• LAINYA

ETIKA-SOSIAL–Tidak langka kita temui orang marah, tetapi dia tidak merasa marah. Boleh jadi kita sendiri, saat ditegur agar jangan marah, membela-bela diri dengan mengaku tidak marah dengan alasan, misalnya, ini cuma kritik, beri nasihat dan pengajaran.

Sebenarnya, apa marah itu?

Dalam Ihya’ Ulum Al-Din, marah yaitu gejolak di hati dalam rangka balas dendam (Al-Ghazali, vol. 3: 93, dan Al-Raghib Al-Isfahani, hlm. 608) sebagai respon terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya (Tsa’alabi: vol.3, hlm. 78).

MARAH ITU API MENYALA. ORANG YANG MENAHANNYA AKAN MEMADAMKAN APINYA. DAN ORANG MEMBIARKANNYA DIALAH ORANG PERTAMA YANG TERBAKAR–Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.

Dalam marah, ada semacam ketidakpuasan, ketidaksudian, ketidak-terimaan, penolakan, pembantahan dan perlawanan di batin terhadap gejala, keadaan atau kenyataan yang merusak kenyamanan diri.

Jadi, pertama, tempatnya marah adalah di hati.
Kedua, marah adalah reaksi (penolakan dan perlawanan) batin yang didahului oleh suatu aksi dan gejala, entah itu nyata di luar ataukah fiktif-hanya dalam pikiran.
Ketiga, aksi dan gejala itu bertentangan dengan harapan, merusak kemapanan, mengganggu rasa nyaman dan puas.
Keempat, marah bertingkat-tingkat, maka penolakan dan perlawanan batin itu juga berderajat, mulai dari yang hanya ditahan di hati sampai meluap di mulut dan meledak di hadapan orang.
Kelima, dari marah bisa muncul efek kejiwaan seperti: dengki, hasud, dendam kesumat, kecenderungan menyerang dan menaklukkan ancaman.
Keenam, marah juga diekspresikan secara beragam.

 

MARAH: MACAM, GEJALA DAN KONSEKUENSINYA
Karena berderajat tadi, marah muncul dengan beragam ekspresi. Secara umum, ada dua eskpresi marah: marah terpendam dan marah terungkap.

Karena gejolak di hati, marah berawal dari reaksi batin dan muncul ke permukaan ekspresi lahiriah; dari yang awalnya dipendam lalu menguap hingga terungkap meledak.

Baca Juga :  Ilmu: Pembentukan dan Kriterianya dalam Tradisi Barat dan Islam

Marah terpendam akan berupa ketersinggungan, kesal, dongkol, ngambek, dan geram. Sementara marah terungkap ditandai oleh aksi membatin, mendoakan keburukan, mengomel, menggerutu, mengumpat, lalu membentak, menghardik, mendamprat, memaki, menyinyir, menyindir, melaknat dan menyumpahi, menista kehormatan, berujar kebencian mengejek dan mengolok-olok.

Pada puncaknya, kemarahan mencapai ekspesi mengamuk dan berbuat serba-radikal, entah dengan cara-cara pembunuhan karakter atau bahkan dengan melancarkan teror, bully, hoaks, intimidasi, persekusi, pengambinghitaman, fitnah, kriminalisasi, mencari-cari kesalahan, polarisasi, permusuhan, penyerangan, pertikaian, penggunaan senjata tajam/api, peniadaan nyawa hingga penjajahan dan invasi.

Nabi SAW bersabda, “Marah adalah induk kejahatan.”

Hanya karena marah, mudah terbawa arus, mudah tersulut dan jadi korban provokasi, kehilangan daya kritis dan logika sehingga gampang percaya dan termakan hoaks.

Hanya karena marah pula persaudaraan terputus, keumatan terpecah belah, kebangsaan terkoyak-koyak. Tidak ada salam-salaman selain tidak lagi saling mengenal. Tidak ada persatuan selain bersatu untuk sama-sama saling bermusuhan dan saling mencurigai. Dalam marah, kesadaran akal sehat terbunuh hingga sulit membangkitkan semangat toleransi, kritik dan kerja sama.

Seperti dicatat dua begawan Akhlak: Ibnu Maskaweih dan Mulla Niraqi, marah akan meningkat saat membangkitkan dendam kesumat, lalu mencapai klimaks ketegangannya saat membakar kesadaran hingga meredupkan cahaya akal sehat; yang dominan dalam dirinya adalah emosi dan gejolak amarah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan, “Betapa banyak akal yang tertawan oleh nafsu yang berkuasa.” Dalam keadaan gawat ini, hati bagaikan gua yang terbakar api, disesaki asap tebal hingga sulit dipadamkan. Bersambung

Share Page

Close