• LAINYA
QS. Al-Hijr: 99

QURANIKA-FILSAFAT–Dalam banyak ayat, bahkan di awal َِAlquran, Allah sudah menetapkan tugas kita hanya beribadah. Tuas ini kita nyatakan dengan bahasa ikrar bahwa hanya kepada-Nya kita beribadah dan meminta bantuan. Lalu, untuk apa perintah dan tugas ini? Apa falsafah kita beribadah? Apa yang kita harapkan dari beribadah? Lalu, sampai kapan kita harus beribadah? Apakah mungkin berhenti beribadah? Dalam ayat berikut ini, Allah menerangkan falsafah tersebut.

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahkan Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu!
(QS. Al-Hijr [15]: 99)

Ayat ini kerap disalahpahami hingga dijadikan dalih untuk tidak lagi terikat dengan hukum-hukum agama. Misalnya, orang beriman, ibadah dan derajat Yakin diumpamakan seperti pemanjat, tangga dan atap, dimana pemanjat menggunakan tangga untuk tujuan berada di atap, dan sesampainya di atap, ia tidak membutuhkan tangga lagi.

Begitu pula orang beriman mempunyai tujuan, yaitu mencapai derajat Yakin, dengan cara beribadah. Maka ibadah adalah sarana untuk mendapatkan keyakinan. Seperti perumpamaan tangga tadi, ibadah menjadi tidak lagi berarti apa-apa tatkala ia sudah memperoleh keyakinan. Dengan kata lain, bagi orang yang sudah berhasil mencapai tujuan (mencapai derajat Yakin), beribadah dan menaati aturan Allah menjadi tidak lagi wajib, bahkan dianggap boleh melanggar hukum-hukum agama.

Bukan hanya di kalangan pemikir, di kalangan sufi juga bisa dijumpai pemahaman keliru seperti ini sehingga seorang sufi yang merasa sudah berjumpa Tuhan dan mencapai Hakikat dia menganggap dirinya sudah tuntas beribadah dan bebas dari syariat, bahkan mengajarkan orang lain agar tidak lagi komit pada perintah dan larangan agama. Kecenderungan praktek liberal dalam hukum agama juga muncul dari sebagian orang yang mengaku guru sufi.

Seorang filosof sufi abad ke-17, Sadruddin al-Syirazi, mengeluhkan perilaku pengaku-sufi di jamannya, “Di antaranya mereka mengatakan, “Karena Tuhan tidak perlu ibadah kita, untuk apa melakukan ibadah?!”, atau, “syariat hanya untuk orang-orang yang tertutupi hijab saja, bukan untuk orang-orang yang telah mencapai Tuhan”, atau, “syariat hanyalah sebagai kulit luar. Sebelum membuang kulit, kamu tidak bisa mencapai isi rahasia yang tersimpan di dalamnya” (Shadrul Muta’allihin, Kasr Ashnām Al-Jāhiliyyah, hlm. 16-17).

Karena ‘tlah sampai di atap langit
Tak lagi gairah mencari tangga!

(Jalaluddin Rumi, Matsnawī Ma’nawī, daftar ke-3, bait 1402).

Tentu saja, perumpamaan tangga seperti itu tidak sepenuhnya tepat dalam menggambarkan arti ibadah. Yang tepat, ibadah diumpamakan dengan tangga yang digunakan orang yang hendak memetik buah-buahan dari pohon, dimana dia harus tetap berada di tangga untuk terus dapat memetik buah-buahan. Dia juga harus memanjangkan tangga untuk bisa menjangkau dan memetik buah di tangkai pohon yang lebih tinggi lagi. Maka selama ia ingin memetik buah, tangga itu perlu dan dia butuhkan. Jika dia lepaskan tangga, maka bukan hanya tidak bisa lagi memetik buah-buahan, dia bahkan pasti jatuh. Apalagi saat menjangkau dan memetik buah yang lebih tinggi, dia jatuh terbanting dan bisa hancur dirinya.

Orang yang merasa sudah memperoleh derajat tinggi keyakinan dan kedekatan dengan Allah hingga dia menganggap tidak perlu lagi beribadah atau taat pada syariat, misalnya tidak lagi shalat dan membuka aurat, dia seperti orang yang jatuh dari langit meluncur masuk ke bumi atau disambar angin hingga tersesat jauh dari tujuan semula, “maka seakan-akan dia jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (QS. Al-Hajj [22]: 31). Semakin tinggi tingkatan yang dia capai dengan ibadah, semakin besar pula ujian kejatuhannya, juga semakin intensif dan halus setan memperdayainya.

Baca Juga :  QS. al-Hajj [22]: ayat 38, Konfrontasi antara Mukmin, Pengkhianat dan Kafir

Maka perlu diluruskan bahwa:

Satu, ibadah merupakan tangga dan satu-satunya sarana mencapai keyakinan dan kedekatan bersama Allah.

Dua, tujuan ibadah ialah mencapai derajat Yakin, yakni qurbatan ila-Allah: mendekatkan diri dan berjumpa dengan Allah, “Maka barangsiapa yang berharap menjumpai Tuhannya, hendaklah mengerjakan perbuatan baik dan tidak menyekutukan sesuatu apa pun dalam beribadah kepada-Nya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110).

Maka, beribadah yaitu berbuat baik secara ikhlas yaitu tidak menyertakan apa pun selain Allah adalah cara untuk memenuhi harapan tinggi dan tujuan utama, yaitu mendekatkan diri dan berjumpa Allah. Inilah yang disebut kalangan sufi dan ulama akhlak dengan jannatul liqā’ ‘surga perjumpaan’ (Syarh Cehel Hadits, hlm. 13).

“Tidak ada ketenangan bagi orang beriman selain berjumpa Allah, dan siapa yang kepuasannya adalah dalam berjumpa Allah, maka dia telah memperolehnya.”
Ibn Mas’ud dalam Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 8, hlm. 669

Tiga, tangga ibadah tetap berarti dan diperlukan orang beriman selama mencapai dan sepanjang memiliki keyakinan. Untuk mempertahankan derajat Yakin, ia harus tetap beribadah. Maka, falsafah ibadah adalah alat memulai usaha mendekatkan diri kepada Allah, juga alat mengawal dan menjaga diri agar tetap dekat dengan-Nya.

Empat, mencapai Tuhan bukan berarti dia seperti sudah berada sepenuhnya di atap dan tidak lagi berada di tangga. Bagaimanapun, derajat Tuhan tidak bisa ditempati dan dicapai sepenuhnya oleh manusia sebagai makhluk. Sufi sekalipun yang mengaku telah lenyap dirinya (fanā’) dan melihat yang-ada hanyalah Tuhan pastilah tidak akan pernah menempati dan menggantikan sedikitpun posisi Tuhan.

Setinggi apa pun pencapaian manusia menjumpai Allah hanyalah pendekatan diri dengan-Nya dan tetap ada hijab pemisah dan tirai selubung gelap yang tidak bisa ditanggalkan dari dirinya, yaitu realitasnya sebagai makhluk. Wujūduka dzanbun la yuqāsu bihi dzanbun (keberadaanmu adalah dosa yang tak terbandingi oleh dosa apa pun).

Maka, menjumpai Allah dan mencapai derajat Yakin melihat Allah Al-Haqq dengan ibadah yaitu orang yang menggapai buah-buahan dengan tangga hanya selama ia tetap berada di tangga. Maka, melepaskan tangga bukan hanya berpisah dari buah ibadah dan derajat Yakin, tetapi juga pasti jatuh terhempas dan menjauh dari Allah.

Ibadah seperti aliran sungai; semakin maju, kian deras dan lebar ruas sungai hingga ia tiba di laut, selanjutnya ia bersama aliran ibadah dan dalam air ibadah berada di samudera tak bertepi menyelami keluasan, kejernihan, kedalaman dan keindahannya.

Lima, ayat di atas tidak dalam rangka membuat garis pembatas antara ibadah dan yakin, dimana jarak tempuh ibadah sampai batas tertentu, lalu ibadah menjadi habis sampai di batas itu dan berikutnya seorang hamba masuk ke tingkatan Yakin. Ayat itu menerangkan dampak tertinggi dari ibadah, yaitu yakin. Dan dampak ini hanya tetap bertahan adanya bila bersama dengan sebabnya, yaitu ibadah. Mendapat keyakinan tanpa lagi ibadah seperti mengharap memperoleh dampak/hasil tanpa sebab dan usaha.

Baca Juga :  Ontologi Manusia (3): Dialektika Diri dan Tuhan

Jadi, ibadah tak ubahnya dengan sebab yang menghasilkan derajat Yakin. Tanpa ibadah, derajat ibadah mustahil diperoleh, dan kapan saja ibadah terputus, maka terputus pula hubungan derajat Yakin. Karena itu, derajat Yakin akan tetap diperoleh selama orang tetap beribadah dan tidak menyekutukan Allah. Laksana lampu hanya akan menyala dan tetap menyala dengan mengalirkan arus listrik; sesaat saja dan kapan saja arus listrik itu diputus, saat itu juga lampu jadi padam.

Enam, ibadah berasal dari kata ‘abd, yakni budak dan hamba yang tidak punya kehendak dan keputusan apa-apa di hadapan tuannya. Beribadah yaitu ketundukan total manusia di bawah kehendak dan hukum Allah. Maka ibadah adalah pengakuan dan pembuktian diri sebagai budak dan hamba (‘abd) Allah.

Karena itu, melepaskan tangga, tidak lagi beribadah dan berhenti menaati hukum agama dalam keadaan apa pun, sebelum dan seketika ataupun sesudah mencapai atap keyakinan, adalah sama dengan ia menganggap dirinya bukan lagi hamba dan budak Allah, menganggap dirinya sederajat dengan Allah dan, dengan demikian, telah syirik dan menempatkan dirinya sebanding dengan Allah.

Derajat Hakikat tidak mungkin dapat dicapai selain melalui ibadah dan pengamalan hukum syariat; hanya lewat jalur syariat, tarikat ditempuh dan hakikat dapat dicapai.

Di surah lain, setelah Allah mengingatkan agar manusia menghormati batasan-batasan hukumnya, Dia memuji orang yang mengagungkan batas-batas kehormatan (hurumāt) Allah sebagai orang yang beribadah dengan ikhlas, konsisten dan istiqamah (hunafā’) tanpa menyekutukan-Nya, lalu Dia memperigatkan, “Barangsiapa menyekutukan Allah, maka seakan-akan dia jatuh tersungkur dari langit lalu disambar oleh burung atau dihempaskan oleh angin ke tempat yang sangat jauh.” (QS. Al-Hajj [22]: 31).

Masih belum cukup, berikutnya Allah kembali mengingatkan, “Demikianlah [ketetapan Allah]. Maka barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu adalah dari ketakwaan hati.”

Hurumāt yaitu apa saja yang tidak boleh dilanggar, dan syiar yaitu lambang dan simbol penanda. Di antara batasan Allah yang harus dijaga dan syiar-Nya yang paling menonjol adalah hukum-hukum agama yang yang harus ditaati sebagai bukti pengagungan dan tanda kehambaan (Tafsīr Al-Jalālyn, Tafsir Majma’ Al-Bayān, Tafsīr Ibn Katsīr, Tafsīr Al-Qurtubī).

Tujuh, manusia itu, selama dia makhluk, akan tetap berstatus hamba dan penyembah Allah. Mustahil kehilangan kemakhlukannya, maka mustahil pula kehilangan status hamba penyembah Allah dari hakikat dirinya. Prestasi apa pun dan sehebat apa pun kekuasaan manusia tidak akan mengubah identitas dirinya sebagai makhluk dan hamba Allah.

Seperti dalam ayat di atas, salah satu prestasi tertinggi manusia ialah melihat Hakikat dan yakin pada Realitas Tertinggi (Allah). Dalam capaian ini, dia tetap saja sebagai hamba, bahkan lebih hamba dari manusia yang lain. Selama identitas hamba melekat pada dirinya, dan selama itu pula ia menghamba dan menyembah Tuannya.

Baca Juga :  QS. Qaf [50]: 18; hanya 2 Pilihan: Berkata Baik atau Diam

Delapan, sebagai orang pertama yang diseru ayat kedua di atas, Nabi Muhammad SAW telah meraih keyakinan dan tak sedikit pun melalaikan ibadah. Ia manusia terpilih, tersempurna, hamba dan budak paling sempurna di hadapan Allah. Ia teladan bagi semua kalangan umat. Identitas budak adalah derajat tertinggi para nabi. “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.”

Ibadah adalah kesukaan Nabi, dan tidak sekejap pun ia berada di luar kehambaan dan keberibadahan. Merasa bebas dari perintah dan larangan agama, bukan hanya bertentangan dengan Nabi SAW, tetapi juga telah kehilangan identitas diri sebagai hamba, lebih hina dari udara bergerak, tersesat jauh di bawah kepantasannya sebagai binatang.

“Tidakkah aku layak menjadi hamba yang banyak bersyukur?” Hadis masyhur dari Nabi SAW ini diungkapkan dalam banyak kesempatan sebagai jawaban atas pertanyaan Siti Aisyah, “Kenapa engkau menanggung semua kesulitan ini?” Pertanyaan ini terlontar saat dia melihat beliau selalu menangis dan beribadah di malam hari, tanpa kenal lelah dan kesulitan.

Sembilan, ibadah yaitu usaha tulus hamba mendekatkan diri pada Allah SWT. Maka, ada tatacara dan hukum-hukumnya yang yang disebut dengan syariat. Dalam bahasa Arab, makna harfiah syariat adalah aliran sungai. Maka, dalam satu analogi, ibadah seperti aliran sungai yang diarungi hamba menuju laut; semakin maju kian deras dan lebar ruas sungai hingga tiba di laut, selanjutnya ia bersama aliran ibadah dan dalam air ibadah ia tengah samudera tak bertepi menyelami keluasan, kejernihan, kedalaman dan keindahannya. Samudera itulah puncak pencapaiannya. Di titik manapun dia berada di samudera, di situlah air ibadah berada, karena samudera adalah air. Keyakinan adalah aliran tertinggi ibadah, kepatuhan pada agama dan pengamalan syariat.

Dan barangsiapa yang datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan beramal baik, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat-derajat yang tinggi. [Yaitu] surga-surga Aden yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang yang menyucikan diri (QS. Thaha [20]: 75-76).

Sepuluh, tidak taat dan tidak lagi beribadah kepada Allah sama artinya taat pada selain Allah, yakni taat pada keinginan diri sendiri, “Tidak pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 23).

Atau taat pada orang lain, termasuk mempercayakan masa depannya ditentukan oleh selain manusia-manusia yang direstui Allah, adalah sama artinya syirik dan membandingkan Allah dengan selain-Nya dalam urusan apa pun, “Sembahlah Allah dan jauhilah Tagut” (QS. Al-Nahl [16]: 36). Derajat syirik setiap orang ditentukan oleh dirinya sendiri; tinggi-rendah derajat syiriknya seimbang dengan tinggi-rendah kesungguhannya komit dalam ketaatan dan ibadah.

Catatan: galibnya para mufasir menafsirkan keyakinan dalam ayat ini dengan kematian. Maka, ayat ini berarti perintah agar manusia senantiasa beribadah sampai akhir hidupnya di dunia.

Share Page

Close