• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Kematian bukan akhir kehidupan, tetapi awal dari kehidupan. Jika paling nyata dari kehidupan ini adalah Tuhan dan mati yaitu lompatan menuju Tuhan, ini artinya kita, dengan kematian, baru akan bergerak menuju yang paling nyata di antara semua realitas. Yakni, kematian merupakan titik awal kita memulai kehidupan hakiki.

[arabic-font]كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ[/arabic-font]

  “Setiap jiwa merasakan kematian, kemudian kepada Kamilah kalian dikembalikan.”
(QS. al-Ankabut [29]: 57).

Studi Kebahasaan
1. Nafs berarti jiwa. Ia identitas pembeda satu entitas dari yang lain (Al-Tahqiq fi Kalimat al-Qur’an, jld. 21, hlm. 198). Karena itulah ruh juga dipadankan dengan nafs, karena diri kita, manusia, berada dalam autoritas ruh.

2. Dza’iqat al-mawt hampir sama maknanya dengan yadzuqu al-mawt, yakni merasakan kematian. Karena itu, sebagian penerjemah al-Quran menerjemahkan kata itu demikian. Hanya saja, ada beda antara kata kerja yadzuqu dan kata benda dza’iqatuh yang, dalam bahasa Arab, disebut nomina subjek (ism al-fa‘il). Yaitu, kata benda nomina subjek menunjukkan kejadian yang berkesinambungan. Artinya, kata kerja mudhari’ menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung dan mendatang secara terus-menerus, pada kata nomina subjek lebih kuat dan kokoh. Untuk lebih jelasnya, kata kerja mudhari’ bisa digunakan juga untuk pekerjaan yang dilaksanakan saat ini dan selesai, seperti aku berbicara dan pohon tumbang, namun kata nomina subjek digunakan untuk peristiwa yang terus berkesinambungan, seperti air mengalir.

Baca juga: QS. Al-Dhuha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: Tafsir Kemerdekaan (1): QS. Al-Baqarah [2]: 279, Tidak Menjajah Juga Tidak Mau Dijajah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?
Baca juga: Dosa-Dosa Tidak Merdeka (1): Teologi Penjajahan

Hadis
1. Setelah turun ayat “Engkau akan mati sebagaimana mereka (manusia) juga akan mati,” Nabi saw. bertanya, “Tuhanku, apakah manusia semua akan mati dan malaikat akan tetap hidup abadi?” Maka turunlah ayat, “Setiap jiwa akan merasakan kematian dan kepada Kamilah kalian dikembalikan” (Shahifah al-Imam al-Ridha., hlm. 62).

2. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah swt. berfirman, ‘Hai Anak Adam, setiap hari rezeki kalian bertambah namun kalian selalu gelisah; setiap hari usiamu berkurang namun engkau bergembira. Mengapa kamu mencari yang akan membuatmu bertindak melampaui batas, padahal segala yang kamu butuhkan telah kamu miliki. Kamu tidak puas dengan yang sedikit dan tidak kenyang dengan yang banyak.’” (A’lam al-Din fi Shifat al-Mu’minin, hlm. 337).

3. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bersabda, “Demi Allah, anak Abu Thalib ini lebih menyukai kematian dari kesukaan seorang anak pada air susu ibunya.” (Nahj al-Balaghah, pidato no. 5).

Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa
Baca juga: QS. Al-Mursalat [77]: Ayat 15; Dari Membohongi Diri Sendiri Sampai Membohongi Allah

Tadabur
Kematian adalah realitas paling niscaya yang justru diabaikan oleh kebanyakan orang. Semua kita tahu bahwa kita akan dan pasti mati, namun kita selalu saja lalai dan melupakannya. Semua tahu bahwa, di saat meninggalkan dunia ini, kita akan menempuh perjalanan menuju Tuhan, yakni menuju Yang Nirbatas. Pertanyaannya, berapa waktu dan tenaga yang kita gunakan untuk mempersiapkan diri berbekal dan berinvestasi guna membangun ‘dunia yang nirbatas’ itu dibanding dunia yang serba terbatas ini?!

Baca Juga :  Filsafat Manusia dalam Alquran (1): Esensi Manusia

Kematian adalah untuk semua, tak terkecuali. Kematian merupakan peristiwa dimana uang, jabatan, relasi, dan partai tidak lagi berarti apa-apa, sama sekali. Kematian tidak pandang bulu. Di hadapan kematian, semua sama; tidak ada beda antara kaya dan miskin, elite dan rakyat awam, atasan dan bawahan. Dalam status dan keadaan apa pun, setiap kita pasti dan pasti akan mati.

  “Satu tarikan napas adalah satu langkah seseorang menuju ajalnya.”

Kematian bukan akhir kehidupan, tetapi awal dari kehidupan. Jika paling nyata dari kehidupan ini adalah Tuhan dan mati yaitu lompatan menuju Tuhan, ini artinya kita, dengan kematian, baru akan bergerak menuju yang paling nyata di antara semua realitas. Yakni, kematian merupakan titik awal kita memulai kehidupan hakiki.

Jawadi Amuli berkali-kali menekankan bahwa bukan kematian yang merasakan kita, tetapi kitalah yang akan merasakan kematian. Kitalah yang mencerna kematian dari diri kita, bukan sebaliknya. Artinya kematianlah yang hilang dari kita, bukan kita yang akan hilang dengan kematian. Kita diciptakan untuk hidup abadi, sementara kematian akan tercerna dan lepas dari diri kita.

Apa kematian itu? Apakah hanya peristiwa keluarnya ruh dari badan? Kalau demikian, bagaimana dengan kematian malaikat?

Baca juga: Sayyid Qutb: Mufasir Yang Mencita-Citakan Negara Islam
Baca juga: Kali Ini, Nama ‘Allah’ Dan ‘Ali’ Ada Di Pakaian Jenazah Bangsa Viking Abad 9 M
Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (3): Stevan Teofanov, Penerjemahan Yang Mengubah Hidup

Ayat tersebut mengatakan bahwa setiap jiwa, yakni setiap yang memiliki ruh, akan merasakan kematian, dan perjalanan berikutnya adalah kembali kepada Allah swt. Jadi, kematian adalah apa yang kita ketahui sebagai ‘ruh’ akan dicerabut dari kita sehingga, dengan demikian, akan lebih dekat dengan Allah swt. Karena itulah perkataan Imam Ali ra. di atas dapat dimengerti; betapa ia merindukan kematian lebih dari kerinduan bayi pada susu ibunya; ia rindu untuk segera dekat bersama Allah swt.

Jika kematian itu berarti meregangnya ruh dari badan, manusia punya kekuatan meregangkan ruhnya dari badannya. Inilah yang disebut dengan kematian sengaja. Maka, kematian ada dua: kematian dipaksa/natural (al-mawt al-adhthirariy) dan kematian sengaja/diinginkan (al-mawt al-ikhtiyariy). Dalam hadis masyhur disebutkan, “Matilah kalian sebelum kalian mati!” Perintah mati dan mematikan diri hanya bermakna bila dapat dilakukan dengan kehendak bebas. Jadi, matilah dengan keinginan kita sebelum kita, suka atau tidak, didatangi Malaikat Maut dan dipaksa mati.

Kematian dipaksa adalah hukum mutlak bagi setiap manusia, tetapi kematian sengaja hanya bagi sebagian orang. Imam Ali mengambarkan orang yang menempa diri di jalur tazkiyah nafs demikian, “Dia telah menghidupkan akal dan mematikan dirinya” (Nahj al-Balaghah, pidato 220).

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Nur [24]: Ayat 35; Wahdatul Wujud (3): Sudah Ada Di Awal Al-Fatihah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35; Wahdatul Wujud (2): Makhluk Itu Ada Atau Tidak?
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

Mati sengaja dialami sebelum mati dipaksa. Mati sengaja yaitu orang beriman yang, semasih hidup di dunia ini dan belum mengalami kematian dipaksa, mencapai tingkat spiritual hingga mampu menyaksikan keadaan dan kenyataan di alam pasca kematian dipaksa. Maka, bila kembali ke kondisi normal hidup dengan badannya, ia akan merindukan ingin segera menetap di alam itu, alam yang lebih agung, mulia dan abadi.

Baca Juga :  Allah: Ada di mana? Kapan Dia Ada? Di Luar atau Bersama Makhluk?

Agar tidak salah dipahami bahwa mati sengaja bukan berarti ia mematikan diri dengan cara bunuh diri. Bunuh diri tidak diperintahkan; hukumnya haram dan termasuk dosa terbesar. Bunuh diri bukan mati sengaja juga bukan mati dipaksa, tetapi mati terpaksa karena merasa tidak punya pilihan lantaran putus asa tidak lagi percaya akan rahmat dan jalan keluar Allah di balik setiap usaha. Bunuh diri terjadi karena frustasi dan pesimis, sementara mati sengaja dialami karena rindu, cinta dan optimis mencapai rahmat dan kedekatan diri pada Allah.

Kematian sengaja ini, oleh para sufi, disebut juga dengan kelahiran kedua, yakni lahir keluar dari ‘rahim’ dunia setelah, sebelumnya, lahir keluar dari harim ibu. Dengan kelahiran kedua ini, manusia menemukan hakikat dan jati dirinya yang sesungguhnya; dia merancang, mempersiapkan, membangun, menata dan menyucikan diri dengan pengetahuan, iman dan amal shaleh hingga, dengan tangan dan usahanya sendiri, terlahir kembali seperti awal kali ia suci dalam fitrah tauhid sebelum di lahirkan ke dunia. Fitrah tauhid yaitu ayat 172 dari surah al-A’raf [7], “Dan [ingatlah] tatkala Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian atas ruh mereka, ‘Bukankah Aku Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul, kami bersaksi.’ [Ini] agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lalai terhadap ini.‘” Isa al-Masih a.s. bersabda, “Tidak akan masuk alam tinggi langit-langit orang yang tidak lahir dua kali” (Mulla Sadra, Syarh Ushul al-Kafi, jld. 1, hlm. 361 dan 417).

Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: 42, Norma Etika Jurnalistik dan Pengacara
Baca juga: QS. Al ‘Imran [3]: 139, Tidak Unggul, Maka Tidak Beriman
Baca juga: Mulutmu Harimaumu; Karena Lidah, Dirimu Binasa!

Mati dipaksa ialah kematian yang memaksa manusia, yang tadinya tidak sadar-sadar, jadi sadar. Sementara mati sengaja adalah kematian yang diinginkan dan dialami dengan sadar. “Sungguh kamu telah lalai tentang ini, maka Kami singkapkan tiraimu darimu sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam” (QS. Qaaf [50]: 22). Dalam hadis masyhur, Nabi saw. bersabda, “Orang-orang itu tidur. Tatkala mati, mereka barulah sadar.”

Selama ini, di dunia ini, kita cukup nyaman mengira diri kita adalah badan ini. Dengan kematian, badan kita akan diambil dari kita dan kita akan hidup di alam barzakh, sementara badan akan hancur di dalam kubur. Tatkala sangkakala ditiup, kita akan meninggalkan alam barzakh menuju alam akhirat. Jalaluddin Rumi dengan indah dan bahasa sederhana menggambarkan hal itu:

          Aku mati tinggalkan benda mati jadi tumbuh
          Aku mati tinggalkan benda tumbuh jadi hewan
          Aku mati tinggalkan hewan jadi manusia
          Karenanya untuk apa takut?!
          Kapan kita kehilangan sesuatu dengan mati?!
          Pada serangan yang lain aku mati tinggalkan manusia
          Hingga pelan menuju sayap dan kepala malaikat
          Kemudian aku mati tinggalkan malaikat mencari kanal
          Segala sesuatu hancur kecuali wajah-Nya
          Sekali lagi aku jadi korban malaikat dan tinggalkan mereka

Kematian bukanlah peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang, namun kenyataan yang ada dan sedang berlangsung. Ayat tersebut tidak mengatakan, “akan merasakan kematian”, namun dzaiqat al-mawt, yakni jiwa saat ini juga tengah merasakan kematian. Ia juga bukan satu kejadian lalu tuntas selesai, namun berlangsung selamanya dan terus menerus. Setiap saat, suka atau tidak, selalu ada sesuatu yang kita lepaskan dan bergerak untuk mendekatkan diri pada Allah. Malaikat pencabut nyawa, salah satu malaikat yang dekat dengan Tuhan, pelan-pelan menghantarkan diri kita kepada-Nya. Lalu, bagaimana kita sendiri?

Baca Juga :  Konsep Umat: Menggali Nilai-nilai Apriori dan Aposteriori Sosial Alquran (1): Esensi Umat

Jika, dengan kematian, yang kita lepaskan adalah segala yang menyebabkan kita terbatas, yakni keterikatan kita pada harta, jabatan, keluarga, partai, kubu, dll., maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lain halnya jika kita terikat dengan hal-hal yang serba terbatas tersebut, berpisah dengannya menjadi sangat berat, karena yang semestinya kita lakukan ialah bergerak menuju Realitas Nirbatas, yakni Allah swt., dan meninggalkan yang terbatas, yakni dunia. Sebaliknya, keterikatan pada dunia akan membuat kematian dicicipi begitu pahit dan menyakitkan.

Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42; Cara Membuat Hoax
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 118; Seni Rahasia Dalam Politik Dan Hukum-Hukum Musuh
Baca juga: Telah Terbit: Tafsir Imam Ghazali

Telah dijelaskan sebelumnya, masalah yang menjadi problem besar kita ialah membiarkan kemampuan dan potensi diri kita rendah dan kurang. Alih-alih memperbesar kemampuan diri yang seharusnya memang demikian, kita malah membanggakan diri dengan mengatakan bahwa saya telah melakukan ini dan itu. Kita melihat segala sesuatu dengan cermin diri kita, dan itulah kekurangan kita. Diri yang terbatas ini semestinya diambil dari kita dengan kematian sehingga, dengan setiap kematian, kita akan melepaskan sebagian dunia kita, yaitu badan, dan berganti dengan alam barzakh. Barzakh ini pun kita lepaskan untuk melakukan perjalanan menuju Allah. Itulah makna “kepada Kamilah kalian dikembalikan.”

Kematian, seperti juga kehidupan, adalah makhluk Allah swt., bahkan diciptakan lebih dulu daripada kehidupan, seperti firman Nya, “Yang menciptakan mati dan hidup …” Manusia juga, sebelum hidup, berada dalam kematian. Allah berfirman, “Dan bagaimana kalian ingkar kepada Allah padahal saat itu kalian dalam keadaan mati, kemudian Dia menghidupkan kalian, kemudian Dia mematikan kalian, kemudian Dia menghidupkan kalian, kemudian kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” Kita mendapatkan kehidupan dari kematian. Dalam setiap detik dari kehidupan, kita selalu merasakan kematian, hingga tiba suatu masa dimana semua yang ada padanya hancur, namun Tuhanmu yang Maha Agung dan Mulia tetap dan senantiasa ada. Kita mesti yakin bahwa tidak ada yang kekal kecuali Allah dan, secara prinsipal, tidak ada yang nyata secara hakiki kecuali Dia.

Akhir ayat ditutup dengan “dan kepada Kamilah kalian dikembalikan“. Artinya, kematian itu, selain bukan hilang dan lenyap, merupakan proses menuju sesuatu yang jelas, yakni kembali ke awal dari mana kita berasal, yaitu Allah. Maka, Allah adalah tujuan hidup. Hidup kita bernilai dengan nilai dengan niat, yaitu qurbatan ila Allah: mendekatkan diri pada Allah.

Bertolak dari hadis masyhur, “Sesungguhnya semua pekerjaan itu sesuai dengan niatnya”, maka pekerjaan yang mulia ialah pekerjaan yang diawali dengan niat yang mulia, dan niat termulia ialah kesadaran akan keinginan yang paling mulia dan paling tinggi, yaitu keridhaan Allah dan kedekatan diri padanya. Oleh karena itu, sedari awal bekerja dan berusaha, seorang muslim sudah punya kesadaran dalam niatnya akan kematian untuk kembali dan menjumpai Allah.[AB]

Share Page

Close