• LAINYA

[arabic-font]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْن‏[/arabic-font]

Telah muncul kerusakan di darat dan di laut karena apa yang telah diperbuat oleh tangan-tangan manusia sehingga Dia mencicipkan kepada mereka sebagian dari yang mereka kerjakan agar mereka kembali [sadar].”

(QS. Al-Rum [30]: 41)

Tadabur

  • Melanjutkan Bagian Kedua, makhluk pertama yang merahasiakan maksud buruk dan merusak di balik penampilan baik dan program perubahannya ialah Iblis. Salah satu cara Iblis memperdaya Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa ialah berbohong (QS. Al-A’raf [7]: 20) dan untuk meyakinkan mereka, dia berjanji dan bersumpah (QS. Al-A’raf [7]: 21).  Kini, dua cara perusakan ini juga sedikit banyak dipraktekkan secara diam-diam atau terang-terangan dalam rangka meraih suara, merebut pasar, menciptakan image, popularitas dan pencitraan, ataupun mengerahkan massa dan membangun opini.
  • Berbohong, berjanji palsu dan bersumpah kosong sangat berbahaya karena secara langsung merusak pikiran dan pola pandang manusia sebagai pelaku kerusakan di dunia. Di dunia modern serbacanggih, cara-cara kejam itu menemukan alat dan saluran yang sangat efisien, yaitu media dan teknologi komunikasi yang telah menjadi salah satu pilar masyarakat demokratis.
  • Dalam memperdaya dan merusak pikiran Nabi Adam a.s., Iblis mewaswasi yakni membisikkan kebohongan kepadanya. Waswas dan bisikan merupakan bentuk ketakjelasan dan kesamaran yang menyimpan daya menggoda. Maka, mengecoh dan mengeruhkan pikiran yang jernih serta memperdaya hati yang tulus ialah dengan cara-cara, pertama, menambahi yakni mencampur berita dan penayangan peristiwa dengan kebohongan dan, kedua, mengurangi yakni membuat berita dan penayangan secara dipenggal-penggal, meninggalkan sebagian fakta. Cara-cara ini diperagakan oleh sebagian Ahlul Kitab, “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran itu, sedangkan kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 42).
  • sehingga Dia mencicipkan kepada mereka sebagian apa yang mereka kerjakan” yakni berupa azab dan bencana alam di dunia. Azab ini berfungsi sebagai peringatan agar mereka sadar dan kembali ke jalan yang benar, “agar mereka kembali [sadar]”.. Ini seolah-olah alam juga beramar makruf dan nahi munkar terhadap manusia.
  • Bencana-bencana alam juga dapat dianalogikan dengan pembinaan keras terhadap anak remaja pecandu narkoba. Kekerasan itu diperlukan dalam rangka mengembalikan kehidupan dan masa emas remajanya yang telah hilang. Tentu, anak itu juga akan menderita selama masa penanggulangan.
  • Dalam Islam juga terdapat hukum yang tampaknya terkesan keras dan merusak kehidupan. Seperti analogi di atas, banyak pendekatan lain yang mudah dipahami, misalnya dalam penanganan medis untuk penyakit tertentu yang, suka atau tidak, perlu operasi dan amputasi anggota tubuh. Tidak ada satu orang pun, dari pasien atau keluarga atau di luar mereka, yang memandang keputusan medis itu sebagai kekerasan dan dokternya sebagai pelaku kejahatan. Itu karena semua menyadari tujuan dan manfaat dari keputusan dan tindakan medis tersebut. Maka, aspek kekerasan dan ketaknyamanan dalam hukum dan penghukuman bukan hanya ada dalam sistem hukum Islam, tetapi juga dalam sistem pencegahan, penindakan, dan penanggulangan lainnya. Jika masyarakat manusia dianalogikan dengan penumpang sebuah kapal, menindak satu orang yang ceroboh merusak elemen kecil kapal sangat rasional. Penanggulangan rehabilitasi atau bahkan eliminasi dari kapal merupakan pengamanan, penyelamatan dan kehidupan seluruh masyarakat penumpang kapal. Dalam ayat Qishash disebutkan falsafah Qishash, yaitu dalam hukum itu terdapat kehidupan, sebagaimana dalam ayat ini dijelaskan falsafah bencana alam, yaitu agar manusia sadar dan kembali ke jalan yang benar.
  • agar mereka kembali [sadar]”. Adalah tidak bijak hanya menilai sesuatu hanya dengan melihat kekerasan hukum dan derita orang terhukum tanpa mau tahu tujuan hukum. Sama tidak bijaknya sekedar menerapkan hukum dan menindak kekerasan tanpa memberi penjelasan akan tujuan di balik itu.
  • Keyakinan bahwa Allah SWT maha bijaksana melipatkan keyakinan bahwa dalam setiap hukum agama terdapat kebijaksanaan Allah dan kemaslahatan untuk hamba-Nya. Keyakinan ini akan menahan diri seseorang agar tidak ceroboh menilai hukum Allah hanya karena belum memperoleh penjelasan tujuan atau hikmah di balik itu. Sekalipun tidak ada penjelasan tentang hal itu, keyakinan itu tetap kokoh untuk menjadi landasan percaya pada validitas hukum Allah dalam agama-Nya.
  • Jika benar kita percaya dan serius menganggap kerusakan alam, di darat dan di laut, itu akibat ulah manusia, kita juga bisa pastikan biaya penanggulangan bencana, pelindungan alam dan ketahanan sumber-sumbernya juga bisa ditekan dengan meningkatkan budaya dan moral bangsa. Tidak ada salahnya bila kita menimbang mana lebih besar prosentasinya: anggaran antisipasi dan penanggulangan bencana ataukah anggaran budaya dan pendidikan.
  • Dalam ayat diungkapkan “agar mereka kembali [sadar]”, tetapi tidak disebutkan kembali dari apa dan kepada apa. Sebagian mufasir dan penerjemah membubuhkan penjelasan, misalnya, dari dosa, dari perbuatan buruknya, dari syirik, dari maksiat, dari jalan sesat, lalu ke jalan yang benar, menuju Allah, menuju tauhid dan ketaatan, dll. Semua ini tentu benar. Tetapi juga boleh jadi tidak disebutkan objek kalimat itu dalam rangka membuka pemahaman menjangkau hakikat dan fakta yang lebih luas. Artinya, setiap orang, pada kondisinya sekarang, perlu meninjau diri sendiri “harus kembali dari apa dan menuju apa”. Orang yang dalam kondisi menulis kebohongan atau menyebarkannya harus menahan diri dan kembali ke kondisi sebelumnya: tidak menulis dan menyebarkan kebohongan. Atau, orang yang kurang khusyuk shalat tahajud harus menyadari faktor kekurangan itu dan kembali darinya ke kondisi khusyuk. Tentu, jalan Allah, jalan yang benar hanya satu jalan. Namun, kembali ke jalan ini tidak berarti memulai dari titik yang sama.
  • Kerap pertanyaan ini segera muncul dalam pikiran kita: di negara-negara berpenduduk Muslim, tingkat kerusakan lingkungan dan grafik bencana alam bisa jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara non-Muslim. Berdasarkan ayat ini, apakah dapat disimpulkan bahwa bangsa Muslim itu lebih korup dan lebih rusak?
  • Jawabannya, bisa iya bisa tidak. Iya dari satu sisi, yaitu masyarakat beragama meningkatkan kapasitas dan peluang individu dalam berbuat baik juga dalam berbuat buruk. Orang kafir jelas bukan muslim, tetapi orang munafik yang lebih buruk/lebih korup dari orang kafir adalah orang muslim yang menjadi bagian dari masyarakat muslim. Karena itu, dalam hadis kedua (Bagian Pertama), misalnya, ada bencana yang ditimpakan ke atas masyarakat beragama lantaran suatu dosa yang tidak dikenal di masyarakat kafir. Sekali lagi, resiko buruk dari keburukan orang-orang beragama setimpal, kalau tidak dikatakan lebih kecil dari, berkah melimpah dan potensi besar dari kebaikan orang-orang beragama (lihat QS. Al-Jin [72]: 16-17).
  • Dari sisi lain, tidak selalunya demikian. Yaitu, dalam rangka pembandingan, dasar penilaian buruk dan korupnya suatu masyarakat berbeda dengan dasar penilaian lebih korupnya suatu masyarakat dari masyarakat lain. Penilaian korupnya suatu masyarakat didasari oleh fokus terhadap faktor korupsi dan kerusakan, sementara penilaian suatu masyarakat itu lebih korup dibanding yang lain didasari, pertama-tama, oleh pengamatan atas gejala-gejala baik dan buruk setiap masyarakat lalu membandingkan dan menimbang kuantitas dan kualitasnya.
  • Kendati Al-Quran menyinggung kerusakan di bumi akibat ulah korup dan kezaliman dalam hubungan antar-manusia (QS. Al-Ma’idah [5]: 32-33, 64) juga kerusakan akibat dari gejala non-manusiawi (QS. Hud [11]: 116; QS. Al-Qashash [28]: 78, 83; QS. Ghafir [40]: 26; QS. Al-Fajr [89]: 12), namun ayat ini tampaknya secara langsung menyoroti kerusakan alami di laut dan di darat lalu ulah manusia sebagai faktor penyebabnya.
  • Manusia yang disinggung dalam ayat ini sebagai penyebab kerusakan alam di sini bukan dalam kapasitasnya sebagai binatang yang hidup bertindak berdasarkan instingnya, tetapi manusia sebagai makhluk yang hidup, selain dengan insting, juga dengan faktor internal lain: akal, hati nurani, naluri kebebasan, kehendak, daya pilih dan kekuatan pelaksanaan. Kerusakan pada salah satu faktor ini akan berdampak pada kerusakan alam.
  • Faktor-faktor internal manusia sebagai manusia itu juga perlu kiranya diamati penting dalam studi-studi antropologis dan sosiologis sepanjang meneliti dan menangani bencana-bencana alam.
  • Terakhir, baik kiranya menyimak falsafah bencana dan reaksi yang sepatutnya ditunjukkan manusia, yaitu dalam salah satu surat Imam Ali bin Abi Thalib ra., “Sesungguhnya dunia tidak untuk tetap ada kecuali menurut apa yang telah Allah jadikan berupa kebaikan, ujian dan balasan di akhirat, atau sesuai apa yang Dia inginkan namun tidak kamu ketahui. Maka, jika sesuatu dari kejadian itu menjadi rumit bagimu, [maka janganlah kamu berpikir itu tidak ada hikmah dan maslahat, tetapi] anggaplah kerumitan itu berasal dari ketidaktahuanmu, karena pertama kali kamu diciptakan adalah tidak tahu kemudian diberitahu, dan betapa banyak yang tidak kamu ketahui, pikiranmu menjadi bingung dan pandanganmu kehilangan arah, kemudian kamu baru menyadarinya setelah itu” (Nahj Al-Balāghah, surat no. 31).
  • Allah menciptakan alam ini sesempurna mungkin. Dalam keburukannya terdapat kebaikan. Karena kurang sabar atau terlalu percaya diri paling tahu, kita lantas segera menyimpulkan gejala buruk semata-mata buruk sehingga kita gagal melihat sisi-sisi kebaikannya. Kegagalan, kekurangan dan keterlaluan kita itu karena kebodohan dan keterbatasan pengetahuan kita akan rahasia dan hikmah kemaslahatan di balik suatu bencana. Rasulullah SAW, jika mendapat kebaikan, berkata, “Al-hamdu lillāh ‘alā hādzihi al-ni‘mah: segala puji bagi Allah atas nikmat ini”, dan jika mendapatkan sesuatu yang menyusahkan hatinya, beliau berkata, “Al-hamdu lillāh ‘alā kulli hāl: segala puji bagi Allah atas setiap keadaan” (lihat: QS. Al-Fatihah [1]: 2).[ph]
Baca Juga :  Mengenal Tafsir Sufistik-Filosofis Surat Al-Fatihah, Karya Mulla Sadra (1): Pendahuluan

Share Page

Close