• LAINYA

Muhammad Baqir al-Shadr – Ada banyak pola tafsir dalam menggali dan memahami isi Al-Quran. Ini bisa dilihat dengan jelas sepanjang studi mendalam atas karya-karya para mufasir. Sebagian mereka memfokus perhatian mereka pada aspek literal ayat-ayat dan menjelaskan isi Al-Quran dari segi teksnya, yakni kata-kata, susunan kalimat, dan gaya bahasanya yang khas. Sebagian mufasir mencurahkan perhatian khusus pada makna teks dan pokok-pokok masalah yang terkandung di dalamnya.
Kelompok ketiga ahli tafsir menjelaskan ayat-ayat atas dasar hadis-hadis, atau menjelaskan suatu ayat dalam relasi dengan ayat lain. Dalam kaitan ini, mereka juga mengemukakan riwayat-riwayat dari Nabi saw. dan para imam umat. Manakala riwayat tidak diperoleh, mereka merujuk penjelasan ayat-ayat dari para sahabat Nabi dan generasi tabi’in. Masih ada lagi ahli tafsir yang mencoba menyesuaikan Al-Quran dalam rangka membenarkan pandangan mazhab mereka.
Ada pula ahli tafsir yang tidak terikat oleh mazhab mana pun dan berusaha menurunkan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan mereka secara langsung dari Al-Quran. Mereka menilai kebenaran atau ketidakbenaran suatu pendapat hanya berpijak di atas apa yang dikatakan Al-Quran. Mereka tidak memiliki gagasan sendiri. Tentu masih ada beberapa mazhab lain. Hanya yang ingin dikemukakan di sini ialah, secara keseluruhan, ada dua metode atau pola mufasiran Al-Quran: pola parsial (al-juz’iy) dan pola terpadu atau tematik (al-mawdhu’iy).
Berdasarkan pola parsial, mufasir mengatur komentarnya dalam kerangka Al-Quran sesuai urutan ayatnya. Dia membagi ayat-ayat Al-Quran menjadi bab-bab dan menjelaskan masing-masing bab dengan bantuan peralatan yang dimilikinya, seperti arti harfiah setiap ayat dan konotasinya yang masuk akal dalam teropong hadis-hadis yang relevan dan ayat-ayat Al-Quran lainnya yang mempunyai konsep atau konteks yang sama. Dia melakukan upaya apa saja untuk memberikan perhatian sepenuhnya pada hal-hal ini dalam tafsirnya dengan tujuan: menghasilkan pemahaman yang benar dari setiap bagian ayat.
Dengan sendirinya, manakala kita membicarakan tafsir parsial, maka yang kita maksudkan adalah bentuknya yang paling tinggi sebagaimana yang bisa diperoleh sekarang ini, sebab tafsir Al-Quran telah berkembang dari penjelasan yang sederhana mengenai beberapa ayat saja sampai bentuknya yang paling maju sekarang ini, yang mencakup seluruh isi Al-Quran.
Sejarah tafsir parsial berasal dari masa sahabat Nabi saw. Pada mulanya, pola tafsir ini terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosakatanya. Seiring dengan berlalunya waktu, kebutuhan akan tafsir yang mencakup seluruh isi Al-Quran terasa mendesak. Karenanya, pada akhir abad 3 dan awal abad 4 Hijriah, para ahli tafsir seperti: Ibnu Majah, al-Thahari, lalu mengkaji keseluruhan isi al-Quran dan membuat pola yang paling maju dari tafsir parsial.
Dalam tafsir parsial, perhatian utama difkuskan ada makna harfiah ayat-ayat dengan maksud agar pembaca bisa memahami maksud Tuhan di balik teks-teks Al-Quran. Pada awalnya, memahami arti teks suatu ayat merupakan masalah yang tampaknya sederhana, tetapi ia menjadi kompleks dengan semakin jauhnya jarak waktu antara pembaca dengan masa pewahyuan Al-Quran. Meskipun ilmu pengetahuan dan pengalaman makin bertambah maju, namun situasi juga berubah akibat terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah dan, sejalan dengan itu, jenis tafsir ini juga telah menjadi semakin rumit. Ketaksaan makna telah mengitari kandungan banyak kosakata dan ayat Al-Quran. Kesulitan pemahaman makna ini telah mendesak untuk dikumpulkannya kosakata yang paling sulit mengenai tafsir Al-Quran sebagaimana yang kita jumpai sekarang.
Dalam tafsir-tafsir semacam ini, mufasir menerangkan isi Al-Quran secara tertib dan runut, ayat demi ayat, dari awal hingga akhir. Sebab, seiring dengan berlalunya waktu, makin banyak ayat Al-Quran yang memerlukan penjelasan. Sementara itu, banyak kasus yang memberikan dukungan bukti juga terungkap satu demi satu. Kasus-kasus ini juga ditangani oleh mufasir.
dalam hal ini, tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa seorang mufasir parsial tidak merujuk ayat lain yang terkait atau tidak memperhatikan ayat-ayat tersebut bagi kepentingan pemahaman ayat yang sedang ditelaah. Merujuk ayat lain merupakan praktik yang biasa dan umum dilakukan, sama halnya juga merujuk hadis dan riwayat.

Baca Juga :  Muhkam dan Mutasyabih (2): Metode-Metode Penafsiran Ayat Mutasyabih

Kekurangan Tafsir Parsial

Adalah penting untuk dicatat, perujukan ini dilakukan dengan maksud mengetahui makna harfiah ayat atau ayat yang sedang dikaji. Dalam pola tafsir ini, mufasir menggunakan semua sarana hanya untuk menemukan makna literal, yakni makna sejauh teks ayat berbunyi, dan itu pun hanya pada saat ia mengkaji satu bagian kecil dari Al-Quran. Tetapi dengan melakukan kajian selanjutnya atas setiap bagian Al-Quran, secara keseluruhan ia akan memperoleh suatu tingkat pemahaman yang memadai mengenai kandungan dan pokok-pokok penting dalam Al-Quran, meskipun ia melakukannya hanya dalam bentuk parsial dan tercerai-berai.

Sekalipun demikian, mufasir tidak bisa menentukan pandangan Al-Quran berkenaan dengan setiap bidang kehidupan yang, tentangnya, suatu ayat diturunkan. Ia kaya akan pengetahuan yang, lantaran tercerai-berai, tidak memperoleh matarantai dan benang merah untuk mengkoordinasikan pengetahuan itu dan mengemas pandangan Al-Quran tentang suatu masalah kehidupan.
Jadi, tafsir parsial kurang memberikan perhatian terhadap upaya koordinasi antarayat, meskipun dalam kasus-kasus tertentu, kesalingterkaitan itu juga dijelaskan.

Bahaya dan Tantangan Tafsir Parsial

Sangat disayangkan bila pola tafsir parsial ini telah memicu banyak perselisihan antarmazhab dalam tubuh umat Islam. Dengan tujuan menarik pengikut dan pendukung, setiap kelompok menafsirkan Al-Quran sesuai pandangan mazhabnya, seperti yang dilakukan banyak pendukung mazhab teologis, katakan saja, Jabariyah, Murji’ah dan Qadariyyah. Seandainya para mufasir mazhab-mazhab ini bergerak satu langkah lebih jauh dan memandang sedikit lebih dalam melampaui segelintir ayat yang mereka kumpulkan, mereka akan terhindar dari kesalahan. Situasi seperti itu tidak terjadi dalam pola tafsir tematik yang akan diuraikan di bawah ini.

Tafsir Tematik

Pola tafsir Al-Quran ini disebut juga pola terpadu. Dalam tafsir tematik, ayat-ayat Al- Quran tidaklah dicerai-beraikan, tidak pula dikaji secara berurutan. Sebaliknya, mufasir tematik memusatkan perhatian dan penyelidikannya pada suatu pokok masalah kehidupan yang ditangani Al-Quran, entah itu bersifat pemikiran, sosial, atau konsep-konsep universal, dan memastikan pandangan Al-Quran mengenainya. Sebagai contoh, pertama-tama ia mengkaji masalah tauhid, hukum sejarah, atau proses terciptanya langit dan bumi. Tafsir tematik mencoba memastikan pandangan Al-Quran dengan tujuan agar pesan dan konsep Islam terkait dengan masalah-masalah ini menjadi jelas.

Baca Juga :  Tafsir: Makna Etimologis dan Bedanya dengan Penjelasan

Interdisiplin antara Tafsir Tematik dan Tafsir Parsial

Batas antara dua pola tafsir tematik dan parsial, dapat dikatakan, seperti bidang ilmu lain ataupun peristiwa-peristiwa sejarah, yakni sulit untuk dapat dibentangkan secara tegas. Keduanya seringkali saling melingkup, sebab dalam tafsir tematik, mufasir perlu lebih dulu memastikan, dari tafsir parsial, makna kata-kata yang digunakan dalam ayat-ayat yang sedang dikaji, sebelum ia melangkah lebih jauh masuk ke tafsir tematik. Sama halnya, dalam tafsir parsial, mufasir boleh jadi akan menjumpai suatu kebenaran Al-Quran yang memerlukan kajian mendalam mengenai suatu masalah kehidupan melalui pola tafsir tematik. Sekalipun demikian, baik tafsir tematik maupun tafsir parsial bersifat mandiri; masing-masing mempunyai tujuan dan arti pentingnya sendiri. Bersambung⇒

Share Page

Close