• LAINYA

[arabic-font]وَ لَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِباَدِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَ لَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ ماَ يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِباَدِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ[/arabic-font]

Dan seandainya Allah melapangkan rezeki untuk hamba-hamba-Nya, niscaya mereka berbuat melampaui batas di bumi, akan tetapi Dia menurunkan [rezeki] dengan suatu ukuran sebagaimana yang Dia kehendaki. Sungguh Dia terhadap hamba-hamba-Nya Mahateliti lagi Mahatajam melihat.”

(QS. Al-Syura [42]: 27)

Studi Kebahasaan

  • Qadar (ukuran) disebutkan dalam bentuk nakirah ‘indefinitif’ dan, karena itu, tidak berposisi sebagai mudhaf dengan frasa mā yasyā’ (sebagaimana yang Dia kehendaki). Atas dasar inilah terjemahan di atas lebih teliti daripada ayat itu diterjemahkan menjadi “ukuran apa yang Dia kehendaki”.
  • Kata ganti yang tersembunyi pada mā yasyā’, pada dirinya sendiri, bisa mengacu ke Allah juga ke hamba. Namun, karena hamba sebelumnya telah disebutkan dalam bentuk plural, yaitu ‘ibad, acuan kata kerja itu tidak lain hanyalah Allah.

Hadis

  • Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, “Seandainya Dia (Allah) lakukan, mereka pasti melakukan. Hanya saja Dia menjadikan mereka saling membutuhkan satu sama lain dan, dengan begitu, Dia menjadikan mereka hamba. Namun, seandainya Dia menjadikan mereka semua orang-orang kaya, mereka pasti berbuat melampaui batas di bumi, “akan tetapi Dia menurunkan dengan suatu ukuran sebagaimana yang Dia kehendaki” dari apa yang Dia ketahui bahwa itu bermaslahat bagi mereka dalam agama mereka dan dunia mereka. “Sungguh Dia terhadap hamba-hamba-Nya Mahateliti dan Mahatajam Melihat.” (Tafsīr Al-Qummiy, hld. 2, hlm. 276).
  • Diriwayatkan oleh Muhammad bin Utsman dari Anas dari Nabi SAW dari Jibril dari Allah SWT bahwa Allah SWT berfirman, “… Sungguh di antara hamba-hamba-Ku yang beriman ada hamba yang tidak utuh imannya kecuali dengan kemiskinan; seandainya Aku menjadikannya orang kaya, itu akan merusak imannya. Sungguh di antara hamba-hamba-Ku yang beriman ada hamba yang tidak utuh imannya kecuali dengan kekayaan; seandainya Aku menjadikannya miskin, itu akan merusak imannya. Sungguh di antara hamba-hamba-Ku yang beriman ada hamba yang tidak utuh imannya kecuali dengan sakit; seandainya Aku menjadikannya sehat tubuhnya, itu akan merusak imannya. Sungguh di antara hamba-hamba-Ku yang beriman ada hamba yang tidak utuh imannya kecuali dengan kesehatan; seandainya Aku menjadikannya sakit, itu akan merusak imannya. Aku sungguh mengelola hamba-hamba-Ku karena pengetahuanku akan hati-hati mereka, karena Aku adalah mahatahu dan mahateliti” (Tawhid Al-Shaduq, hlm. 400).
Baca Juga :  Mufasir Perempuan (2): Banu Mujtahidah Isfahani dari Persia

Tadabur

  • Jika suatu saat Allah SWT tidak melapangkan rezeki kepada kita, itu tidak berarti Dia marah atau benci terhadap kita, tetapi kita inilah yang tidak punya kelayakan. Dia Mahatahu akan kondisi diri kita. Masing-masing kita ingin diberi lebih banyak, akan tetapi Dia tahu, lantaran kita tidak punya kelayakan dan kapasitas, pemberian rezeki itu justru akan merugikan diri kita.
  • Alih-alih berusaha mengejar tambahan kekayaan diri sendiri, semestinya kita berpikir bagaimana meningkatkan kapasitas dan kelayakan diri. Kalau memang kita tidak punya kapasitas, berlimpahnya kekayaan kita malah akan merugikan diri sendiri.
  • Sekalipun kita sudah berjerih payah dan berusaha sekuat tenaga namun rezeki kita tak kunjung dilapangkan, itu karena cinta dan sayang Allah kepada kita. Betapa kasih sayang-Nya terkandung dalam ayat ini. Kalaupun Allah memberatkan dan mempersulit, perlakuan ini juga karena cinta-Nya. Coba perhatikan ayat di atas! Allah menggunakan kata li ‘ibādihi (untuk hamba-hamba-Nya), tidak kata li al-nās (untuk manusia). Bahkan, sekalipun Allah tidak berbuat (melapangkan rezeki) untuk hamba-hamba-Nya, mereka tetap hamba-Nya.
  • Betapa kita minim kapasitas dan kelayakan, dan begitu mudahnya kita sadar bila kita tidak mentolerir kurangnya kapasitas diri sendiri. Karena itu, Allah memastikan: “niscaya mereka berbuat melampaui batas.”
  • Allah SWT juga mengungkapkan sebab perbuatan mereka melampaui batas, yaitu karena mereka memandang substansi dirinya, realitas dirinya, keinginan dan cita-citanya sebatas bola bumi dan alam ini, lupa dan lalai akan akhirat. Bagaimana dalam ayat ini, Allah bisa saja cukup berfirman, “niscaya mereka berbuat melampaui batas”, tetapi justru Dia berfirman, “niscaya mereka berbuat melampaui batas di bumi.”
  • Mengenai parameter dan kriteria tentang seberapa besar Allah memberi kepada kita, hamba-hamba-Nya, ini pun berada sepenuhnya dalam kehendak-Nya, bukan keinginan kita. Ini tidak lantas disimpulkan bahwa Allah SWt hendak memaksa manusia, akan tetapi Dia tahu sekadar itulah kapasitas kita. Oleh sebab itu, Allah menurunkan [hujan] dengan ukuran tertentu.
  • Perbuatan Allah terukur dan penuh pertimbangan. Memang, kriteria dan parameter sesuatu yaitu mā yasyā’ (sebagaimana yang Dia kehendaki), dan kehendak Allah di atas segala sesuatu, namun tidak di atas pengetahuan-Nya (yakni, tetap berada dalam pengetahuan-Nya). Oleh karena itu, pertama-tama Allah berfirman, bi qadar-in (dengan ukuran), yakni Dia menurunkan [rezeki] berdasarkan pengukuran dan penimbangan, begitu pula di akhir ayat Dia berfirman, “khabīr bashīr” (Mahateliti lagi Mahatajam melihat). Ini, artinya, kehendak Allah SWT sepenuhnya berdasarkan pengetahuan dan ketelitian.
  • Rezeki bukan hanya uang, barang, modal, tabungan, makanan, minuman dan sejenisnya, akan tetapi apa saja yang menambah kualitas jiwa dan meningkatkan nilai diri kita. Itulah rezeki. Ilmu, data adalah rejeki, demikian pula kewenangan, status, kedudukan, pekerjaan juga rezeki. Jika kita telah berusaha tetapi tidak mendapatkan lebih banyak, pada saat itulah kita harus menyadari adanya kekurangan pada kapasitas dan kelayakan kita dan, untuk itu pula kita, harus memikirkan bagaimana meningkatkan kapasitas kita.
  • Titik awal perubahan diri dan peningkatan kualitas jiwa adalah dari diri sendiri. Ya, Al-Quran samudera tidak bertepi, namun kita memahami setiap ayat yang kita baca sepintas dan alakadarnya hanya yang terlihat di permukaan teks dan aksara-aksaranya, maka sekadar dan sepintas itu pulalah kelayakan kita dibukakan kelapangan rezeki. Justru rezeki, bila dilapangkan melebihi kapasitas dan kelayakan orang yang menerimanya, bisa jadi membuat dirnya berbangga diri, terkecoh dan menggunakannya hingga melampaui batas.
  • Apa saja yang kita peroleh itulah rezeki sebagai kemurahan dan kebaikan mutlak Allah SWT, bukan karena ‘aku’ telah bekerja, ‘aku’ telah berusaha, ‘aku’ telah membanting tulang, ‘aku’ telah tekun belajar. Dalam QS. Al-Qashash [28]: 78, Allah merekam perkataan Karun, “Dia berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih hebat kekuatannyadan lebih banyak mengumpulkan harta?! Dan tidaklah orang-orang yang berdosa itu akan ditanyai tentang dosa-dosa mereka.” Setiap saat kita berhasil menekan dan menaklukan ego ‘aku’ ini, kita sesungguhnya sedang meningkatkan kapasitas dan kelayakan kita untuk menerima limpahan rezeki yang lebih banyak. “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Nafkahkanlah sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu!’, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang, jika Allah menghendaki, tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata.’” (QS. Yasin [36]: 47). Allah berbuat sesuai dengan kedudukan-Nya, sementara kita harus berbuat juga sesuai dengan kedudukan dan status diri kita.
  • Allah SWT menerangkan lapangan dan kemudahan rejeki tanpa diimbangi kapasitas dan kelayakan hamba sebagai sebab perbuatan melampaui batas dan kezaliman. Dalam budaya Al-Quran, kata bagy (melampaui batas) tidak terbatas hanya pada kezaliman ekonomi. Satu faktor ekonomi saja, pada dasarnya, bisa berpengaruh positif atau negatif terhadap sektor non-ekonomi. Pada prinsipnya, perspektif dalam perspektif Al-Quran, dimensi dan medan kehidupan manusia, entah individual ataupun sosial, terjalin berkelindan dan saling berpengaruh satu sama lain.
  • Ya, Allah SWT melapangkan rezeki dengan kadar dan ukuran tertentu. Namun keyakinan ini tidak berarti rezeki dan bagian makhluk tetap dan tidak berubah, karena di balik setiap takdir dan pembagian rezeki, Allah memiliki simpanan dan khazanah yang, sebagiannya saja., diturunkan. Tetpi, kehendak-Nya berlaku pada sesuatu, Dia akan melebihkan hal-hal yang telah ditakdirkan oleh-Nya. Karena itu, berdasarkan pengertian ini, tidak ada yang namanya keberhasilan dan kegagalan, kelebihan dan kekurangan dalam fasilitas dan rezeki makhluk, tetapi Dia menurunkan rezeki sesuai dengan kadar kebutuhan setiap makhluk. Perlu juga segera ditegaskan bahwa unsur penting dalam takdir rezeki setiap manusia ialah usaha, kehendak, iman, dan tujuannya. Jika unsur-unsur ini meningkat kuat, rezeki juga akan bertambah. Ini, selain tidak bertentangan dengan takdir Allah, merupakan bagian atau bahkan, peneguhan atas takdir-Nya.
Baca Juga :  Dosa-dosa Tidak Merdeka (1): Teologi Penjajahan

Menjawab Kritik

  • Pertanyaan: jika Allah SWT telah mentakdir dan menetapkan pasti ukuran rezeki semua orang, lantas kenapa ada yang mati kelaparan jawab?
  • Jawab: pertanyaan ini perlu ditanggapi dari dua sudut: kemanusiaan dan ketuhanan. Dari sudut kemanusiaan. Allah juga telah menentukan peran dan tugas kita sebagai manusia. Jika seseorang tidur kelaparan, tentu ada orang lain yang telah memakan hak bagiannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, pada masa Imam Mahdi, semua kezaliman dan penindasan akan diditiadakan sehingga tidak satu orang pun tidur dalam keadaan lapar. Dan dari sisi ketuhanan, apa saja yang kita peroleh merupakan bagian dari rezeki kita. Bahkan, kematian kita itu pun adalah bagian dari rezeki kita. Apakah sekarang dimana Allah telah menentukan rezeki kita lantas tidak boleh orang mati. Jika Allah SWT telah menentukan cara matinya setiap orang, misalnya, karena kecelakaan, maka salah satu peristiwa kecelakaan itu terjadi akibat kelaparan.
  • Sekali lagi segarkan dalam ingatan kita, “Apa yang kita peroleh untuk peningkatan nilai jiwa kita itulah rezeki kita yang sesungguhnya.”[ph]

Share Page

Close