• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM – Siapa yang tak kenal Goethe? Ini bukan sembarang nama. Dialah manusia luar biasa yang pernah dimiliki Jerman. Nama Goethe kini dilekatkan pada nama papan pusat-pusat penelitian, pendidikan dan kebudayaan Jerman yang tersebar pada  hampir semua negara di dunia. Goethe bukan hanya seorang pujangga besar, dia juga dikenal sebagai seorang universalis yang dapat dianggap sebagai seorang jenius universal pamungkas di dunia Barat yang setara dengan Leonardo da Vinci. Goethe seorang pelukis, budayawan, filosof, penemu, politikus dan negarawan.

Uniknya, sejauh laporan sejarah, tidak dijumpai orang besar dari bangsa dan era apa pun yang meremehkan apalagi menghinakan Al-Quran. Sebaliknya, orang-orang besar, yang besar pemikiran dan ketulusan, akan mudah memahami kebesaran Al-Quran. Justru kebesaran Al-Quran membuat keberasan mereka bernilai hakiki dan bukti.

Banyak pernyataan Goethe tentang Al-Quran yang diungkap sarjana-sarjana non-Muslim. Dikutip dari T.P. Huges dalam Dictionary of Islam, p. 526, Goethe mengatakan, “Sangat menarik, menakjubkan dan, pada akhirnya, memaksa hormat kami … gayanya sesuai dengan isinya, tujuannya itulah puncak, keagungan yang pernah ada dan selalu ada, benar-benar luhur. Jadi, buku ini akan terus menunjukkan pengaruh paling kuat sepanjang masa.”

Dikutip dari G. Maragliouth di Pengantar untuk J. M. Rodwells, The Quran, New York (1977), p VI, Goethe mengatakan, “Al-Quran diakui menempati posisi penting di antara buku-buku agama besar dunia. Meskipun ia bungsu dari zaman membuat karya kelas sastra ini, ia telah menghasilkan pengaruh luar biasa dengan penuh mengagumkan yang dibawakan lelaki di era besar. Hal ini tidak menciptakan selain semua fase baru pemikiran manusia dan karakter segar. Ini, pertama-tama, mengubah sejumlah suku gurun heterogen Semenanjung Arab menjadi bangsa pahlawan, dan kemudian berlanjut membuat besar institusi politik-keagamaan umat Islam di seluruh dunia yang merupakan salah satu kekuatan besar yang patut diperhitungkan Eropa dan Timur hari ini.”

Baca Juga :  Tafsir Sekularisme (1): Ayat-ayat Sekuler (4): Pemisahan Praktis Kenabian dari Kekuasaan

Sementara Dr. Maurice Bucaille, yang kelak masuk Islam setelah meneliti jasad Fir’aun, menuliskan kata-kata Goethe dalam The Bible, Quran dan Sains (1978), p. 125, “Tidak mungkin Muhammad (SAW) menulis Al-Quran. Bagaimana bisa seorang laki-laki yang buta huruf menjadi penulis paling penting tentang keunggulan di atas seluruh sastra Arab? Bagaimana bisa ia kemudian mengucapkan kebenaran yang bersifat ilmiah bahwa tidak ada manusia yang bisa berkembang sempurna pada masa itu, tanpa pernah membuat kesalahan sekecil apa pun dalam menyatakan suatu masalah”

Berikut kutipan  dari Dr. Steingass, dalam Dictionary of Islam, p. 528. “Oleh karena itu, keunggulan Al-Quran sebagai karya sastra tidak seharusnya diukur oleh beberapa standar cita rasa estetik dan subjektif yang terbentuk sebelumnya, tetapi dengan efek yang dihasilkan sezaman Muhammad dan orang-orang sebangsanya. Jika ia berbicara begitu kuat dan meyakinkan hati para pendengarnya untuk, sampai sekarang, mengelas elemen-elemen sentrifugal dan antagonis menjadi satu tubuh kompak dan terorganisasi dengan baik, memperagakan ide-ide yang melampaui orang-orang yang sampai sekarang memerintah pikiran Arab, maka kefasihannya telah sempurna sekaligus sederhana dan karena menciptakan bangsa yang beradab dari suku-suku liar, dan menebarkan minuman segar sepanjang lengkung panjang sejarah.”

Tak ketinggalan Arthur J. Arberry, dalam The Koran Interpreted, London: Oxford University Press. 1964, p. x., juga mengutip kata-kata Goethe, Dalam membuat karya ini dan untuk memperbaiki kinerja para pendahulu saya, juga untuk menghasilkan sesuatu yang mungkin diterima bergema namun lembutnya retorika luhur bahasa Arab Al-Quran, saya telah berjerih payah mempelajari ritme rumit dan kaya beragam yang, selain pesan itu sendiri, merupakan klaim tak terbantahkan bahwa Quran memuncaki rangking karya sastra terbesar umat manusia. Fitur yang sangat unik ini, yakni simfoni yang tertirukan, sebagaimana diprcaya Pickthall sebagai Kitab Suci, sangat nyaring menggerakkan manusia menangis dan ekstasi namun  telah hampir sepenuhnya diabaikan oleh penerjemah sebelumnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila memang apa yang telah dikarya mereka terasa datar dan membosankan dibandingkan dengan aslinya.”

Baca Juga :  Kalau shalat mencegah maksiat, kenapa banyak orang shalat tapi bermaksiat?

Lagi-lagi dari  Maurice Bucaille dalam The Bible, The Qur’an dan Sains (1981) p. 18, mengutip dari Goethe, “Pemeriksaan sepenuhnya obyektif itu [Quran] dalam terang pengetahuan modern menuntun kita untuk mengenali keharmonisan antara dua ini, seperti yang telah sudah dicatat pada banyak kesempatan. Itu membuat kita menganggap cukup masuk akal mengena seorang pria itu, Muhammad, pada masa itu telah menuliskan statemen-statemen tersebut, karena keadaan pengetahuan di zamannya. Pertimbangan tersebut adalah bagian dari apa menempatkan wahyu Al-Quran di posisi yang unik, dan memaksa ilmuwan imparsial mengakui ketidakmampuannya menyediakan penjelasan tentang apa saja yang hanya menyerukan penalaran materialistis.”

Apakah Goethe Muslim?

Alangkah pandir menganggap diri istimewa
Mengira keyakinan sendiri benar belaka
Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri
Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati

Bait puisi ini hanyalah penggalan puisi Goethe. Puisi berjudul Hikmet Nameh, Buch Der Sprucche itu kerap dijadikan argumentasi untuk menyebut Goethe adalah seorang muslim. Seperti disampaikan Berthold Damshauser, serang indonesianis dan dosen Universitas Bonn, Jerman, Goether sendiri tidak pernah menolak bila disebut sebagai seorang muslim. Tampaknya Goethe amat kagum pada Islam. Sejak kecil, tambahnya, Goethe telah membaca Al-Quran. Di usia 18 tahun, Goethe telah berhasil menulis naskah drama dengan judul Muhammad. Dalam puisi berjudul Ich sah, mit Staunen und Vergnugen (Aku memandang, takjub dan girang), Goethe bahkan menyebut Al-Quran sebagai khazanah suci sang ilmu.

Di Jerman, Goethe memang dipandang sebagai seorang pahlawan kebudayaan. Ribuan buku dan desertasi tentang dia telah ditulis, mulai dari kajian dan analisis atas karyanya, sampai kepada biografi yang membicarakan secara detil atas kehidupannya. Bahkan, menurut Damshauser, banyak pula orang yang menulis Kamus Goethe.

Baca Juga :  Mental Membudakkan Diri Sendiri dalam Narasi Teologis Rahmatan lil Alamin

Goethe dilahirkan di Frankfurt pada 28 Agustus 1749, meninggal dunia pada 22 Maret 1832. Anak sulung dari delapan bersaudara itu telah menulis puisi yang terkenal di usia delapan tahun. Buku puisinya yang pertama terbit pada 1767 dengan judul Anette, dia ambil dari nama seorang gadis yang jadi kekasihnya di Leipzig. Goethe telah menuliskan ribuan puisi. Sejak masa remaja, produktifitasnya sebagai seorang penyair tak pernah berhenti. Pada Goether kita hanya menemukan puisi bermetrum dan berirama teratur, namun juga puisi-puisi bermetrum bebas. Nyatalah, Goethe adalah alam atau ilmu alam, filsafat serta manusia merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari puisi.[dirangkum dari berbagai sumber]

Share Page

Close