• LAINYA

TAFSIR-SOSIAL-SUFI—Peristiwa kekerasan seksual Zulaikha terhadap Yusuf sangat personal dan subjektif; tidak ada yang tahu selain mereka berdua. Tidak ada juga alat bantu yang dapat mengungkap fakta kejadian. Sebagai korban, Yusuf tidak dapat sekedar mengandalkan bisikan rahasia dan pertolongan gaib Tuhan untuk membuktikan fakta dan menyakinkan publik yang diwakili oleh suami Zulaikha, Potifar.

Lantas, apa yang dapat dilakukan Yusuf dan bagaimana ia membela dirinya?

Ia (Yusuf) berkata, ‘Dia yang justru menggoda aku.’ Suatu saksi bersaksi dari pemiliknya sendiri, “Jika bajunya terkoyak di bagian depan, perempuan itu benar dan dia (Yusuf) termasuk orang-orang yang berbohong (QS. Yusuf [12]: 26).

Namun, jika bajunya terkoyak di bagian belakang, perempuan itulah yang berbohong dan dia (Yusuf) termasuk orang-orang yang jujur (QS. Yusuf [12]: 27).

Perkataan Yusuf, Ia (Yusuf) berkata, ‘Dia yang justru menggoda aku’”, merupakan sanggahan atas tuduhan Zulaikha di ayat sebelumnya. Baik tuduhan palsu Zulaikha maupun sanggahan faktual Yusuf adalah sama-sama upaya mereka berdua untuk membela dan menyelamatkan diri masing-masing. Upaya ini merupakan ekspresi dari cinta diri sendiri, sehingga seseorang tidak akan berkorban dan mengorbankan diri sendiri untuk orang lain kecuali ada keuntungaan, kebahagiaan dan kesempurnaan di dalamnya unuk, sekali lagi, diri sendiri.

Cinta diri sendiri merupakan fitrah dasar manusia. Seluruh dan setiap pikiran, keinginan, pertimbangan, kehendak, keputusan dan tindakan diambil oleh setiap orang atas dasar cinta diri sendiri, entah disadari ataupun tidak, entah orang itu baik ataupun jahat. Filsafat dan prinsip utama kemanusiaan ini dikuatkan oleh, setidaknya, dua ayat berikut:

اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ

Jika kalian berbuat baik, kalian sungguh telah berbuat baik untuk diri kalian sendiri. Dan jika kalian  berbuat jahat, itu kembali kepada diri kalian sendiri (QS. Al-Isra’ [17]: 7).

Baca Juga :  Pandemi dan Argumen Ateis atas Ketiadaan Tuhan (3): “Tidak Tahu” dalam Etika Berpikir dan Berkeyakinan

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ ۚ لَا يَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ اِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian sendiri! Orang yang sesat itu tidak akan memberi kalian kerugian apabila kalian telah mendapat petunjuk (QS. Al-Ma’idah :105).

Fitrah ini tampak begitu transparan pada saat-saat kesusahan dan terjepit. Masing-masing akan menelamatkan diri sendiri dengan carana masing-masing. Dalam kerjasama, perundingan dan persekongkolan pun, semua pihak akan mementingkan diri sendiri sehingga tidak lagi mengenal status dan relasi tuan-budak, ajudan-majikan, bahkan relasi darah dan ikatan kekeluargaan apalagi pertemanan.

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ .وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ. وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ. لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ

“Pada hari itu manusia lari dari saudaranya. (Dari) ibu dan bapaknya. Serta (dari) istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya” (QS. Abasa 80: 34-37)

Selanjutnya, Alquran mengungkapkan bagaimana Yusuf membela diri dengan dua cara: pertama, subjektif, yaitu mengungkapkan fakta kejadian yang ia alami sendiri (Dia yang justru menggoda aku) dan kedua, objektif, yaitu menghadirkan alat bukti yang objektif dan meyakinkan orang lain (Suatu saksi bersaksi dari pemiliknya sendiri). Kedua cara ini juga dilaksanakan dengan sebaik-baiknya; Yusuf menerangkan fakta secara jelas dan tegas, begitu pula ia mengajukan alat bukti yang paling dekat dan kuat.

Dua cara ini relevan ditempuh Yusuf sebagai aktualisasi atas kejujuran. Nilai moral ini merupakan konsekuensi dari cinta insani yang sudah relevan dan proporsional sebagai kerangka kesamaan dan acuan bersama dengan pihak-pihak berperkara yang belum mengenal tauhid.

Redaksi ayat di atas, Suatu saksi bersaksi dari pihak pemiliknya sendiri, seolah mengingatkan kita bahwa tidak ada kebohongan yang sempurna. Sehati-hatinya kalkulasi dan sepresisi apa pun skenario jahat yang dibangun di atas kebohongan demi kebohongan akan menyisakan satu-dua bekas tercecer yang kelak menggagalkan rencana menutup-nutupi dan menyimpangkan fakta.

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (4): Makhluk antara Ada dan tidak Ada

Lantas, bagaimana posisi Potifar, selaku kepala rumah rangga sekaligus pimpinan tertinggi keamanan negara, di hadapan fakta Yusuf? Apakah dia konsisten dengan bukti objektif di hadapannya hingga kesatria menerima fakta yang menyakitkan dan mencoreng martabat keluarga? Atau justru kecintaannya pada istrinya membutakan hati dan pikirannya hingga turut merancang skenario?

Bersambung ke: “Balada Cinta Istri Kepala Keamanan Raja dan Ajudan Tampan dalam Alquran (5): Cinta Segi Tiga dan Manajemen Kasus”

Share Page

Close