• LAINYA

QURANIKA-DINAMIKA–Siapa yang tak kenal Muarice Bucaille. Namanya dikenal di kalangan para filosof agama, tepatnya seputar isu hubungan antara agama dan sains, dengan nama Bucailleisme, sebuah pemikiran atau, tepatnya, gerakan para sarjana yang berasal dari konklusi Bucaille bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan sains. Maksud agama di sini bukan semua agama, tetapi agama Islam. Setidaknya begitulah yang Bucaille temukan setelah ia melakukan penelitian fisiologis atas jasad mumi Firaun.

Dokter profesor dari Perancis yang bekerja di keluarga kerajaan Saudi Arabia ini menemukan fakta saintis dalam Alquran yang selanjutnya mengubah arah hidupnya setelah memutuskan meninggalkan ajaran Kristen dan masuk Islam.

Kejujuran ilmiah dan intuisi riset menciptakan gairah untuk belajar bahasa Alquran dalam upaya melihat langsung ayat-ayatnya terkait fakta dan temuan empirik dari mumi Firaun.

Bagaimana kisahnya? Simak berikut ini.

Penemuan Jasad Firaun

Berawal dari tahun 1898, arkeolog Loret berhasil menemukan sebuah jasad mumi di Thebes, Mesir. Mumi tersebut terindentifikasi sebagai jenazah dari Firaun “Merneptah” yang dipastikan sebagai anak dari Firaun Ramses II. Di samping ditemukan mumi Merneptah juga ditemukan mumi dari Ramses II dalam keadaan utuh.

Merneptah adalah firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa a.s. hingga ke laut dan mati tenggelam di sana, sedangkan Ramses II adalah firaun yang hidup persis sebelumnya, kedua-duanya hidup pada masa Nabi Musa a.s.

Kemudian, pada 8 Juli 1907, Elliot Smith membuka balutan-balutan perban mumi Merneptah untuk memeriksa jasadnya. Setelah itu, dia mengarang buku The Royal Mumies pada tahun 1912. Dalam buku itu dijelaskan, ketika Eliot membuka perban mumi pada tahun 1907, mumi tersebut dalam keadaan baik dan utuh walaupun ada kerusakan di beberapa bagian.

Baca juga: Sains Modern Buktikan Teknik Pembuatan Piramida versi Alquran
Baca juga: Mencari Cinta Sejati dan Kehidupan pasca Kematian dalam Pancasila

Setelah diteliti Eliot, pada tahun yang sama mumi tersebut dipamerkan di musium Cairo dengan kepala dan leher terbuka tanpa perban supaya setiap pengunjung dapat melihat dengan nyata, sedangkan badannya ditutup kain sedemikian rupa supaya dapat terlindungi dari kerusakan karena kelembaban udara dan bakteri.

Yang paling penting dan berharga dengan penemuan mumi Merneptah dan hasil penelitian Eliot Smith yang menyaksikan mumi Merneptah secara utuh adalah bukti materiil secara utuh jenazah dari raja Firaun yang mati tenggelam di laut.

Karya Muarice Bucaille, terjemahan Bahasa Indonesia

Dari riset para ilmuwan diperkirakan lokasi penyeberangan Nabi Musa a.s. dan tempat tenggelamnya Firaun diperkirakan berada di Teluk Aqaba di Nuweiba, pesisir Laut Merah. Kedalaman maksimum perairan di sekitar lokasi penyeberangan adalah 800 meter di sisi ke arah Mesir dan 900 meter di sisi ke arah Arab. Sementara itu di sisi utara dan selatan lintasan penyeberangan (lihat panah merah) kedalamannya mencapai 1500 meter. Kecerunan laut dari Nuweiba ke arah Teluk Aqaba sekitar 1/14 atau 4 darjah, sementara itu dari Teluk Nuweiba ke arah daratan Arab sekitar 1/10 atau 6 darjah. Diperkirakan jarak antara Nuweiba ke Arab sekitar 1800 meter. Lebar lintasan Laut Merah yang terbelah diperkirakan 900 meter.

Baca Juga :  Kematian dan Mendesain Masa Depan (1): Kematian, Identitas Manusia

Penelitian Prancis atas Jasad Mumi Firaun
Sampai suatu hari di pertengahan tahun 1975, sebuah tawaran dari pemerintah Prancis datang kepada pemerintah Mesir. Negara Eropa itu menawarkan bantuan untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun secara ekstensif. Tawaran tersebut disambut baik oleh Mesir. Setelah mendapat restu dari pemerintah Mesir, mumi Firaun kemudian diangkut ke Perancis. Bahkan, pihak Perancis membuat pesta penyambutan kedatangan mumi Firaun dengan sangat meriah.

Mumi itu pun dibawa ke ruang khusus di Pusat Purbakala Perancis untuk selanjutnya dilakukan penelitian sekaligus mengungkap rahasia di baliknya oleh para ilmuwan terkemuka dan para pakar dokter bedah dan otopsi di Perancis. Pada saat itulah Prof. Dr. Maurice Bucaille mendapat kehormatan dipercayai sebagai pemimpin ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama dalam penelitian mumi Firaun itu.

Baca juga: Terbitkan Hasil Riset Alquran 800 Halaman, Profesor Jerman Kritik Tajam Budaya Barat
Baca juga: Analisis Komputer mana yang lebih Memuat Kekerasan: Alquran atau Bible

Bucaille adalah ahli bedah kenamaan Perancis dan pernah mengepalai klinik bedah di Universitas Paris. Ia dilahirkan di Pont-L’Eveque, Perancis, pada 19 Juli 1920. Bucaille memulai kariernya di bidang kedokteran pada 1945 sebagai ahli Gastroenterologi. Dan, pada 1973, ia ditunjuk menjadi dokter keluarga oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Tidak hanya anggota keluarga Raja Faisal yang menjadi pasiennya. Anggota keluarga Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, diketahui juga termasuk dalam daftar pasien yang pernah menggunakan jasanya.

Namanya mulai terkenal ketika ia menulis buku tentang Bibel, Alquran, dan ilmu pengetahuan modern atau judul aslinya dalam bahasa Prancis, La Bible, le Coran et la Science, di tahun 1976.

Ketertarikan Bucaille terhadap Islam mulai bangkit ketika secara intens dia mendalami riset biologi dan hubungannya dengan beberapa doktrin agama. Karenanya, ketika datang kesempatan kepada Bucaille untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun, ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menguak misteri di balik penyebab kematian sang raja Mesir Kuno tersebut.

Ternyata, hasil akhir yang ia peroleh sangat mengejutkan! Sisa-sisa garam yang melekat pada tubuh sang mumi adalah bukti terbesar bahwa dia telah mati karena tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan kemudian dibalsem untuk segera dijadikan mumi agar awet.

Penemuan tersebut masih menyisakan sebuah pertanyaan di kepala sang profesor. Bagaimana jasad tersebut bisa lebih baik kondisinya dari jasad-jasad yang lain, padahal dia dikeluarkan dari laut?

Bucaille lantas menyiapkan laporan akhir tentang sesuatu yang diyakininya sebagai temuan baru, yaitu penyelamatan mayat Firaun dari laut dan pengawetannya. Laporan akhirnya ini dia terbitkan dengan judul Mumi Firaun; Sebuah Penelitian Medis Modern, dengan judul aslinya, Les Momies des Pharaons et la Midecine. Berkat buku ini, dia menerima penghargaan “Le prix Diane-Potier-Boes” (penghargaan dalam sejarah) dari Academie Frantaise dan “Prix General” (Penghargaan umum) dari Academie Nationale de Medicine, Perancis.

Baca Juga :  Presiden RI: Bacaan Pertama Saya adalah Alquran

Teka Teki Bucaille

Terkait dengan laporan akhir yang disusunnya, salah seorang di antara rekannya membisikkan sesuatu di telinganya seraya berkata, “Jangan tergesa-gesa karena sesungguhnya kaum Muslimin telah berbicara tentang tenggelamnya mumi ini.” Bucaille awalnya mengingkari kabar ini dengan keras sekaligus menganggapnya mustahil. Menurutnya, pengungkapan rahasia seperti ini tidak mungkin diketahui kecuali dengan perkembangan ilmu modern, melalui peralatan canggih yang mutakhir dan akurat.

Hingga salah seorang di antara mereka berkata bahwa Alquran yang diyakini umat Islam telah meriwayatkan kisah tenggelamnya Firaun dan kemudian diselamatkannya mayatnya. Ungkapan itu makin membingungkan Bucaille. Lalu, dia mulai berpikir dan bertanya-tanya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bahkan, mumi tersebut baru ditemukan sekitar tahun 1898 M, sementara Alquran telah ada ribuan tahun sebelumnya.

Ia duduk semalaman memandang mayat Firaun dan terus memikirkan hal tersebut. Ucapan rekannya masih tergurat basah di memorinya, bahwa Alquran–kitab suci umat Islam–telah mengungkapkan kisah Firaun yang jasadnya diselamatkan dari kehancuran sejak ribuan tahun lalu.

Sementara itu, dalam kitab suci agama lain, hanya membicarakan tenggelamnya Firaun di tengah lautan saat mengejar Nabi Musa a.s., dan tidak membicarakan tentang mayat Firaun. Bucaille pun makin bingung dan terus memikirkan hal itu.

Ia berkata pada dirinya sendiri. “Apakah masuk akal mumi di depanku ini adalah Firaun yang akan menangkap Musa? Apakah masuk akal, Muhammad mengetahui hal itu, padahal kejadiannya ada sebelum Alquran diturunkan?”

Bucaille tidak bisa tidur, dia meminta untuk didatangkan kitab Taurat (Perjanjian Lama). Dia pun membaca Taurat yang menceritakan, “Air pun kembali (seperti semula), menutupi kereta, pasukan berkuda, dan seluruh tentara Firaun yang masuk ke dalam laut di belakang mereka, tidak tertinggal satu pun di antara mereka.”

Kemudian Bucaille membandingkan dengan Injil. Ternyata, Injil juga tidak membicarakan tentang diselamatkannya jasad Firaun dan masih tetap utuh. Karena itu, dia semakin bingung.

Tunduk di Bawah Fakta Alquran
 
Setelah perawatan atas mayat Firaun dan pemumiannya, Perancis mengembalikan mumi tersebut ke Mesir. Akan tetapi, tidak ada kesimpulan yang menggembirakan Bucaille, tidak ada pikiran yang membuatnya tenang semenjak ia mendapatkan temuan dan kabar dari rekannya tersebut, yakni kabar bahwa kaum Muslimin telah saling bercerita tentang penyelamatan mayat tersebut. Dia pun memutuskan untuk menemui sejumlah ilmuwan otopsi dari kalangan Muslimin.

Dari sini kemudian terjadilah perbincangan untuk pertama kalinya dengan peneliti dan ilmuwan Muslim. Bucaille bertanya tentang kehidupan Musa, perbuatan yang dilakukan Firaun, dan pengejarannya pada Musa hingga dia tenggelam dan bagaimana jasad Firaun diselamatkan dari laut.

Maka, berdirilah salah satu di antara ilmuwan Muslim tersebut seraya membuka mushaf Alquran dan membacakan untuk Bucaille firman Allah SWT yang artinya:

Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus [10]: 92).

Baca Juga :  Filsafat Alquran (1): 5 Alasan ini, Manusia Perlu Nabi

Ayat ini sangat menyentuh hati Bucaille. Ia mengatakan bahwa ayat Alquran tersebut masuk akal dan mendorong sains untuk maju. Hatinya bergetar, dan getaran itu membuatnya berdiri di hadapan orang-orang yang hadir seraya menyeru dengan lantang, “Sungguh aku masuk Islam dan aku beriman dengan Alquran ini.”

Bucaille belajar serius bahasa Arab dan mempelajari Alquran untuk mencari penerangan yang tidak akan dapat diperoleh dengan jalan lain. Ia heran karena dalam Alquran ia menemukan keterangan-keterangan tentang fenomena-fenomena alamiah, yang hanya dapat difahami oleh pengetahuan ilmiah modern.

Baca juga: Perdebatan Qurani (1): Dibanding Injil, kenapa Alquran Mudah Dihapal
Baca juga: Masuk Islam karena Alquran (2): Gary Miller, Profesor Kanada yang tadinya Menantang dan Mencari-cari Kesalahan

Karya Ilmiah Bucaille Muslim
 
Ia pun kembali ke Perancis dengan wajah baru, berbeda dengan wajah pada saat dia pergi dulu. Sejak memeluk Islam, ia menghabiskan waktunya untuk meneliti tingkat kesesuaian temuan-temuan ilmiah dan fakta-fakta sains modern dengan Alquran, serta mencari satu pertentangan ilmiah yang dibicarakan Alquran.

Semua hasil penelitiannya tersebut kemudian ia bukukan dengan judul Bibel, Alquran dan Ilmu Pengetahuan Modern, judul asli dalam bahasa Perancis, La Bible, le Coran et la Science (Alkitab, Alquran dan Sains). Buku yang dirilis tahun 1976 ini menjadi best-seller internasional di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa utama umat Muslim di dunia, termasuk ke bahasa Indonesia, terbitan Mizania.

Buku itu telah menjadi best-seller internasional di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa utama umat Islam di dunia. Bucaille menjadi ternama dengan karyanya ini. Karyanya ini mencoba menerangkan bahwa Alquran sangat konsisten dengan ilmu pengetahuan dan sains, tidak ada pertentangan antara kitab suci umat Islam ini dengan temuan-temuan sains. Sebaliknya, dia menemukan kitab suci Kristen, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tidaklah demikian. Bucaille dalam bukunya mengkritik Bibel yang ia anggap tidak konsisten dan penurunannya bisa diragukan. Karuan saja, buku Bucaille ini tidak luput dari bantahan penulis lain, misalnya William Campbell dan M.B. Dainton.

Bucailleisme, Gerakan Islam-Sains
 
Bucaillism adalah istilah yang digunakan untuk gerakan yang menghubungkan ilmu pengetahuan modern dengan agama, terutama dari Islam. Sejak penerbitan “Alkitab, Alquran dan Sains”, para pemikir dan aktivis Bucaillis telah mempromosikan ide bahwa Alquran adalah kitab suci yang autentik berasal dari Tuhan, dengan dukungan argumen bahwa kitab suci ini berisi fakta-fakta empirik, ilmiah, dan benar.

Menurut The Wall Street Journal, kisah penciptaan versi Kristen bertolak belakang dengan penjelasan ilmu pengetahuan modern, sementara Bucailleism merangkul itu. Ini menggambarkan Bucailleisme sebagai yang diremehkan oleh sebagian sarjana pada umumnya, tetapi pihaknya telah memupuk kebanggaan bagi kaum Muslimin dan memainkan peran penting dalam menarik orang masuk Islam. (Dihimpun dari berbagai sumber).

Share Page

Close