti kaya dan melimpahnya dimensi haji. Ibadah ini tahunan ini memiliki aspek ritual, pengetahuan, spiritual, ekonomi, politik hingga internasional.

Haji bukanlah ibadah yang bisa diulang setiap saat sehingga membentuk kebiasaan, karena praktik haji berbeda dari kebiasaan hidup normal: seorang jamaah haji berada di suasana baru, lingkungan baru, tanah baru, bertemu dengan orang-orang baru, berpenampilan baru, pakaian khusus, dan amalan-amalan khusus sehingga menyisakan peluang seminimal mungkin untuk lalai dan kehilangan tawajjuh ‘konsentrasi’ kepada Allah SWT.

Pintu dan dinding di tanah suci mengarahkan hati serta pikiran jamaah haji kepada Tuhan. Berbekal pengetahuan minim tentang sejarah dan agama, setiap titik negeri suci itu menyegarkan ingatan setiap muslim, mengilhamkan kebenaran suci dan spiritualitas, menayangkan kenangan para nabi serta rekaman manusia-manusia suci ilahi.

Baca Juga :  Balada Cinta Istri Kepala Keamanan Raja dan Ajudan Tampan dalam Alquran (2): Cinta Tuhani, Cinta Insani, Cinta Hewani

Menjauh dari kehidupan sehari-hari, terputus dari urusan duniawi untuk sementara waktu merupakan faktor lain yang melenyapkan kendala penghambat curah-rasa, curah-asa dan curfah kesadaran kepada Allah sekaligus membuka medan fokus serta khusyuk mengingat-Nya.

Haji tak ubahnya kamp tempat perjanjian dan perjumpaan yang sepenuhnya ibadah. Kata-kata, perilaku, gerak dan diam hingga lintasan pikiran dan getaran batin, seluruhnya, berada di bawah pengawasan dan peraturan.

Mulai dari pakaian Ihram, jamaah haji memakainya dengan melihat dirinya hadir di aula suci Tuhan. Kesamaan pakaian ihram serba putih melenyapkan perbedaan lahiriah dan keduniaan; tidak ada keistimewaan apa pun kecuali semua jamaah haji, dengan latar belakang yang berbeda-beda, ketakwaan dan ketulusan jiwa kepada Allah SWT.

Dengan berkurban di Mina, jamaah haji seperti menyembelih dan mengorbankan jiwa pemberontak dalam dirinya dan memulai hidup baru dengan jiwa kedamaian (nafs muthma’innah).

Dengan bertawaf dan mengelilingi Ka’bah, dia berpaling dari makhluk dan hanya tertuju ruhnya kepada Allah SWt sebagai tujuan dan poros hidupnya. Seiring dengan gerak lahiriah di seputar rumah Allah (baytu-Allah), hati dan batinnya bergerak memusatkan luapan cinta dan rindunya pada Yang Mahakasih Maha Pengasih.

Selama di padang Masy’ar, dia menghabiskan sepanjang malam di sana dalam keadaan terjaga dan, di pagi harinya, bergegas menuju Mina, melempar Jumrah untuk berperang melawan setan di dalam dan di luar diri.

Semua nilai-nilai batin dan suci itu hanya diperoleh bila haji dilaksanakan dengan pengetahuan dan cinta di hati. Meski semua kondisi, sarana dan suasana di sana memadai, kondisi spiritual ini tidak tercipta dan diperoleh seseorang begitu saja dan secara otomatis.

Tidak sedikit jamaah haji yang amalan-amalan haji mereka tidak melampaui gerakan fisik dan bacaan di lisan, kehilangan kesempatan memperkaya jiwanya dengan kekayaan ruhani haji di sana, sehingga keadaan setelah haji tidak berbeda jauh dengan keadaan sebelum naik haji.

Baca Juga :  Ibnu Taimiyah dan Ibnu Athaillah: Dialog Santun dan Klarifikasi antara Faqih dan Sufi

Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husain mengatakan:
Betapa banyak riuh-rendah
betapa sedikit orang haji.

Jalaluddin Rumi turut menyinggung:
Jika Ka’bah menambah kemuliaan
Itu karna curahan ikhlas Ibrahim.

Selain rahasia-rahasia batin di atas, haji memiliki dimensi politik dan sosial yang luar biasa. Kapasitasnya begitu melimpah, namun seberapa besar kesadaran kita membongkar muatan-muatan tersebut? Apakah haji kita berdampak pada kepekaan sosial dan meningkatkan kesadaran politik kita?

Oleh Jalaluddin Rumi, sekali lagi, kita diingatkan:
Kala kau tlah ke rumah [Allah] itu seratus kali
Takkah sempat kau datang ke rumah [diri] barang sekali.

Meskipun para sufi lebih aktif berbicara tentang aspek spiritual dan rahasia-rahasia haji secara menakjubkan, tetapi amat disayangkan bila mereka justru mengabaikan matan-muatan sosial serta potensi transformative sodsial-politiknya dalam skala nasional dan global. Tampaknya mereka kurang atau malah tidak memperhatikan peran konstruktif haji dalam dinamika sosial-politik.

Peran sufi mengungkap rahasia spiritual haji tidak kalah penting dengan tanggung jawabnya terlibat dalam perubahan sosial dan politik umat Islam.

Haji yang telah menjadi catatan hidup dan sejarah kita masih berbeda jauh dari dari haji Ibrahim dahulu. Nabi agung itu mencatatkan sejarah ibadahnya dengan memikul kapak, menghancurkan berhala mati dan berperang dengan berhala hidup, Raja Namrud. Riuh-rendah perjuangan Nabi Ibrahim masih bergemuruh di hari-hari haji, hingga hari ini dan setiap tahun. Seruannya mengguncang pusat-pusat ketidakadilan dan kejahatan.

Sudah cukup dan banyak sufi-sufi tariqat yang hanya berfokus pada aspek-aspek tertentu dari haji. Umat dan bangsa memerlukan sufi yang menaruh perhatian pada aspek hukum, ritual dan spiritual haji sama besarnya dengan kepeduliannya pada aspek politik dan sosial haji, menyuarakan kepentingan dan kemaslahatan Islam dan Muslimin, keadilan dan kedamaian dunia.–MFE-AFH

Share Page

Close