• LAINYA

Studi-studi Antropologi Filosofis seputar hakikat manusia dalam filsafat Mulla Sadra, yakni Kebijaksanaan Luhur (al-hikmah al-muta‘āliyah), seperti juga masalah-masalah filosofis lainnya, dapat dijumpai  secara terperinci tetapi di bawah tema-tema yang beragam dan sporadis. Dasar-dasar Kebijaksanaan Luhur sepanjang kajian-kajian itu juga sesungguhnya kerap ditinjau secara kritis dan dikuatkan secara argumentatif sebagai upaya menjawab pertanyaan umum sekaligus sulit, “Apakah manusia itu?” Berikut penjelasan filosof wanita asal Persia, Jamilah Alamulhuda, dalam karyanya, Filsafat Pendidikan Islam (2023).

Hakikat Manusia: Ruh dan Badan

Seperti bagian lain dari Kebijaksanaan Luhur, antropologi filosofis Mulla Sadra juga berangkat dari menjelaskan pandangan-pandangan populer, terutama pandangan Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi dan anasir pemikiran Yunani. Ia selanjutnya menguji, mengkritik dan kerap menyintesiskan berbagai pandangan para pendahulu untuk kemudian mengemukakan pandangan baru atau justru menghasilkan inovasi mendalam seputar masalah-masalah yang memicu tantangan serius.

Secara umum, Mulla Sadra menerima bahwa ada badan material dan ada jiwa abstrak pada diri manusia. Ia juga mengakui bahwa hakikat manusia adalah jiwa abstraknya. Namun berbeda dengan Ibnu Sina, Mulla Sadra menolak teori rangkapan (tarkībī) tentang hakikat manusia. Ia tidak menerima bahwa manusia adalah kombinasi badan dan jiwa, maka ia juga menyangkal dualitas, perbedaan dan pemisahan badan dan jiwa.

Nyatanya, segaris dengan Kebijaksanaan Kepejalanan (al-hikmat al-masysyā’iyyah) Ibnu Sina, Antroposofi Mulla Sadra juga mengakui teori Kebadanan Purwajadi (jismāniyyat al-hudūts) manusia (1) dan, seperti dikatakan Ibnu Sina, juga percaya bahwa “hidup manusia bermula dengan penciptaan badan, dan selama badan manusia tidak tercipta di alam materi, manusia tidak akan mengada”. Ia pun mengakui Ada ruh atau jiwa abstrak bagi manusia serta, setapak dengan Ibnu Sina, bahkan menegaskannya sebagai hakikat manusia.

Kendati demikian, Mulla Sadra tidak menganggap ruh sebagai realitas yang turun dari langit untuk lantas mengambil tempat dalam badan. Padahal, menurut teori Ibnu Sina, manusia itu tercipta dengan turunnya ruh setelah penciptaan badan dan menetapnya ruh di badan. Ibnu Sina percaya bahwa jiwa atau ruh turun dari tempat tertinggi ke derajat tertentu dari pertumbuhan dan kesempurnaan badan.(2)

Ibnu Sina mengakui bahwa manusia, pada saat penciptaan, terdiri dari dua hakikat yang, pada dasarnya, berbeda satu sama lain, yaitu ruh dan badan. Kebersamaan kedua hakikat manusia ini, selain mewujudkan perbedaan esensial antara dua substansi: yang satu bersifat kebumian dan yang lain bersifat kelangitan.

Dalam teori Ibnu Sina, keserentakan penciptaan badan dengan turunnya jiwa serta kesalingbutuhan ruh dan badan diuraikan dalam satu rangkaian pembahasan, karena jiwa atau ruh adalah “burung taman malakut” yang memilih sarang di badan sehingga, untuk tetap bertahan-ada di alam materi, ia membutuhkan sarana bernama ‘badan’.

Pada dasarnya, tanpa menetap di sarana itu, jiwa tidak mungkin terwujud sebagai adaan material. Dalam filsafat Ibnu Sina ditegaskan bahwa esensi burung ini adalah sesuatu yang lain dan berbeda dari esensi sarangnya. Ruh atau jiwa, kendati berada di badan dan bergantung pada badan serta mengada sebagai adaan objektif dengan penciptaan badan, tetap saja esensinya berbeda dari badan.(3)

Akan halnya Mulla Sadra menolak pandangan Ibnu Sina dan menganggap mustahil bahwa manusia terangkap dari dua substansi: material dan abstrak. “Adalah mustahil terjadi satu spesis badani dari bentuk karuniawi (shūrah ‘athiyyah) dan bahan bendawi (maddāh jismāniyyah).”(4)

Sebaliknya, jiwa abstrak merupakan hasil dari berbagai transformasi badan yang begitu banyak dan kompleks. Pada dasarnya, Mulla Sadra mendobrak tembok fisika dan metafisik di suatu titik bernama manusia dan memperkenalkan jiwa abstrak sebagai produk dari gerak kemenyempurnaan badan material.

“Menurut filsuf besar Islam, Mulla Sadra, ruh itu sendiri adalah produk materi yang paling tinggi, yakni lahir dari rangkaian evolusi dan kemenyempurnaan esensial materi. Tidak ada tembok antara fisik dan metafisik. Itulah satu adaan material yang berubah menjadi adaan nonmateri dalam tahap-tahap evolusi dan kemenyempurnaannya.”(5)

Pada hemat Mulla Sadra, manusia adalah badan yang berevolusi, dan pembentukan ruh atau jiwa sebagai hakikat manusia merupakan hasil dari evolusi badan tersebut. Dengan kata lain, hakikat manusia bagi Mulla Sadra adalah jiwa, akan tetapi jiwa bukanlah sesuatu yang terpisah dari atau dalam badan. “Jiwa adalah kesempurnaan bagi suatu subjek (mawdhū‘) yang ia (subjek) ini sendiri tidak akan terbentuk nyata kecuali dengannya, yakni dengan badan.”(6)

Baca Juga :  Etika dan Seni Marah (1): Marah di Pengantar Bab Penghancur

Jadi, jiwa tak lain adalah badan yang telah berevolusi. Karena itu, hakikat manusia memiliki kejadian badani. Artinya, asal kejadian manusia adalah badan. “Selama jiwa belum keluar dari potensi Ada bendawi, ia adalah bentuk material.”(7)

Di tempat lain, Mulla Sadra menganggap hubungan antara badan dan jiwa sebagai jenis hubungan antara bahan/materi dan bentuk dan, pada dasarnya, ia mendefinisikan hakikat jiwa sebagai bentuk adaan bendawi. “Di awal kali dicurahkan kepada badan, jiwa adalah satu bentuk adaan bendawi.”(8)

Tentu saja, seperti dikemukakan Mulla Sadra dalam penjelasan atas masalah ini, kejadian bahan/materi [sebagai realitas] bergantung pada bentuk sehingga bahan tidak akan terjadi-ada tanpa bentuk. Dan hubungan antara bahan dan bentuk, pada hakikatnya, adalah hubungan genus dengan diferensi pencetak Ada/realitasnya. Artinya, relasi bentuk nyata segala sesuatu dengan diri sesuatu itu sendiri adalah relasi identik dan objektif sehingga tidak akan terjadi perpisahan dan perceraian di antara mereka (bentuk dan sesuatu/bahan/materi) seperti perpisahan esensi burung dari sarang.

Menurut Mulla Sadra, dalam kejadian objektifnya di alam materi, realitas badan ditentukan oleh jiwa, dan aktualitas (fi‘liyyah) serta kejadian objektif jiwa juga hanya pada dan demi badan. Maka perpisahan esensial mereka satu sama lain adalah tidak mungkin dan mustahil. “Sesungguhnya jiwa manusia, di awal pembentukannya, tidak berbeda realitasnya dari badan.”(9)

Kendati Ada manusia, menurut Mulla Sadra, pada awalnya merupakan satu adaan bendawi, adaan bendawi juga mencakup sejumlah derajat. Yang terendah dari derajat kebendaan tak lain adalah batas tiada (‘adam) atau “kayu belaka” (hayūlā shirf), sedangkan derajat tertingginya adalah bentuk bendawi manusia. Atas dasar ini, titik keawalan manusia adalah Ada bendawi dan titik pertama Ada bendawi ini juga, seperti seluruh realitas bendawi, adalah kayu pertama (hayūlā ūlā).(10)

Jadi jiwa, menurut pandangan umum para filsuf, adalah hakikat-nya manusia; ia di awal kejadiannya adalah bentuk kesempurnaan badan, dan melalui jiwa itulah efek-efek kehidupan mengalir ke materi. “Jiwa adalah bentuk kesempurnaan (shūrah kamāliyyah) yang, dengannya efek-efek khasnya, tercurah pada bahan/materi.”(11)

Penting untuk dicatat di sini bahwa kebendaan hakikat manusia dalam filsafat Mulla Sadra hanya berkaitan dengan awal kejadian manusia di alam materi. Ada ungkapan-ungkapan yang biasa ditekankan Mulla Sadra pada saat membahas kebendaan pada diri manusia seperti: “kejadian pertama manusia”, “ia memulai Adanya pertama-tama”, atau “di awal pembentukannya”, atau “dia ada secara pertama-tama”, dan lain-lain.(12) Ini menunjukkan bahwa fokus telaahnya dalam topik semacam ini terfokus pada awal kejadian dan permulaan kehidupan manusia. Artinya, hakikat manusia itu bendawi hanya di awal kejadiannya, lalu di tahap-tahap selanjutnya memperoleh Ada non-bendawi.

Dengan kata lain, Mulla Sadra membatasi realitas kebendaan manusia hanya pada permulaan Adanya. “Perlu Anda ketahui bahwa jiwa cakap (nafs nāthiqah), yang merupakan bentuk esensi dan hakikat manusia, adalah bendawi kejadiannya dan ruhani ketetap-adaannya (jismāniyy al-hudūts wa rūhāniyy al-baqā’).”(13)

Sementara menegaskan poin penting ini, Mulla Sadra sekaligus mengemukakan beberapa argumen atas keabstrakan (kelepasan) jiwa dari bahan/materi. Yang paling terkenal di antaranya ialah “keini-ituan (in-hamānī, baca: keidentikan) esensi manusia”, “kemustahilan ketakhadiran atau kelalaian dari diri”, “kemampuan mengabstraksi indraan-indraan (mahsūsāt) dan membentuk akalan-akalan (ma‘qūlāt) universal”, “kemampuan mempersepsi hal-hal mustahil” dan “hipotesis manusia menggantung” dari Ibnu Sina.(14)

Memang, keabstrakan jiwa diterima baik dalam filsafat Mulla Sadra juga dalam filsafat Ibnu Sina. Namun, mengingat substansi abstrak itu berbeda dengan substansi bahani/material (jawhar māddī) dan bahkan bahan dan adaan abstrak saling menolak, filsafat Ibnu Sina mengakui ketersunanan esensi manusia dari dua substansi: bahani dan abstrak, dengan memaksakan berbagai cara dalam menjustifikasi hubungan antara jiwa dan badan sebagai dasar antroposofis.

Sementara Mulla Sadra, bertolak dari Kesejatian Ada dan Gerak Substansial, mengemukakan transformasi adaan bahani menjadi adaan abstrak sehingga, dengan begitu, ia tidak hanya lolos dari masalah dan kritik yang bermunculan akibat kebersamaan dua substansi yang masing-masing berbeda dan mandiri, tetapi juga tidak terjebak jatuh dalam dualisme, tidak juga terdesak untuk menerima ketersusunan esensi manusia dari dua substansi yang berbeda satu dari yang lain.

Baca Juga :  Radikalisme Positif dalam Beragama: Menjadi Tuhan itu Kewajiban juga Cita-cita

Seperti sudah diketahui bahwa kritik paling tajam terhadap filsafat Descartes adalah pertanyaan mendasar: bagaimana dua substansi: bahani (badan) dan abstrak (pikiran atau pemikiran) berubah menjadi satu substansi dan membentuk manusia? Kritik semacam itu juga telah digagas menyerang filsafat Ibnu Sina. Kedua filsafat ini, meski sudah menempuh banyak upaya, masih belum bisa lolos dari ancaman kritik-kritik semacam ini.

Akan halnya Mulla Sadra, dengan berpijak di atas Kesejatian Ada dan Kesatuan Pemeragu, mendefinisikan jiwa sebagai bentuk luhur (shūrah muta‘āliyah) badan dan menjelaskan kemungkinan atau bahkan keniscayaan perubahan Ada bahani/material/bendawi menjadi Ada abstrak.

Argumentasinya, jika jiwa cakap ini, sebelum berada di badan, sudah ada di suatu alam selain alam bahani/material, maka jiwa hanya dalam satu dari dua keadaan: satu adaan aklani (mawjūd ‘aqlānī) atau salah satu substansi nafsani (jawhar nafsānī).

Jika jiwa adalah suatu adaan aklani atau akal murni (‘aql mahdh), maka ia tidak akan pernah melepaskan ‘negeri’ adaan-adaan abstrak dan istana suci, tidak pula tertimpa oleh efek-efek dan dampak-dampak alam bendawi (jasmānī) dan badan.

Di sisi lain, jika jiwa adalah substansi nafsani, maka ia pasti terikat dengan badan tertentu dan untuk selamanya jadi tawanan badan, dan tentu saja ini mustahil terjadi.

“[Di sisi lain,] sudah jelas bahwa jiwa manusia adalah adaan yang terjadi secara bendawi (yakni, di awal kejadian dan pembentukan, ia mengada dari bahan-bahan dan unsur-unsur di alam ini dan, pada saat itu, ia merupakan suatu bentuk (realitas) yang mengada dengan badan). Namun setelah menyempurna dan keluar dari potensialitas ke aktualitas serta menjalani tahap-tahap kesempurnaan, ia adalah suatu adaan yang tetap-ada secara ruhani (dimana ia tidak membutuhkan badan untuk tetap-ada, tetapi mengada dengan dirinya sendiri dan berbuat tanpa alat dan sarana bendawi) … dan tidak dapat dikatakan bahwa jiwa itu abstrak dari materi/bahan dalam keadaan apa pun.”(15)

Karena, di satu sisi, berlakunya aksiden-aksiden pada substansi bahani/material itu mungkin (tidak mustahil) dan, di sisi lain, bukti-bukti atas keabstrakan jiwa tetap valid, belum lagi ada banyak argumen dikemukakan secara berulang kali oleh para ahli untuk membuktikan keabstrakan jiwa sekaligus menolak sepenuhnya kebahanan/kematerian jiwa.

Maka, hanya ada satu keadaan yang tersisa, yaitu pertama, memandang jiwa sebagai Ada, bukan kuiditas agar kita dapat membuktikan perubahan esensial dan gerak pergantian untuk jiwa. Kedua, jiwa harus didefinisikan sebagai yang-terjadi secara bendawi dan tetap-ada secara ruhani sehingga dapat membuktikan kenyataan berlakunya aksiden-aksiden dan atribut-atribut padanya. Karena itu, tidak benar menganggap jiwa sebagai adaan abstrak di semua derajat, tingkatan dan tahapan.

Ada kesatuan antara badan dan jiwa. Yakni, meskipun pada kenyataannya ada dua aspek: material (badan) dan non-materi (ruh) pada diri manusia, dan kedua-duanya secara esensial berbeda satu sama lain, namun tidak ada perpisahan di antara mereka, karena tidak ada sesuatu yang memiliki dua aktualitas, tetapi semua aktualitas dan bentuk segala sesuatu adalah satu. Kita juga menyaksikan langsung dengan intuisi bahwa kita adalah satu, dan kita tidak mengetahui perpisahan serta pembagian apa pun dalam Ada kita. Oleh karena itu, badan kita adalah jiwa kita sendiri atau suatu derajat dari jiwa kita, sementara urusan-urusan badan dikelola oleh jiwa cakap.

Selain itu, jiwa juga tidak lalai dengan badan. Justru pada dasarnya, jiwa berperan mengelola badan, dan pengelolaannya tidak bertentangan dengan keabstrakannya. Badan adalah satu derajat dari jiwa dan pengendalian badan dilaksanakan oleh jiwa, dan pengendalian badan juga tidak bertentangan dengan keabstrakan jiwa.

Demikian pula kendati abstrak dan cakap, jiwa cakap dipengaruhi oleh badan. Dan di saat-saat memuncaknya kebutuhan-kebutuhan badan, jiwa untuk sementara waktu terhenti berpikir dan berpengetahuan aklani.

Seperti telah disinggung, badan dan ruh adalah dimensi-dimensi atau derajat-derajat satu adaan individual yang bersambung-utuh bernama “jiwa”. Di awal kejadiannya, jiwa adalah suatu adaan bahani/material dan, karena gerak substansial, ia mencapai [derajat] keabstrakan rasional. Maka itu, tidak dapat dikatakan bahwa badan adalah substansi material/bahani nyata yang mandiri dan jiwa adalah substansi abstrak yang juga mandiri.

Baca Juga :  QS. Al-Ahzab [33]: Ayat 36-40; Ketika Pernikahan Jadi Tugas yang Penuh Resiko Dicemooh Publik

Pada hakikatnya, relasi jiwa dengan badan tidak seperti relasi ayah dengan anak, dimana masing-masing memiliki realitas yang sama-sama mandiri. Konsep (makna) jiwa, pada dasarnya, tidak mengacu pada suatu kategori yang berlaku pada substansi abstrak, artinya relasi jiwa dengan badan tidak seperti relasi aksiden dengan substansi. Sebenarnya, relasi jiwa dengan badan adalah sejenis hubungan bentuk dengan bahan/materi.(16)

Jiwa dan badan bukanlah dua substansi yang asing (beda dan terpisah sepenuhnya) satu dari yang lain. Sebaliknya, hubungan jiwa dengan badan adalah hubungan kesatuan (rābithah ittihādiyyah).(17) Dalam hubungan kesatuan ini, badan sebagai kebadanan—bukan sebagai kebendaan), bersyarat (bergantung) pda jiwa, dan jiwa sendiri dalam awal-kejadian (dari tiada menjadi ada) bersyarat/bergantung pada badan, meskipun ia dalam ketetap-adaannya tidak bergantung pada badan dan hanya membutuhkan badan dalam beraksi dan bertindak. Yakni, badan tidak akan berperan sama sekali dalam identitas, keutuhan dan kesempurnaan adawi (kamāl wujūdī) jiwa. Dengan keluar dari keadaan bergantung pada badan, jiwa justru tidak hanya berkemungkinan tetap-ada (baqā’), bahkan berkemungkinan dirinya menyempurna (istikmāl).(18)

Menurut temuan-temuan dari berbagai ilmu alam pada masanya, Mulla Sadra menguraikan pola transformasi badan manusia hingga mencapai tahap kesempurnaan benda. “[Saat tahap pembentukan badan manusia telah tuntas] dan telah menempuh sedikit lebih banyak daripada apa yang telah dicapai jiwa dan bentuk-bentuk substansial yanglain, maka saat itulah ia (badan) memperoleh kesiapan menerima suatu jiwa dari Pemberi Bentuk (wāhib al-shuwar) yang dikenal dengan nama jiwa cakap (nafs nāthiqah), dimana jiwa ini akan mengaktifkan semua daya jiwa nabati dan daya jiwa hewani … Pada saat itu, badan sudah siap dan layak menerima bentuk yang lebih utama, curahan yang lebih sempurna dan substansi yang lebih mulia dan lebih tinggi dibandingkan dengan semua substansi turunannya … Bentuk itu adalah daya ruhani dan jiwa yang mengetahui tahuan-tahuan universal dan partikular serta mengolah makna dan bentuk.”(19)

Sebagian ahli memandang ketaksadaran jiwa akan aktivitas-aktivitas alami badan sebagai argumen bahwa jiwa terpisah dari aktivitas alami yang berasal dari daya-daya habati dan hewani. Namun, Mulla Hadi Sabzawari menginterpretasikan ketaksadaran jiwa akan urusan dan keadaan-keadaan badan itu dengan kelemahan dan kerendahan objek-tahuan. Ia percaya bahwa pengetahuan kehadiran (‘ilm hudhūrī) akan terkait dengan suatu tahuan yang berada sederajat dengan derajat jiwa seperti: keadaan-keadaan jiwa, atau suatu tahuan yang terbit (berasal) dari jiwa seperti: bentuk-bentuk pengetahuan (shuwar ‘ilmiyyah: pengetahuan konseptual dalam-pikiran). Aktivitas-aktivitas nabati berada di derajat yang tidak punya potensi ‘hadir’ pada jiwa.(20)

Karena itu, meskipun pengetahuan kehasilan (‘ilm hushūlī) tentang bentuk-bentuk pengetahuan itu mungkin diperoleh, namun pengetahuan kehadiran tentang mereka adalah mustahil. Dengan kata lain, jiwa tidak memiliki kesadaran-diri pada derajat nabati yang kurang-lebih merupakan derajat terendah jiwa. Sementara kesadaran-diri atau pengetahuan kehadiran jiwa pada dirinya sendiri merupakan salah satu ciri khas dari derajat tinggi jiwa.

Jadi, ketaksadaran-diri akan aksi-reaksi kimiawi dalam badan tidak bisa dijadikan argumen atas perbedaan dan perpisahan jiwa dari badan. Jiwa memegang kendali pengawasan dan pengaturan atas badan, dan badan tidak terpisah dari jiwa.

Sampai di sini cukup jelas kiranya bahwa antroposofi Mulla Sadra tegak di atas dua prinsip penting: Kesejatian Ada (ashālat al-wujūd) dan Gerak Substansial (al-harakat al-jawhariyyah).

Maka, pada hemat Mulla Sadra, manusia sebagai manusia itu sendiri adalah Ada. Berbeda dengan Ibnu Sina yang menganggap hakikat manusia sebagai kuiditas abstrak (māhiyyah mujarradah), ia mendefinisikannya sebagai Ada abstrak (wujūd mujarrad).(21) Ada abstrak manusia adalah realitas pemeragu (hierarkis) dan, sepanjang hidupnya, mencakup berbagai derajat, artinya ia suatu adaan yang senantiasa dalam transformasi, penyempurnaan, dan memiliki spektrum luas yang mencakup berbagai derajat bahani/material dan abstrak. Bersambung

 

Share Page

Close