• LAINYA

[arabic-font]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْن‏[/arabic-font]

“Telah muncul kerusakan di darat dan di laut karena apa yang telah diperbuat oleh tangan-tangan manusia, sehingga Dia mencicipkan kepada mereka sebagian dari yang mereka kerjakan agar mereka kembali [sadar].”

(QS. Al-Rum [30]: 41)

Abstrak

  • Perbandingan antara kekuasaan manusia di dunia dan daya perusakannya
  • Kesebandingan antara kewenangan luas dan penyalahgunaan berdampak masif
  • Analogi masyarakat manusia dan alam dan hukum absolut bencana
  • Kompleksitas persoalan manusia dan perlunya pertimbangan komprehensif
  • Diri manusia sebagai subjek dan objek penanganan masalah
  • Upaya orang menutupi kekurangan diri dengan mengkambinghitamkan pihak lain
  • Orang ateis dalam prinsip keadilan dan hukum kausalitas
  • Allah lebih halim ‘menyabari’ hambanya dengan kasih sayang daripada keadilan
  • Orang korup yang tampil suci dan pejuang perbaikan.

Tadabur

  • Melanjutkan Bagian Pertama, ayat ini tepat kiranya segera dibandingkan dengan ayat-ayat yang menyatakan kekuasaan manusia di atas bumi, “Dialah yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi semuanya” (QS. Al-Baqarah [2]: 29); di laut dan perairan, “ … dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan bagimu sungai-sungai” (QS. Ibrahim [14]: 32), di ruang angkasa, “Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan bagimu malam dan siang” (QS. Ibrahim [14]: 33); alhasil ia jadi penguasa dunia, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya dari-Nya” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13). Ini sesuai dengan derajat yang Allah berikan pada manusia, yaitu menjadi khalifah di muka bumi.
  • Sebegitu luas kekuasaan yang Allah berikan kepada manusia sehingga penyalahgunaan kekuasaan ini bisa berdampak bukan hanya pada manusia, inividu, masyarakat dan lingkungannya, tetapi juga merusak keberkahan tanah dan laut. Sesuatu yang baik, jika berubah jadi buruk, keburukannya lebih banyak dari keburukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Ini senada dengan peribahasa “kesalahan elite lebih besar dari kesalahan orang biasa.” Kewenangan dan kekuasaan luas yang dipercayaan Allah kepada manusia adalah untuk kebaikan dan kemakmuran, maka penyalahgunaannya juga akan berdampak luas.
  • Masyarakat kerap dianalogikan dengan bahtera atau kapal layar yang menampung individu-individu; satu orang saja melobangi satu titik di sudut kapal akan berdampak pada semua penumpang kapal. Analogi ini setepatnya juga diterapkan pada sistem alam secara umum. Jika satu orang atau satu kelompok saja melakukan kecorobohan dan perusakan atau, dalam istilah agama, dosa dan maksiat, itu akan menyebabkan kerusakan yang kerugiannya menjangkau semua orang dan kelompok. “Bencana itu tidak pandang bulu; menelan orang baik juga orang bejat.”
  • Penanganan dan perbaikan bukan hanya dilakukan demi ketertiban masyarakat dan negara, tetapi juga ditujukan untuk pelindungan ekosistem. Dengan semakin kompleksnya persoalan, misalnya, di tingkat nasional saja, perlu kiranya dalam setiap agenda pembangunan dipertimbangkan, selain kepentingan budaya, sosial politik, juga kepentingan lingkungan alam, iklim, dan habitat satwa.
  • Ayat ini dengan tegas dan selugas mungkin mengidentifikasi manusia bukan semata-mata objek yang menanggung resiko perusakan dan tindakan korupnya sendiri di alam, tetapi juga sebagai pelaku dan agen kerusakan sistem alam ini. Maka, sebelum menangani faktor lain, diri manusia sendiri yang sepatutnya diprioritaskan penanganannya. Penanganan dan perbaikan ini selain mudah dijangkau juga sangat murah, yaitu jiwa yang sadar, mawas diri sebelum disadarkan oleh Allah melalui siksa dan bencana sebagaiman disebutkan di ayat, “agar mereka kembali [sadar]”.
  • Uniknya, alih-alih mengadili diri sendiri dalam mengadapi kerusakan alam, sebagian orang mencari-cari alasan dan pihak lain untuk dijadikan sumber petaka, bahkan ada juga yang tak segan-segan menyalahkan takdir Allah dan mempertanyakan keadilan dan kasih sayang Tuhan. Dalam surah Al-Ma’arij, Allah mendeskripsikan sifat galibnya manusia, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat” (QS. Al-Ma ‘arij [70]: 19-21).
  • Bagi kalangan ateis, kerusakan tata alam kerap dijadikan sebagai argumen atas ketiadaan Allah. Mereka ini sesungguhnya ingin diperlakukan oleh Allah lebih dari sekedar adil. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Dengan keadilan maka tegaklah langit-langit dan bumi” (Al-Alusi, Rūh Al-Ma‘ānī, juz 27, hlm. 101). Dengan keadilan, alam dan seisinya, di langit dan di bumi, akan tetap utuh. Sistem merupakan implementasi keadilan; pelanggaran terhadap sistem akan berdampak buruk, sebagaimana taat pada sistem akan berdampak buruk. Maka, berharap dampak baik dari tindak pelanggaran, selain tidak realistis, juga merupakan pelanggaran keadilan itu sendiri dan pengingkaran terhadap hukum sebab-akibat. “Barang siapa mengerjakan kebaikan maka pahalanya untuk dirinya sendiri, dan barang siapa berbuat keburukan maka akibatnya ditanggung sendiri, dan Tuhanmu sama sekali bukan penganiaya hamba” (QS. Fushshilat [41]: 46). Jika keadilan sistem dan hukum sebab-akibat diingkari, maka tidak ada alasan untuk jadi berbeda; jelas tidak sama antara orang ateis dan orang teis, itu karena (akibat dari) pikiran mereka berbeda.
  • Meski demikian, sesungguhnya Allah Yang Maha Penyayang memperlakukan kita, manusia, justru dengan kemurahan daripada dengan keadilan sepenuhnya. Dalam ayat disebutkan, “sehingga Dia mencicipkan ‘sebagian’ dari yang mereka kerjakan.” Kalau sedari awal Allah menindak kita dengan keadilan-Nya, kita sudah tidak layaknya tetap ada dan dipertahankan masih hidup saking banyaknya maksiat, pembangkangan dan pelanggaran terhadap hukum dan kemurahan-Nya. Dalam ayat lain, Allah SWT memaafkan kebanyakan dosa manusia, “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu sungguh itu karena apa yang telah diperbuat oleh tangan-tangan kamu dan Dia memaafkan banyak [kesalahan]” (QS. Al-Syura [42]: 30).
  • Ada sebagian orang yang merasa atau berusaha meyakinkan rakyat dengan kekuatan retorika atau media bahwa program sosial, politik dan pembangunannya itu menguntungkan, padahal justru merugikan rakyat; membuat rakyat lemah kian menderita sementara melapangkan kerja dan eksploitasi pemodal korup dalam dan luar negeri; membuat bangsa hilang kemandirian, terus bergantung, hilang kewibawaan dan kedaulatan, “Dan tatkala dikatakan kepada mereka, ‘janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!’ Mereka membalas, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’” (QS. Al-Baqarah [2]: 11). Itulah mereka orang-orang yang sebenarnya korup dan perusak (QS. Al-Baqarah [2]: 12); mereka itu pula yang paling merugi (QS. Al-Kahfi [18]: 103-104). Bersambung ⇒

Share Page

Close