• LAINYA

TAFSIR-SOSIAL-SUFI—Entah ada atau tidak ayat yang menyinggung tindak kekerasan seksual laki-laki terhadap perempuan, setidaknya Alquran justru menceritakan sebaliknya: tindak kekerasan seksual perempuan dengan laki-laki sebagai korbannya, seperti perlakuan Zulaikha terhadap Yusuf.

Berstatus sebagai korban kekerasan, lantas reaksi apa yang diambil nabi agung nan tampan itu terhadap Zulaikha?

Yusuf berkata, ‘Lindungan Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung’” (QS. Yusuf [12]: 23).

Sesingkat-padat ayat ini, Alquran menerangkan tiga cara (fitrah tuhani-insani) yang ditempuh Yusuf dalam mereaksi perlakuan buruk orang lain (kekerasan Zulaikha), semuanya didasari oleh motif cinta:

Cara pertama terkait khusus dengan Yusuf sendiri (Lindungan Allah).

Cara kedua terkait dengan yusuf dan Zulaikha (Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukan aku dengan baik).

Cara ketiga erkai khusus dengan Zulaikha (Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung).

 

Cara Pertama: pertama-tama dan yang utama adalah berlindung kepada Allah sebagai sumber keberadaan dan kemuliaan.

Sesuai undang-undang cinta, al-mar’u ma’a man ahabb: seseorang akan bersama dengan yang dia cintai. Demikian yang pertama diingat dan yang utama diharapkan Yusuf adalah yang paling dicintainya, Allah SWT. Ini sebagaimana penjelasan pertama Alquran tentang peran manusia dalam hidupnya, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkau pula kami mengharap pertolongan” (QS. Al-Fatihah [1]: 5). Peran ini diungkapkan dalam bentuk ikrar.

Sebegitu besar cinta Yusuf pada Allah hingga dirinya lenyap dalam keagungan realitas-Nya, maka yang ada hanyalah Dia. Itulah mengapa Yusuf menyatakan ekspresi perlindungannya kepada Allah dengan redaksi: ma‘ādz Allāh. Bagaimana frasa ini menyatakan kelenyapan-diri makhluk dan kesatuan Tuhan? Berikut penjelasannya:

Kata Arab “ma’ādz” ini berasal dari ‘ādza-ya’ūdzu-‘uwdzan-‘iyādzan-ma’ādzan dengan membawa dua kandungan makna: (a) berlindung dan (b) melekat. Tidak sebagaimana terjemahan di atas itu (lindungan Allah), para mufasir dan penerjemah mengartikan frasa ma‘ādz Allāh dengan “aku berlindung kepada Allah”. Tafsiran dan terjemahan mereka ini, bila di-Arab-kan, jadinya adalah seperti ungkapan Bunda Maryam a.s. berikut ini:

قَالَتْ اِنِّيْٓ اَعُوْذُ بِالرَّحْمٰنِ مِنْكَ اِنْ كُنْتَ تَقِيًّا

Dia (Maryam) berkata (kepadanya), “Sesungguhnya aku berlindung kepada Yang Mahakasih darimu jika kamu seorang yang bertakwa.” (QS. Maryam [19]: 18)

Pengalaman Yusuf berkhalwat (berduaan) bersama lawan jenis juga dialami oleh Bunda Suci Maryam a.s. dengan tingkat kekritisan, ketegangan dan tantangan yang berbeda, dimana lawan jenis Yusuf berencana jahat, sementara lawan jenis Bunda Maryam adalah Jibril yang menjelma laki-laki dan, tentu saja, bermaksud mulia.

Baca Juga :  QS. Al-Ra’d [13]: 17; Mana Posisi dan Partai Anda? (1) Polarisasi Kubu Politik

Saat didatangi Jibril dalam kesendirian di mihrabnya, Bunda Maryam a.s. berlindung kepada Allah dengan masih menyatakan dirinya sebagai subjek juga menyebutkan Jibril sebagai objeknya, innī a‘ūdzu bi al-Rahmān minka, yakni “aku berlindung kepada Yang Mahakasih darimu.

Namun, dalam perkataan Yusuf di tengah situasi yang lebih genting lagi, Alquran tidak menggunakan redaksi kalimat Bunda Maryam di atas tadi. Dalam ungkapan Yusuf, ma‘ādz Allāh, hanya ada dua kata: berlindung dan Allah. Di dalamnya, tidak ada subjek, yakni aku (Yusuf), juga tidak ada objek, yakni Zulaikha. Yang ada hanyalah Allah dan keadaan/tindakan berlindung.

Tentunya, seseorang hanya akan berlindung pada orang lain bila sejak awal sudah memiliki kepercayaan pada orang tersebut sehingga ia bergantung dan menggantungkan keselamatan, kebahagiaan hidup dan masa depan kepadanya. Sebaliknya, orang yang tidak percaya pada seseorang sudah barang tentu tidak akan mengandalkan apalagi menumpukan harapan serta menggantungkan nasib dirinya kepada orang itu.

Maka, dapat dipahami bahwa Yusuf hanya berlindung kepada Allah, tidak kepada selain-Nya, karena kepercayaan dan imannya. Sedemikian penuh iman dan sempurna tauhidnya pada Allah sehingga segenap wujud dan realitas dirinya hanya melekat seutuhnya dengan Allah. Bentuk ekstrem dari melekat adalah menyatu dan bersatu; kebersatuan yang meniadakan perbedaan karena ketiadaan salah satunya, yaitu diri Yusuf itu sendiri.

Nabi agung ini sebegitu sempurna cintanya pada Allah sehingga tidak lagi memandang dirinya ada. Dalam derajat tinggi kelekatan dan kedekatan sempurna (wilayah dan kewalian) serta fana (kelenyapan-diri), yang ada dan nyata di hadapan pecinta sejati adalah keberadaan Allah tercinta sejati.

Maka, frasa ma‘ādz Allāh adalah ungkapan manusia sempurna sekualitas Yusuf dalam beriman, berkeyakinan, berlindung dan bergantung hingga melekat sepenuh dan seutuh realitas dirinya dengan Al-Haqq (Yang Maha Nyata) dalam mencapai pengalaman tauhid tertinggi dan keesaan hakiki: “tidak ada yang ada kecuali Allah”.

Tauhid dalam frasa Yusuf ini sekaligus menjelaskan undang-undang kedua cinta, bahwa cinta itu menyatukan hingga yang tampak dan ada hanya satu; cinta tidak bersegi, entah segi dua apalagi segi tiga. Hubungan kesatuan cinta ini juga terungkap dalam hadis Jibril dan hadis Nawafil yang sangat populer itu.

Baca Juga :  Muslim yang Aneh, Ada Solusi masih saja Pesimis dan Menyerah

Cara Kedua: mencintai sesuatu pasti mencintai bekas-bekasnya. Undang-undang ketiga cinta dari sufi ini juga menegaskan bahwa mencintai Allah niscaya membuat seseorang mencintai makhluk-makhluk-Nya. Demikian pula, orang yang mencintai hakikat kebaikan akan mencintai bekas-bekas kebaikan yang melekat pada apa pun dan pada siapa pun.

Di cara kedua ini, Yusuf mengingat Potifar karena dua status mulia yang melekat pada dirinya: tuan dan orang baik. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukan aku dengan baik.” Tidak setiap tuan itu orang baik, juga tidak semua orang baik itu adalah tuan. Dalam kesaksian seorang nabi, Potifar adalah tuan yang baik.

Cara Yusuf memuji, menyukuri dan, tentu saja, mencintai Potifar hingga menyebut-nyebut ketuanan dan kebaikannya karena dia menjadi tempat penampakan (madzhar) ketuanan, kebaikan dan kemuliaan Allah. Dalam cinta Yusuf, orang beriman adalah manusia yang paling hebat cintanya pada Allah (QS. al-Baqarah [2]: 165) dan, tentu saja, pada segenap tindakan-Nya, yaitu setiap makhluk dan seluruh penampakan-Nya.

Cinta orang beriman ini akan langsung berdampak positif sebagai rahmat dan kasih sayang pada makhluk. Dengan kata lain, orang beriman pasti manusia mulia, namun manusia mulia belum tentu orang beriman; mulia di mata manusia belum tentu mulia di mata Allah. Merasa beriman tetapi berperilaku tidak mulia hanyalah menunjukkan kualitas imannya sekedar rasa-rasa dan klaim di mulut.

Maka, bila manusia mulia saja tidak akan membalas susu dengan air tuba, apalagi orang beriman dan manusia tuhani (ilahi) tidak akan mengkhianati orang yang mulia dan memuliakan dirinya. Sebagai orang beriman dan manusia tuhani, Yusuf akan menjadi profil utama dan figur unggul dalam menunaikan asas moral-quranik ini: Adakah balasan kebaikan selain kebaikan (pula)?!” (QS. al-Rahman [55]: 60).

Selain menyatakan komitmennya pada asas moral ini, Yusuf juga sekaligus mengingatkan Zulaikha agar menghormati kemuliaan sang suami, tidak mencoreng dan mengkhianatinya. Bagi Yusuf dan Zulaikha sendiri, Potifar memiliki dua status mulia: tuan dan orang baik.

 Cara Ketiga: bila cara pertama itu khusus bagi Yusuf dan cara kedua tadi bagi Yusuf dan Zulaikha, cara ketiga ini khusus bagi Zulaikha.

Baca Juga :  Marcel Gauchet: Beda dari Yahudi dan Kristen, Islam Agama Demokratis dan Bernegara Modern

Setelah mengingatkan derajat insani ketuanan Potifar dan kebaikannya, selanjutnya Yusuf memperingatkan Zulaikha agar tidak menzalimi diri sendiri, yaitu menjatuhkan status ketuanan dan kebaikan dirinya serta keluarga sendiri di bawah derajat binatang, cinta birahi dan memusnahkan martabatnya setingkat setan.

Alih-alih terjerat dan hanyut dalam daya-pikat cinta Zulaikha, Yusuf justru menjauhinya dengan menghadapkan hati serta menggantungkan cintanya kepada Tuhan. Dia enggan jadi korban selain korban cinta tuhani. Menolak cinta birahi bukanlah kehilangan, kerugian dan penderitaan bukan lantaran cinta itu bernilai rendah, tetapi karena tidak bernilai atau malah bernilai negatif bila tidak dalam rangka cinta tuhani.

Cinta birahi adalah cinta kebinatangan yang muncul sesaat, terbatas, sementara dan instan, akan halnya cinta Tuhan itulah cinta abadi. Cinta kebinatangan cinta palsu yang menyenangkan sesaat lantas membuat pecinta jadi menderita dan menyesal, sementara cinta tuhani cinta yang pasti bahagia meski tertunda, cinta yang lebih dahulu menderita untuk kemudian membahagiakan pecinta dan apa saja yang terhubung dengan dirinya.

Bahkan, tidak seperti baju Yusuf kecil yang dibawa pulang oleh saudara-saudaranya—setelah mereka membuangnya ke dalam sumur—dengan dilumuri darah palsu (kebohongan) karena motif (cinta) kebinatangan dan kesetanan mereka (QS. Yusuf [12]: 18), cinta tuhani Yusuf justru membuat baju Yusuf dewasa melayangkan semerbak aroma kepada Ya’qub, sang ayah yang sempurna sabar dan deritanya karena cintanya pada sang anak, hingga membuat matanya yang buta kembali melihat (QS. Yusuf [12]: 96).

Bertolak dari dua jenis cinta ini, orang seperti Zulaikha yang memilih dan menikmati sekedar cinta birahi adalah manusia bodoh; dia sudah menyia-nyiakan keuntungan bagi diri sendiri karena membiarkan bahkan menikmati dirinya sederajat dengan binatang, Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” 

Segera akan tampak bagaimana kebodohan dan kezaliman pecinta birahi ini merupakan persiapan yang menenggelamkan dirinya ke dalam cinta setani, yaitu cinta yang tidak hanya tidak menguntungkan, tetapi bahkan merugikan diri sendiri serta menistakan selain dirinya, termasuk orang yang paling dicintainya.

Bersambung ke: “Balada Cinta Istri Kepala Keamanan Raja dan Ajudan Tampan dalam Alquran (3): Skenario Gagal dan Pembunuhan dalam Cinta Setani”

Share Page

Close