• LAINYA

FILSAFAT-HUMANIORA–Dalam catatan sejarah keilmuan Indonesia, filsafat sebagai diskursus sejarah dan teori memang sudah tidak asing. Namun, tanpa menegasikan muatan kefilsafatan lokal, kehadirannya dalam khazanah pemikiran di tanah air terbilang cukup muda, entah itu berasal dari tradisi Barat ataukah dari tradisi Timur.

Di lingkungan seakademis perguruan tinggi saja, filsafat tidak sempat bangkit hingga menyundul strata tiga selain dalam hitungan jari. Dalam hitungan yang sama, keberadaan lembaga pendidikan tinggi yang mendedikasikan eksistensinya pada filsafat masih patut dihargai.

Dalam tinjauan yang paling optimistis, sudah bermunculan gelombang intelektualitas ke arah filsafat yang bersifat domestik, yakni keindonesiaan dan atau kenusantaraan, sepanjang dua dekade belakangan ini. Desakan dari berbagai kalangan ke arah itu terasa makin kuat. Berbagai upaya ilmiah melalui karya tulis, forum, dan pembentukan komunitas digagas sebagai cermin kepedulian dan kebutuhan tersebut.

Filsafat kini diacu bukan lagi semata-mata bahan kuliah, tetapi diharapkan menjadi pendekatan dan alat memecahkan masalah dalam skala nasional. Semakin kompleks dan gawat suatu masalah, semakin kuat tantangan kontribusi yang harus ditunaikan filsafat sejauh wilayah dan kapasitasnya. Ini secara langsung juga mengarah pada filsafat Islam.

Banyak kalangan yang menunggu respon konkret filsafat Islam terhadap persoalan bangsa. Tidak juga sedikit yang justru mempertanyakan nilai fungsional ilmu abstrak ini mengingat tingkat kontribusi dan kekuatan transformatifnya yang masih rendah.

FILSAFAT ISLAM
Dalam sejarah filsafat, secara umum, ada banyak ragam dan sistem. Sebagai satu dari sekian ilmu tradisional dalam peradaban Islam, Filsafat menjalani dinamika panjang yang diawali dengan cacatan emas akan semangat mengaji dan mendalaminya. Selain didukung oleh otoritas kekuasaan (Mishbah Yazdi: 1984, jil. 1, hal. 14), minat berfilsafat tumbuh dan berkembang berkat motivasi yang disuplai dari ajaran agama yang menekankan arti penting berpikir dan mengunakan akal.

Lebih dari itu, teks paling suci dalam Islam, yakni Alquran, bahkan dalam sejumlah ayatnya secara eksplisit memperagakan peran filosof, baik dalam tema-tema onto-teologis ataupun epistemologis (Jawadi Amuli: 1995, hal. 28).

Metafisika, Bidayah, Alfit Sair

Sepanjang dinamika itu, tepatnya di era keemasan Islam yang diidentifikasi sejumlah ahli merantang sejak abad 8 sampai 15 Masehi (Hossein Nasr: 1998, hal. 149), filsafat di tangan kaum Muslimin bukan hanya menjadi salah satu motor peradaban Islam, tetapi juga jembatan yang menyeberangkan tradisi filsafat Barat ke dunia modernnya.

Pemaknaan tradisional atas filsafat itu sendiri cukup menggambarkan betapa jaringnya begitu luas, hingga tidak ada satu pun ilmu yang, pada masa itu, lepas dari jangkauannya. Sejurus dengan ini, filosof Muslim dikenal sebagai orang bijak (al-hakīm), sosok polimath atau manusia universal yang menguasai berbagai bidang ilmu dari yang teoretikal, praktikal hingga teknikal.

Kualitas filosof Muslim seperti: Ibn Sina, Suhrawardi, dan Khwajeh Al Thusi, telah meyakinkan masyarakat, entah rakyat biasa ataukah elite penguasa, untuk mempercayakan sebagian urusan hidup pribadi dan kenegaraan kepadanya. Kontribusi mereka untuk kemanusiaan dan peradaban bahkan harus dibayar dengan nyawa. Tidak hanya dalam tradisi tasawuf, gelar martyr atau syahīd juga lazim dijumpai dalam tradisi filsafat Islam, tepatnya pada nama Suhrawardi dan, jauh sebelumnya, Tuan Sokrates.

Nasib naas Suhrawadi tidak sepatutnya dipandang sebagai peristiwa ‘kecelakaan’. Pengalaman hidupnya merupakan satu elemen yang menggambarkan jatuh-bangunnya kehidupan sosial para filosof. Sulit menafikan faktor eksternal yang memicu realitas jatuh-bangun ini. Namun, faktor dan aktor internal, utamanya dari kalangan pemuka dan imam agama, justru begitu kuat menghantam filsafat.

“Inkonsistensi Para Filosof” (Tahāfut al-Falāsifah) karya Abu Hamid Al Ghazali barangkali paling dominan menciptakan kecurigaan dan sikap sinis terhadap filsafat di banyak kalangan, kendati Ibn Rusyd telah berupaya keras memulihkan kredibilitas filsafat.

Baca Juga :  Konsep Umat: Menggali Nilai-nilai Apriori dan Aposteriori Sosial Alquran (1): Esensi Umat

Tinjauan sekilas tentang sejarah filsafat dan pengalaman filosof Muslim itu merupakan salah satu referensi untuk menimbang fungsi filsafat Islam di Indonesia dengan sekian persoalan yang dihadapi bangsa. Kendati pada awalnya filsafat dalam tradisi Islam dimaknai sedemikian luas, kini filsafat Islam lebih identik dengan Metafisika.

Seiring interaksinya dengan filsafat Barat, filsafat Islam juga mengalami spesialisasi, pembidangan hingga penerapannya pada berbagai disiplin ilmu, termasuk pada dirinya sendiri hingga tersusun filsafat filsafat di samping filsafat logika, filsafat epistemologi

Atas dasar ini, fakta minimnya kontribusi filsafat pada kurun waktu tertentu perlu diamati sebagai sebuah gejala yang muncul karena beragam faktor. Seperti penyelidikan kasus, sebelum mencari pelaku jauh-jauh ke luar, pemeriksaan memulai dari dalam, dari lingkungan terdekat, yakni dari filsafat itu sendiri.

Dalam upaya pemeriksaan dan identifikasi ini, filsafat didudukkan, pertama-tama, sebagai masalah sebelum sebagai pemecah. Sulit menanti penyelesaian masalah dari sesuatu yang ia sendiri sudah bermasalah, bagian dari masalah, apalagi sumber masalah. Tampaknya, selain sebagai masalah, filsafat justru kerap “dipermasalahkan” dan dikrimanalisasi. Ini juga agaknya berlaku pada filsafat dan harapan kita dari filsafat.

Apakah filsafat? Kenyataannya, ia dimaknai sebagai ilmu tentang Ada (metafisika), atau tentang pengetahuan, atau tentang makna hidup, atau tentang apa saja yang abstrak dan transenden, atau upaya penyelidikan secara radikal dan fundamental. Belakangan, filsafat dianggap sekadar alat klarifikasi atas kebermaknaan pernyataan. Pemaknaan tertentu atas filsafat akan turut menentukan seberapa logis dan realistis kita menanti kontribusi dari filsafat.

Faktor lain yang tampaknya mendesak filsafat untuk dipandang sebagai bagian dari masalah atau, tepatnya, objek kriminalisasi ialah sikap sinis dan kecurigaan yang muncul, utamanya, lantaran tuduhan inkonsistensinya dengan ajaran agama. Dari dua arah yang berlawanan sekaligus, akal dan filsafat mengalami cemoohan, kecaman hingga pengkafiran, baik dari kalangan literalis seperti: ahli hadis, ahli hukum fikih, maupun hujatan dan sindiran keras dari kalangan esoteris, utamanya [sebagian] kaum sufi.

Maka, setidaknya dalam dua lini ini, yakni lini esoterik dan lini eksoterik, filsafat dan akal filosof menyadari posisinya untuk segera meyakinkan fungsi dan perannya, alih-alih menghambat perkembangan ilmu atau menyimpangkan arah keimanan serta mengaburkan pesan teks, justru memperkaya khazanah, menjernihkan masalah secara lebih nyata dan turut memperkokoh ajaran-ajaran keimanan agama, ideologi berbangsa dan bernegara.

Uniknya, para filosof Muslim dilaporkan sebagai orang-orang mukmin yang taat pada hukum agama. Pada kasus tertentu, mereka bahkan siap mengorbankan kesimpulan filosofisnya untuk tetap komit pada ajaran agama, seperti pengalaman Ibnu Sina dalam menangani masalah kehidupan setelah kematian.

Dewasa ini, di negeri-negeri yang telah lama membina tradisi filsafat dan ilmu-ilmu kefilsafatan, telah digagas pengembangan filsafat dalam skema interdisiplin. Dari dalam tradisi Kebijaksanaan Utama (al-Hikmah al-Muta‘āliyah), gugus generasi filsafat Mulla Sadra ini aktif melahirkan berbagai filsafat terapan seperti: filsafat manajemen, filsafat seni, filsafat kedokteran, filsafat manajemen, filsafat komunikasi, filsafat intelejen, filsafat konstitusi. Bahkan, ada pula filsafat filsafat Islam. Upaya ini tentu membuka peluang filsafat berkiprah banyak dalam bidang lain dari pengetahuan dan kehidupan manusia.

Kendati demikian, perlu dicatat tebal sedari awal, filsafat Islam tidak beda dengan sistem filsafat lainnya: bukan panasea, bukan syarat cukup dalam menyelesaikan masalah; ia hanyalah satu dari sekian alternatif yang patut dipertimbangkan dalam pemecahan masalah yang relevan dengan karakternya.

Baca Juga :  “There is A God” Karya Pembelotan Ateis Paling Terkemuka yang Menghebohkan Dua Kubu

KOMPLEKSITAS MASALAH
“Modernitas ialah suatu tatanan pascamasyarakat tradisional, meski di dalamnya keyakinan yang diperoleh dari pengetahuan rasional belum menggeser kemantapan dan kedamaian jiwa yang diperoleh dari tradisi dan norma-normanya. Ragu merupakan salah satu ciri umum akal kritis jaman sekarang, menembus ke dalam hidup keseharian, ke dalam dasar kepercayaan filosofis”. Ini salah satu cara Anthony Giddens menggarisbawahi modernitas dalam pengantar karyanya, Modernity and Self-identity (Giddens, 1998).

Meski ada sejumlah kata kunci yang perlu dibongkar, pesan naratifnya cukup tegas. Bila disebutkan masyarakat tradisional, tentu di sampingnya ada masyarakat modern dengan tetap memperhatikan runtutan kronologis. Maka itu, diskursus seputar modernitas dan tradisi ialah usaha mempelajari kenyataan hidup dan dunia secara universal, mengamati kaitan masa lalu dan masa kini. Giddens yang oleh orang Barat dikenal sebagai the last modernist, mengingatkan kaitan itu pada dua hal; diferensi dan marginalisasi.

Gambaran umum dari tantangan dunia yang ditayangkan Giddens di atas, meski sudah lebih dari dua dekade, kiranya dapat dijadikan sebagai acuan awal untuk, secara terbalik, memahami segurat problematika keindonesiaan. Entah akan ditempatkan sebagai era modernitas atau bukan, Indonesia kontemporer sedikit banyaknya menghadapi deferensi dan marginalisasi.

Dua realitas ini tampak rumit dan genting mengingat kian bermunculan bukan secara alami atau kebetulan, tetapi dirancang, direkayasa hingga dipaksakan searah dengan agenda kepentingan. Pada beberapa kasus, kekuasaan tidak berdaya atau tidak peduli terhadap aksi-aksi diferensi, marginalisasi hingga polarisasi yang dilakukan bahkan secara kasar, kasatmata, tanpa malu.

Faktor dominan aksi-aksi diferensi dan marginalisasi tak lain adalah manusia itu sendiri sebagai aktor yang berkesadaran. Ada relasi antara aksi dan kesadaran. Kesadaran merupakan perkalian dua kekuatan insani: objektif dan subjetif, yaitu pengetahuan dan keinginan.

Keputusan dan tindakan seseorang ditentukan oleh kesadarannya, yakni oleh kualitas pengetahuan dan keinginannya. Pada dua aspek objektif dan subjektif inilah filsafat Islam dapat terlibat ekstensif mengajukan penjelasan yang khas: bagaimana pengetahuan itu jadi basis kebenaran dan bagaimana keinginan itu jadi dasar kebijaksanaan. Penjelasan atas dua persoalan ini sedikit banyaknya ditangani oleh, di antaranya, buku Bidayat al-Hikmah.

BUKU BIDAYAH
Filsafat Islam patut dikembangkan, selain sebangun dengan tradisi kebanyakan putra bangsa dan sebagian besar porsi sejarah Indonesia, juga terkandung muatan-muatan yang belum tergali sepenuhnya. Penggalian dan pemanfaatan sumber intelektual ini tampaknya hanya akan membuang-buang waktu bila dimaksudkan untuk berhenti di pendisiplinan ilmu dan pengajaran materi-materinya.

Sejurus dengan desakan Bagir Sadr dalam ekonomi Islam, filsafat Islam juga dimaksudkan untuk dikembangkan dan diadaptasikan sebagai bagian dari haluan hidup atau, dalam bahasa Sokrates, pengujian kualitas hidup setiap orang: “Hidup yang tak teruji tidak layak dijalani”.

Agar tidak tersinggung kata-kata Marx, “Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting ialah mengubahnya”, filsafat Islam menempati posisi yang selayaknya tidak semata-mata ilmu, tetapi juga hikmah ‘kebijaksanaan’ yang menanamkan pengetahuan (philo) dan cinta (sophia) untuk melahirkan kebijakan insani-ilahi, “Science is organized knowledge, wisdom is organized life.”

Untuk itu, Kant membantu kita mendeskripsikan cara kita menguji diri sendiri secara fundamental melalui melalui tiga pertanyaan berikut:
Sebagai entitas yang tahu-diri, bagaimana semestinya berpikir?
Sebagai entitas yang tahu-diri, apa yang bisa diharapkan?
Dan sebagai entitas yang tahu-diri, apa yang semestinya dilakukan? (Roger Scruton: 1981, hal. 51).

Baca Juga :  Filsafat, Pancasila dan Negeri Impian Buya Maarif

Pertanyaan trilogis ini jauh sebelumnya telah dirangkum Sadrul Muta’allihin untuk mengintroduksi adikaryanya, Kebijaksanaan Utama dalam Empat Perjalanan Akal, sesuai rumusan Tuan Para Filosof (ra’īs al-hukamā’), Ali bin Abi Thalib, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada seseorang yang telah mempersiapkan dirinya, siap untuk kematiannya, dan dia tahu dari mana, sedang di mana dan akan ke mana.” (Sadrul Muta’allihin: 1982, jil. 1, hal. 21).

Rumusan pengantar ini sepatutnya juga menjadi konsentrasi pikiran dan emosi para pembelajar buku ini, Bidāyat Al-Hikmah (Awal Kebijaksanaan). Seperti yang tampak dari judulnya, karya yang tampaknya sederhana dari Allamah Thabathaba’i ini merupakan jenjang awal mengenal filsafat Islam dalam pengertian sempitnya, yakni metafisika. Sebagai awal, buku ini bukan tujuan; ia adalah satu dari sekian alat elementer untuk menguji upaya pembelajar filsafat, setidaknya, dalam menemukan jawaban kebijaksanaan atas pertanyaan trilogis itu.

Bidayah, begitu umumnya buku ini lebih populer disebut, ditulis dengan gaya bahasa yang lazim mentradisi di kalangan filosof Muslim; pembaca akan mengalami eksperimen yang kurang lebih sama dengan pengalaman membaca, misalnya, Ilāhiyyāt al-Syifā’ karya Ibnu Sina, Al-Tahshīl karya Bahmaniyar atau Al-Mandzūmah karya Mulla Hadi Sabzawari.

Maka, kesan-kesan kesingkatan dan kepadatan teks serta keserbateknisan istilah-istilah menjadi tak terhindarkan. Banyak kalangan, terutama pemula, mengeluhkan kesan ini lantaran berdampak pada kerumitan bahasanya melipatgandakan kerumitan masalah-masalah filsafat itu sendiri. Filsafat itu sudah rumit, malah diperumit lagi.

Sebelum kesan-kesan tadi mengeras hingga menciptakan keputusasaan serta antiklimaks, perlu kiranya disadari realitas kerumitan dan keserbateknisan bukan eksklusif filsafat; banyak ilmu yang juga rumit dan penuh istilah-istilah teknis. Seperti juga kedokteran dan ilmu lainnya, filsafat terbuka untuk semua kalangan, meski pada prakteknya tidak semua orang berminat atau mau mempelajari ilmu-ilmu itu.

Setiap ilmu punya keunikan dan tingkat kerumitannya sendiri. Filsafat akan dijalani oleh kalangan yang siap menghadapi kerumitan uniknya, seperti kebuntuan yang awal kali dialami Ibnu Sina dalam mempelajari Metaphysics karya Aristoteles tanpa kehilangan putus asa hingga menjadi komentator dan representatif utama filsafat Peripatetisme di dunia Islam.

Salah satu pemecah kebuntuan Ibnu Sina ialah karya ringkas Al-Farabi, Kitab Aghrādh Mā Ba’da Al-Thabī’ah. Dengan buku ini, Ibnu Sina memulai kembali telaah atas karya Aristoteles. Apalagi Bidāyah yang sedari awal digagas sebagai buku ajar, buku ini wajar dipelajari bersama guru dan buku-buku syarah (tafsir) atau ta’līq (komentar).

Kini, di tangan pembaca, telah hadir buku syarah Bidayah. Berbekal dari pengalaman belajar dan mengajar, penulis berkompetensi menerjemahkan teks lalu mengurai kata, frasa dan kalimat Bidayah dengan gaya bahasa yang relatif populer dan wawasan kefilsafatan yang tidak jarang dituangkan secara komparatif. Dengan pola itu kiranya buku syarah ini dapat menampilkan letak-letak kerumitan sekaligus menekan tingkatnya seminimal mungkin, layaknya kontribusi yang dimaksudkan Al-Farabi untuk Metaphysics Aristoteles.

Memang, terjemah dan syarah Bidayah ini bukan buku pertama filsafat Islam dalam Bahasa Indonesia. Sebelumnya sudah ada karya-karya seperti: Falsafatuna karya Muhammad Baqir Al-Sadr dan Buku Daras Filsafat Islam karya Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Tetapi sebagai buku ajar dengan pola penulisan klasik, Bidayah dan syarahnya sudah pasti yang pertama di tanah air.

Seperti kata pepatah Arab, “Al-fadhl li man sabaq”, keutamaan jasa kembali kepada orang yang pertama memulai. Semoga ini menjadi bakti dan bukti intelektual awal penulis untuk meningkatkan peluang-peluang kontribusifnya dalam pemecahan masalah individu dan sosial bangsa.

Share Page

Close