Satu dari sekian ayat yang mengungkapkan faktor psikologis umat Islam dengan keunggulan dan kemajuan mereka ialah ayat 139 dari surah Al Imran, “Dan janganlah kamu merasa lemah dan bersedih, padahal kamu orang-orang yang lebih unggul jika kamu beriman.”
Seorang mukmin adalah manusia yang beriman, percaya pada Allah swt. dan komit seteguh-teguhnya dalam mengamalkan kepercayaannya. Kualitas ini akan mengangkatnya ke tingkat yang tinggi hingga ia tidak akan dapat dikuasai oleh siapa pun.
Berdasarkan ayat ini, seorang mukmin tidak akan merasa lemah, inferior dan kecil hati. Sebagian orang menyandangkan nama ‘muslim’ pada dirinya, namun ia lemah dan merasa tak berdaya dalam memperjuangkan kebenaran di hadapan kebatilan. Muslim seperti ini, bukan hanya tidak pantas mencapai kedudukan lebih unggul dan lebih utama, tetapi juga musuh-musuhnya lebih bergairah dalam melemahkan, menjatuhkan, menghinakan hingga menguasainya.
Manusia yang sungguh-sungguh beriman tidak pernah merasa lemah dan tak berdaya di hadapan bencana dan tantangan. Sebaliknya, perasaan lemah dalam mempertahankan kebenaran merupakan indikasi lemahnya iman kita. Maka, manusia mukmin sejatinya adalah muslim yang berkomitmen kuat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya; ia tidak merasa lemah dan putus asa atas apa yang terjadi dalam pelaksanaan tersebut, karena ia percaya bahwa semua terjadi dengan kehendak Allah swt. dan, tentunya, Dia menginginkan yang terbaik di balik kejadian buruk bagi hamba-Nya yang beriman tulus.
Manusia beriman tidak akan kuatir kehilangan posisi dan status. Baginya, di atas segalanya adalah kedudukan di sisi Allah swt. Orang yang memiliki kedudukan hakiki tidak akan berkurang harkat dan martabatnya hanya karena rendah dan lemah di mata orang lain. Peringatan agar tidak merasa lemah, minder, dan inferior juga sesungguhnya merupakan penekanan atas kewibawaan dan kemuliaan jiwa, yakni kemuliaan pribadi dan kemuliaan bangsa. Tokoh-tokoh perjuangan Islam menanamkan jiwa ini agar masyarakat dan umat Islam percaya diri bahwa “Kami bisa”. Inilah nilai budaya Al-Quran bagi umat Islam.
Iman dan kepercayaan akan keunggulan harkat dan ketinggian martabat merupakan sarana keunggulan orang beriman dan masyarakat Islam. Keunggulan dan ketinggian mereka bukan semata-mata material, tetapi juga spiritual; keunggulan dunia dan akhirat. Maka, iman seseorang akan menempatkan dirinya di atas derajat kewibawaan dan kemuliaan. Ayat di atas menegaskan bahwa keunggulan seorang Muslim bukan karena darah dan keturunan, ras dan suku, ikatan kekeluargaan dan kebangsaan, tetapi prinsipnya ialah keunggulan berkat keterikatan jiwa pada Allah swt., pada agama-Nya yang mengajarkan hidayah, cinta, rahmat dan kesempurnaan hakiki bagi umat manusia.
Sejarah awal kelahiran Islam telah membuktikan keunggulan dan ketinggian Islam beserta umatnya. Sulit membayangkan bagaimana Nabi Muhammad saw. mengemban amanah kenabian dan hidayah untuk segenap umat manusia di tanah Jazirah Arab, di era Jahiliyah, di antara dua kekuatan besar dunia: Timur (Persia) dan Barat (Romawi), namun ia dalam waktu singkat berhasil mengangkat agama dan umatnya berada di atas masanya dengan iman dan amal shaleh. Sebaliknya, kemunduran, kehinaan, dan kejatuhan umat Islam terjadi karena melemahnya iman mereka pada Allah dan agama, karena menggantungkan hati pada taghut, penguasa zalim, penindas, orang-orang kafir.
Semua faktor, yakni Islam dan ajaran kehidupannya, telah berhasil menciptakan peradaban besar di Abad Keemasan kaum Muslimin. Faktor-faktor itu masih tersedia dan berada di genggaman mereka sekarang ini. Dalam ayat, “Hai orang-orang yang beriman, sambutlah Allah dan Rasul pabila menyeru kalian kepada apa yang menghidupkan kalian” (QS. Al-Anfal [6]: 24), Islam meyakinkan bahwa agama Allah ini sanggup mengangkat umatnya ke puncak peradaban, keunggulan ilmu dan kewibawaan politik. Hanya iman, bekerja keras dan bersatu tanpa pecah belah merupakan tiga syarat mencapai tujuan tinggi tersebut:
“Dan orang-orang yang berjihad demi Kami pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang berbuat kebaikan” (QS. Al-Ankabut: 12).
“Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, dan janganlah kalian bertikai sehingga kalian gagal dan hilang kekuatan kalian, dan bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar” (QS. Al-Anfal [6]: 46).
Lemahnya tiga dasar pembangunan dan pencapaian tujuan akan berakibat kegagalan dan kemunduran umat Islam: “Dan janganlah kamu merasa lemah dan bersedih, padahal kamu orang-orang yang lebih unggul jika kamu beriman.” Maka, jiwa dan pikiran setiap manusia muslim jangan sedikit pun terasuki rasa lemah dan dilemahkan oleh diri sendiri ataupun oleh orang lain.
Ayat ini mengajak setiap Muslim untuk instrospeksi diri dan jujur terhadap kondisi diri sendiri: apakah kita benar-benar unggul di dunia ini dalam budaya, sosial, politik, ekonomi, teknologi, media massa, ilmu-ilmu kemanusiaan, sains-sains empirik, dan bidang-bidang peradaban lainnya? Jika tidak unggul, dan memang demikian adanya, sudah sepatutnya kita mengoreksi iman kita, pemahaman kita, serta komitmen kita.
Salah satu problem utama bahkan di kalangan elit dan tokoh dunia Islam adalah kebodohan ganda: mereka yakin tahu, padahal sesungguhnya mereka tidak tahu; mereka berpikir dunia Islam dan kaum Muslimin sudah cukup unggul, padahal realitasnya tidaklah demikian. Menengok sejenak tulisan, statemen, pidato, dan analisis di media-media cukup untuk menampilkan gejala kebodohan ganda itu; betapa sejumlah tokoh dari kalangan ulama, cendekiawan dan aktivis tidak memiliki kekuatiran dan kegelisahan lagi akan realitas kemandekan dan kemunduran dalam sejarah kontemporer umat Islam.
Dalam hal ini, Imam Ali ibn Abi Thalib ra. berkata, “Wahai sekalian manusia! Andai saja kalian gigih dalam memperjuangkan kebenaran dan tidak merasa lemah dalam melemahkan kebatilan, pastilah orang-orang yang tidak seperti kalian tidak akan bermuslihat terhadap kalian juga tidak akan kuat orang yang berkuasa atas kalian.” (Nahj Al-Balâghah, pidato no. 166).