• LAINYA

Q&A–Jika sudah mendapatkan keyakinan, apakah kita tidak lagi wajib beribadah sehingga, misalnya, kita tidak lagi melakukan shalat puasa, haji, dan tidak wajib mentaati hukum-hukum agama? Lalu, bagaimana dengan ayat-ayat yang memerintahkan beribadah tanpa batas?

Jika beribadah itu berbatas, yaitu sampai kita mendapat keyakinan, apakah kalau sudah mendapatkan keyakinan lantas kita tidak lagi wajib menyembah Allah dan boleh melanggar hukum-hukum-Nya?

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahkan Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu!
(QS. Al-Hijr [15]: 99)

Di ayat ini, Allah membatasi kita sampai di mana kita wajib beribadah, yaitu sampai di saat kita mendapatkan keyakinan. Namun di ayat lain, seperti di surah Al-Ra’d, Allah menetapkan perintah wajib agar kita terus beribadah tanpa batas waktu dan tempat:

قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا أُشْرِكَ بِهِ

Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanyalah diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya’”
(QS. Al-Ra’d [13]: 36)

Adakalanya orang beriman diumpamakan ibadah dan derajat keyakinannya seperti pemanjat, tangga dan atap, dimana pemanjat menggunakan tangga untuk tujuan: berada di atap, dan sesampainya di atap, ia tidak membutuhkan tangga lagi. Setelah mencapai tujuan, tangga itu tidak berguna lagi.

Begitu pula orang beriman mempunyai tujuan, yaitu mencapai derajat yakin, dengan cara beribadah. Maka, ibadah adalah sarana untuk mencapai dan mendapatkan yakin. Seperti perumpamaan tangga tadi, ibadah menjadi tidak lagi berarti apa-apa tatkala ia sudah memperoleh keyakinan. Dengan kata lain, bagi orang yang sudah berhasil mencapai tujuan (mencapai derajat yakin), beribadah dan menaati hukum-hukum Allah menjadi tidak lagi wajib.

TIDAKKAH AKU PANTAS MENJADI HAMBA YANG BANYAK BERSYUKUR?!–Baginda Nabi SAW

 

JAWABAN PERTAMA

Perumpamaan ini tidak sepenuhnya tepat dalam menggambarkan arti ibadah. Yang tepat, ibadah orang beriman diumpamakan dengan tangga yang digunakan orang yang bermaksud memetik buah-buahan dari pohon, dimana dia harus tetap berada di tangga untuk terus dapat meraih dan memetik buah-buahan. Dia juga harus memanjangkan tangga untuk bisa menjangkau dan memetik buah di tangkai pohon yang lebih tinggi lagi.

Baca Juga :  QS. Al-Hijr [15]: Ayat 99; Falsafah Ibadah; Untuk apa dan Sampai kapan Kita Beribadah?

Maka, selama dia ingin memetik buah, tangga itu perlu dan dia butuhkan. Jika dia lepaskan tangga, maka bukan hanya tidak bisa lagi memetik buah-buahan, dia bahkan pasti jatuh. Apalagi saat menjangkau dan memetik buah yang lebih tinggi, dia jatuh terbanting dan bisa lebih hancur lagi dirinya.

MENCAPAI YAKIN TANPA LAGI BERIBADAH SEPERTI BERHARAP MEMPEROLEH HASIL TANPA SEBAB-USAHA. INI, SELAIN MUSTAHIL, JUGA HARAPAN YANG BODOH.

Begitu pula, orang beriman itu beribadah dengan tujuan: mencapai derajat yakin. Maka, ibadah merupakan tangga mencapai yakin dan kedekatan bersama Allah. Dan tangga ibadah tetap perlu dan diperlukan orang beriman selama meraih keyakinan dan sepanjang memiliki derajat yakin. Jadi, meninggalkan dan membuang tangga sama artinya menjatuhkan iman dan keyakinannya menjadi ingkar, merasa diri sudah cukup hingga sesat.

Maka, mencapai derajat yakin melihat Allah SWT dengan ibadah yaitu orang yang menjangkau buah ibadah hanya selama ia tetap senantiasa berada di tangga ibadah. Sebaliknya, melepaskan tangga bukan hanya berpisah dari derajat yakin, tetapi juga pasti jatuh terhempas dan menjauh dari Allah.

 

JAWABAN KEDUA

Ayat pertama (QS. Al-Hijr [15]: 99) tidak dalam rangka membuat garis pembatas antara ibadah dan yakin, dimana jarak tempuh ibadah sampai batas tertentu, lalu ibadah menjadi habis sampai di batas itu dan berikutnya seorang hamba masuk ke wilayah yakin.

Tidak demikian. Ayat itu menerangkan dampak tertinggi dari ibadah, yaitu yakin. Dan dampak ini hanya tetap bertahan adanya bila bersama dengan sebabnya, yaitu ibadah. Maka, sebab memperoleh yakin, yakni ibadah, harus senantiasa diupayakan. Inilah yang juga dikuatkan oleh ayat kedua (QS. Al-Ra’d [13]: 36).

Pada intinya, mencapai keyakinan tanpa lagi beribadah seperti berharap memperoleh dampak/hasil tanpa sebab dan usaha. Jelas ini, selain mustahil, adalah harfapan yang bodoh.

BERIBADAH TIDAK TEPAT DIUMPAKAN DENGAN TANGGA DAN ATAP, TETAPI DENGAN TANGGA DAN MEMETIK BUAH.

 

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Nur [24]: ayat 52

JAWABAN KETIGA

Ibadah berasal dari kata ‘abd, yakni budak dan hamba yang tidak punya kehendak dan keputusan apa-apa di hadapan tuannya. Beribadah yaitu ketundukan total manusia di bawah kehendak dan hukum Allah. Maka ibadah adalah pengakuan dan pembuktian diri sebagai budak dan hamba (‘abd) Allah.

Atas dasar pengertian quranik ini, maka melepaskan tangga ibadah dalam keadaan apa pun, sebelum dan seketika ataupun sesudah mencapai atap keyakinan, adalah sama dengan dia menanggalkan identitas kebudakannya dan menganggap dirinya bukan lagi hamba dan budak Allah; menganggap dirinya sederajat dengan Allah dan, dengan demikian, telah syirik dan menempatkan dirinya sebanding dengan Allah.

Dengan kata lain, manusia itu, selama dia makhluk, akan tetap berstatus hamba dan penyembah Allah. Mustahil kehilangan kemakhlukannya, maka mustahil pula kehilangan status “hamba penyembah Allah” dari hakikat dirinya. Prestasi apa pun dan sehebat apa pun kekuasaan manusia tidak akan mengubah identitas dirinya sebagai makhluk dan hamba Allah.

Seperti dalam ayat pertama, salah satu prestasi tertinggi manusia ialah mencapai derajat yakin. Dalam capaian ini, dia tetap saja sebagai hamba, bahkan lebih hamba dari manusia yang lain. Selama identitas hamba melekat pada dirinya, dan selama itu pula ia menghamba dan menyembah Tuannya. Karena itu, dua ayat di atas tidak kontradiktif, tidak saling bertentangan.

 

JAWABAN KEEMPAT

Sebagai orang pertama yang diseru ayat kedua, Nabi Muhammad SAW telah meraih keyakinan dan tak sedikit pun melalaikan ibadah. Jika Sayyidina Ali ra. saja berkata, “Seandainya selubung-hakikat disingkapkan untukku, keyakinanku tidak akan bertambah”, tentu keyakinan Nabi SAW lebih sempurna lagi dan paling sempurna.

Nabi SAW manusia terpilih, tersempurna, hamba dan budak paling sempurna di hadapan Allah. Ia teladan bagi semua kalangan umat. Identitas budak adalah derajat tertinggi para nabi. “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.”

Baca Juga :  Balada Cinta Istri Kepala Keamanan Raja dan Ajudan Tampan dalam Alquran (5): Cinta Segi Tiga dan Manajemen Kasus

Ibadah adalah kesukaan Nabi, dan tidak sekejap pun ia berada di luar kehambaan dan keberibadahan. Merasa bebas dari perintah dan larangan agama, bukan hanya bertentangan dengan Nabi SAW, tetapi juga telah kehilangan identitas diri sebagai hamba, lebih hina dan tersesat jauh di bawah kepantasannya sebagai binatang.

“Tidakkah aku layak menjadi hamba yang banyak bersyukur?” Hadis masyhur dari Nabi SAW ini diungkapkan dalam banyak kesempatan sebagai jawaban atas pertanyaan Siti Aisyah, “Kenapa engkau menanggung semua kesulitan ini?”, yaitu saat dia melihat beliau selalu menangis dan senantiasa beribadah di malam hari, tanpa kenal lelah dan kesulitan.

 

JAWABAN KELIMA

Ibadah itu usaha tulus hamba mendekatkan diri pada Allah SWT. Maka, ada tatacara dan hukum-hukumnya yang disebut dengan “syariat”. Dalam bahasa Arab, makna harfiah syariat adalah aliran sungai.

Dalam sebuah analogi, ibadah seumpama aliran sungai yang diarungi hamba menuju laut; semakin ia bergerak maju, aliran kian deras dan ruas sungai kian lebar hingga ia tiba di laut, selanjutnya bersama aliran ibadah dan dalam air ibadah ia berada di tengah samudera tak bertepi menyelami keluasan, kejernihan, kedalaman dan keindahannya. Samudera itulah puncak pencapaiannya.

Di titik manapun dia berada di samudera, di situlah air ibadah berada, karena samudera adalah air. Keyakinan adalah samudera hakikat sebagai aliran tertinggi dari ibadah dan pengamalan syariat.

وَمَن يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَىٰ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ مَن تَزَكَّىٰ 

Dan barangsiapa yang datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan beramal baik, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat-derajat yang tinggi. [Yaitu] surga-surga Aden yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang yang menyucikan diri (QS. Thaha [20]: 75-76).[AFH]

Share Page

Close